Kasus tim bulu tangkis RI yang dipaksa mundur dari All England dan tiga atlet taekwondo yang agal ikut kualifikasi Olimpiade Tokyo 2021 di Jordania harus jadi pelajaran bersama. Insiden ini tidak boleh terulang lagi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus tim bulu tangkis Indonesia yang dipaksa mundur dari Kejuaraan All England di Birmigham, Inggris, 17-21 Maret, dan tiga atlet taekwondo Indonesia yang gagal mengikuti kualifikasi Olimpiade Tokyo 2021 di Amman, Jordania, 21-23 Mei, harus menjadi pelajaran bagi semua pengurus cabang olahraga Tanah Air. Kasus yang sangat merugikan atlet ataupun dunia olahraga nasional itu tidak boleh terulang lagi.
”Jangan sampai ada korban ketiga (setelah All England dan taekwondo). Sebab, ini sangat merugikan atlet yang sudah berlatih keras. Terlebih waktu kualifikasi hanya sampai akhir Juni. Kalau ada masalah, sulit untuk mengurusnya,” ujar Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewa Broto, Minggu (23/5/2021).
Gatot mengatakan, insiden seperti itu sering dialami oleh pengurus cabang. Namun, yang dialami tim bulu tangkis dan taekwondo menjadi sorotan karena terkait kualifikasi Olimpiade Tokyo. Kejadian itu menghambat Indonesia yang sedang berjuang menambah kuota atlet ke Olimpiade.
”Selain itu, kejadian ini akan jadi sorotan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) karena PBTI (Pengurus Besar Taekwondo Indonesia) sudah menerima dana bantuan pelatnas 2021 sekitar Rp 5 miliar. Mereka bakal menilai Kemenpora tidak melakukan supervisi secara teliti untuk keberangkatan itu. Padahal, kami sudah all out membantu. Kalau Kemenpora mendapat masalah, ujung-ujungnya pengurus cabang yang terkena imbasnya. Pasti ada reward and punishment untuk mereka (pengurus cabang),” kata Gatot.
Gatot mengatakan, pihaknya mewanti-wanti agar kasus serupa tidak terulang. Pengurus cabang yang bertanggung jawab penuh atas keikutsertaan dan keberangkatan atlet dalam ajang internasional perlu mengevaluasi diri. Pengurus cabor harus teliti dan hati-hati dalam memahami aturan suatu kejuaraan agar kesalahan administrasi tidak terjadi lagi.
”Pengurus cabang mengirim atlet ikut pertandingan internasional ini tidak sekali-dua kali, tetapi sering kali. Jadi, masalah seperti ini seharusnya tidak terjadi,” ujarnya.
Maksimalkan diplomasi
Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari mengutarakan, pihaknya telah berkomunikasi dengan PBTI, panitia pelaksana (organizing committee), Komite Olimpiade Nasional Jordania, sampai Komite Olimpiade Internasional. Hasilnya, kasus yang dialami taekwondo Indonesia akibat kesalahan sistem dalam pendaftaran daring walaupun sudah memenuhi semua syarat dan membayar biaya administrasi. Kasus itu juga dialami oleh beberapa negara Eropa.
Menurut Okto, insiden itu bisa menjadi bahan komplain PBTI kepada federasi Asia ataupun dunia karena ini merugikan Indonesia. PBTI pun perlu memaksimalkan kemampuan diplomasi agar kerugian yang dialami ada solusinya. ”Kami sudah fasilitasi, sekarang tinggal menjalin komunikasi (PBTI kepada federasi Asia, ataupun dunia),” ujarnya.
Okto menegaskan, belajar dari kejadian-kejadian itu, sudah sepatutnya federasi olahraga nasional lebih aktif berkomunikasi dan mengambil peran penting di induk organisasi Asia dan dunia. Mereka jangan lagi hanya mengurus kegiatan lokal dan minder aktif di kegiatan internasional. ”Itu semua untuk kepentingan Indonesia di tingkat dunia. Kalau menghadapi hambatan, kita punya kekuatan untuk melakukan negosiasi,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Harian PBTI Anthony Musa Siregar kepada Kompas, Jumat (21/5/2021), mengatakan, kendala pendaftaran itu dinilai aneh karena pihaknya sudah menerima surat elektronik konfirmasi setelah pendaftaran secara manual. Pihak panitia juga tidak melarang keberangkatan tim Indonesia ke Jordania saat PBTI mengirim pemberitahuan. Tiba-tiba tim Indonesia dinyatakan tidak terdaftar di ajang tersebut setelah sampai di Jordania.
”Menanggapi masalah tersebut, Ketua Umum PBTI Thamrin Marzuki mengirim surat protes keras ke World Taekwondo, federasi taekwondo dunia. PBTI juga mengirim Yefi (Yefi Triaji, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Taekwondo Indonesia) ke Jordania untuk meminta penjelasan ketua panitia,” kata Anthony Musa Siregar, Ketua Harian PBTI.
Atlet Indonesia yang hadir di Jordania, tetapi tidak bisa tampil itu adalah Mariska Halinda yang seharusnya bertarung di kelas -49 kilogram (kg) putri, M Bassam Raihan di kelas -58 kg putra, dan Adam Yazid di kelas -68 kg putra. Ketiganya baru saja menjalani pelatihan selama satu bulan di Korea Selatan dan langsung ke Jordania.
Mariska yang berusia 27 tahun merupakan atlet taekwondo paling senior di pelatnas PBTI. Berdasarkan kondisi fisik dan pengalaman, Mariska ialah atlet yang paling diandalkan untuk menembus Olimpiade Tokyo 2021. Kegagalan mengikuti kualifikasi Olimpiade kali ini membuyarkan impiannya mengikuti ajang empat tahunan itu. Mariska kemungkinan besar tidak dapat tampil pada Olimpiade 2024 karena faktor usia.
Kegagalan itu memperpanjang kegagalan Indonesia mengirimkan atletnya ke cabang taekwondo di Olimpiade. Selain saat ekshibisi pada Olimpiade 1992, Indonesia baru mengirimkan atlet taekwondonya ke Olimpiade 2000 dan Olimpiade 2004. Juana Wangsa Putri mengikuti kedua Olimpiade itu, dan Satrio Rahadhani mengikuti Olimpiade 2004.