Petenis muda Polandia, Iga Swiatek, ingin membuktikan dirinya bukanlah sekadar fenomena. Guna mempertahankan gelar juara Perancis Terbuka, Swiatek banyak belajar dari kejatuhan juara-juara Grand Slam sebelumnya.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Iga Swiatek (19) akan menghadapi tantangan terbesar dalam karier tenis profesionalnya yang baru memasuki tahun kelima, yaitu mempertahankan gelar juara Grand Slam. Setelah menjuarai Perancis Terbuka 2020, tujuh bulan lalu, Swiatek belajar dari pengalaman petenis lainnya yang ”tergelincir” seusai meraih trofi pertama di ajang Grand Slam.
”Saya selalu berusaha belajar dari pengalaman petenis lainnya. Ada beberapa petenis yang justru mengalami kemunduran setelah menjuarai Grand Slam untuk pertama kalinya. Saya pun selalu mengingatkan diri sendiri agar tetap bekerja keras, fokus, dan tidak membuat kesalahan,” tutur Swiatek menjelang Grand Slam Perancis Terbuka 2021 yang akan dimulai pada Minggu (30/5/2021).
Tujuh bulan lalu, Swiatek—yang tidak berstatus unggulan—membuat kejutan dengan meraih trofi Suzanne Lenglen. Berposisi ke-54 dunia, dia menjadi tunggal putri berperingkat terendah yang menjuarai Grand Slam di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, tersebut.
Pada 2020, penyelenggaraan Perancis Terbuka dimundurkan empat bulan, dari Mei-Juni, karena pandemi Covid-19. Akibatnya, turnamen itu pun berlangsung setelah Amerika Serikat Terbuka.
Swiatek menjadi juara baru Grand Slam ke-11, di nomor tunggal putri, sejak 2016. Persaingan terbuka di Roland Garros juga membuat Swiatek menjadi bagian dari delapan petenis berbeda yang juara dalam sepuluh tahun terakhir.
Hanya Serena Williams dan Maria Sharapova yang mampu dua kali juara dalam rentang waktu tersebut. Serena juara pada 2013 dan 2015, sementara Sharapova menjadi yang terbaik pada 2012 dan 2014.
Kesulitan berkembang
Adapun para juara baru Grand Slam yang kesulitan berkembang, di antaranya Jelena Ostapenko (juara Perancis Terbuka 2017) dan Sloane Stephens (juara Amerika Serikat Terbuka 2017). Setelah juara di Roland Garros, Ostapenko—yang kini berperingkat ke-44 dunia—hanya sekali melewati perempat final Grand Slam.
Sementara penampilan Stephens tidak berbeda jauh. Ia lebih sering tersingkir pada babak pertama dibandingkan bersaing pada pekan kedua panggung persaingan terbesar di arena tenis tersebut.
Perjalanan Swiatek, setelah menciptakan sejarah sebagai petenis Polandia pertama yang menjuarai Grand Slam, memang belum jauh. Dalam Grand Slam terakhirnya, yaitu Australia Terbuka 2021, dia tersingkir pada babak keempat.
Akan tetapi, dia telah memperlihatkan potensi bertahan pada persaingan papan atas, terutama ketika menjuarai WTA 1000 Roma—salah satu ajang level tertinggi dalam struktur turnamen WTA—pada 10-16 Mei lalu. WTA Roma juga merupakan ajang pemanasan menuju Roland Garros.
Ada banyak talenta dalam dirinya (Iga Swiatek). Mental, seleksi pukulan, fisik, dan caranya bergerak di lapangan. Kita hanya tinggal menunggu waktu untuk melihatnya terus berkembang. (Tracy Austin)
Berkat hasil itu, Swiatek untuk pertama kalinya masuk peringkat 10 besar dunia. Dari posisi ke-15, ia melesat ke peringkat kesembilan. Swiatek berusaha menjaga konsistensinya, seperti ditunjukkan Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic, pada persaingan papan atas petenis putra.
”Saya bangga bisa mulai tampil konsisten karena itu menjadi tujuan saya sejak awal. Momen setelah menjuarai Grand Slam terasa berat karena saya memiliki beban mempertahankan konsistensi. Namun, kerja keras itu mulai terlihat ketika saya bisa menempati peringkat dunia seperti saat ini (kesembilan),” tutur Swiatek.
Tantangan berbeda
Di sela-sela penampilannya di Roma, Swiatek berkata, dia selalu belajar dari setiap pertandingan yang menghadirkan tantangan berbeda. Petenis yang akan berusia 20 tahun pada 31 Mei itu pun menggagalkan match point Barbora Krejcikova pada babak ketiga. Setelah itu, dia memenangi perempat final (melawan Elina Svitolina) dan semifinal (Cori ”Coco” Gauff) dalam sehari. Hal itu terjadi karena banyak pertandingan yang ditunda karena hujan, saat itu.
Puncaknya, di final, Swiatek membuat Karolina Pliskova tidak berkutik. Gelar juara pun diraihnya dengan skor sempurna, 6-0, 6-0, hanya dalam waktu 46 menit. Swiatek mendapatkan 51 poin, sedangkan Pliskova hanya 13 poin.
Usai dikalahkan Swiatek, Pliskova berkomentar, pukulan lawannya itu sulit dikembalikan. Bola pukulan Swiatek selalu jatuh di sekitar garis belakang sehingga Pliskova kesulitan mendapatkan posisi sempurna untuk mengembalikannya.
Tracy Austin, juara AS Terbuka 1979 dan 1981, memuji cara Swiatek mengontrol emosi ketika bertanding, meski masih belia. ”Ada banyak talenta dalam dirinya. Mental, seleksi pukulan, fisik, dan caranya bergerak di lapangan membuat saya suka akan penampilannya. Kita hanya tinggal menunggu waktu untuk melihatnya terus berkembang,” ungkapnya. (AFP)