Desakan untuk menunda atau membatalkan Olimpiade Tokyo 2020 semakin deras. Keselamatan atlet peserta, ofisial, relawan, dan warga Jepang menjadi yang paling utama.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Semakin dekat waktu penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 pada 23 Juli-8 Agustus 2021, semakin kencang pula gelombang penolakan rakyat Jepang terhadap ajang olahraga multicabang terbesar itu. Hasil jajak pendapat terakhir yang dilakukan sejumlah media arus utama Jepang memperlihatkan, mayoritas responden ingin pesta olahraga empat tahunan itu ditunda, bahkan dibatalkan.
Pandemi Covid-19, yang telah membuat Olimpiade ditunda setahun dari jadwal semula, menjadi alasan utama. Jepang kini tengah dilanda gelombang keempat pandemi, dan zona merah meluas di sembilan kota. Sebanyak 87,7 persen responden Kyodo News mengaku khawatir kedatangan atlet dan ofisial dari seluruh dunia akan meningkatkan risiko kasus impor.
Penolakan juga disuarakan masyarakat lewat petisi daring, yang mengundang dukungan hingga 351.000 tanda tangan. Koalisi 6.000 dokter di Tokyo mengirim surat terbuka meminta pemerintah membatalkan Olimpiade dan memprioritaskan keselamatan rakyat Jepang.
Namun, penundaan Olimpiade untuk kedua kalinya bukan pilihan. Setelah mengumumkan penundaan bersejarah, setahun lalu, Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach mengatakan, dia bisa memahami Olimpiade dibatalkan jika tidak bisa dilakukan pada musim panas 2021. Panitia tidak mungkin menggaji sekitar 5.000 staf tanpa kejelasan, dan belasan ribu atlet dibiarkan berlatih tanpa kepastian tanding.
Penundaan ke akhir tahun tidak memungkinkan karena Jepang memasuki musim dingin, dan panitia memastikan tak akan ditunda hingga 2022, karena Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 telah dijadwalkan pada awal tahun. Pada tahun itu juga akan dilangsungkan Piala Dunia sepak bola di Qatar. Kejuaraan Dunia Atletik dan Renang, ajang dua tahunan setiap tahun ganjil, juga telah digeser ke 2022 untuk mengakomodasi penyelenggaraan Olimpiade tahun ini.
Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach mengatakan, dia bisa memahami Olimpiade dibatalkan jika tidak bisa dilakukan pada musim panas 2021.
Tanpa opsi penundaan, opsi pembatalan menjadi lebih mungkin. Olimpiade telah tiga kali dibatalkan pada 1916, 1940, dan 1944, karena Perang Dunia I dan II. Klausul ”keselamatan peserta Olimpiade berada dalam ancaman serius,” kali ini akibat pandemi Covid-19, bisa diterima sebagai alasan.
Masalahnya, hak pembatalan sepenuhnya berada di tangan IOC sebagai pemilik Olimpiade. Pemerintah Jepang harus menanggung semua kerugian, termasuk biaya penyelenggaraan yang mencapai 15,7 miliar dollar AS, jika secara sepihak membatalkan perjanjian sebagai tuan rumah. Rivalitas geopolitik dengan China, penyelenggara Olimpiade Musim Dingin 2022, juga membuat Jepang berpikir panjang
Hingga kini, IOC masih yakin Tokyo 2020 dapat digelar. Kerja keras atlet, yang menjadikan Olimpiade puncak dari latihan panjang sejak belia, menjadi salah satu pertimbangan. Apalagi, bagi banyak atlet, kesempatan tampil di Olimpiade adalah peluang satu kali seumur hidup.
Jalan tengah yang bisa diambil adalah menggelar Olimpiade dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Tempat tinggal kontingen, arena latihan, dan pertandingan berada di dalam gelembung yang steril dan berlangsung tanpa disaksikan penonton. Peserta wajib menjalani tes rutin, membatasi interaksi antarpeserta dan dengan panitia, hingga disiplin mengenakan masker dan mencuci tangan. Etos kerja dan kedisiplinan bangsa Jepang selama ini bisa menjadi jaminan.
Sayangnya, hal itu tidak didukung oleh program vaksinasi Covid-19 menyeluruh di negeri itu. Untuk ukuran negara maju, Jepang termasuk yang tertinggal dengan baru 2,2 persen warga yang telah divaksin. Relawan dan tenaga medis Olimpiade mengaku kecewa karena mereka tidak diprioritaskan untuk mendapat vaksin.
Pada akhirnya, keputusan akhir berada di IOC dan pemerintah Jepang. Impian atlet untuk menjadi yang tercepat, tertinggi, dan terkuat di Olimpiade hanya bisa dicapai dalam kondisi yang aman bagi semua. Keselamatan atlet sejak berangkat hingga pulang, dan keselamatan warga Jepang termasuk para relawan yang berinteraksi langsung dengan peserta harus menjadi yang paling utama.