Misi Pembuktian "Sang Dewi", Hadapi Juventus di Final
Atalanta enggan sekadar jadi tim ”kuda hitam” di Italia. Mereka ingin disegani dan mengakhiri lima dekade puasa trofi saat bersua Juventus di final Piala Italia, Kamis dini hari nanti.
Oleh
Yulvianus Harjono
·5 menit baca
REGGIO EMILIA, SELASA - Atalanta ibarat merajut kisah dongeng berkat penampilan spektakuler mereka di Liga Italia dan Liga Champions Eropa, tiga musim terakhir. Skuad ”Sang Dewi” kini bahkan berpeluang menjadi legenda, jika bisa mengalahkan Juventus pada final Piala Italia, Kamis (20/5/2021) pukul 02.00 WIB di Stadion Mapei, Reggio Emilia, Italia.
Ambisi menjadi legenda itu kini tengah menancap di benak tim asuhan pelatih Gian Piero Gasperini tersebut. Piala Italia adalah turnamen yang sangat sulit ditaklukkan tim-tim tanpa nama besar maupun sejarah panjang di ”negeri spaghetti”.
Sepanjang 46 tahun terakhir, trofi itu silih berganti dikuasai para raksasa anggota ”The Magnificent Seven” serta klub-klub sarat sejarah lainnya. Mereka antara lain Juventus, AC Milan, Napoli, Inter Milan, Lazio, dan AS Roma. Hanya sekali terjadi anomali, yaitu saat Vicenza, tim gurem asal Italia utara, mencuri trofi itu dari tangan Napoli pada 1997 silam.
Atalanta telah merasakan betapa sulitnya meraih trofi idaman nomor dua di Italia, setelah Liga Italia Serie A, itu. Tiga kali mereka meraih final dalam kurun 34 tahun terakhir, namun selalu gagal. Kegagalan itu terakhir kali terjadi pada 2019. Saat itu, Gasperini dan timnya takluk 0-2 dari Lazio.
”Trofi itu (Piala Italia) telah saya impikan sejak kanak-kanak. Saya masih 10 tahun ketika kami meraihnya pada 1963 silam. Saya mendengarnya di radio dan semua orang (di Bergamo) menggila,” ungkap Presiden Atalanta Antonio Percassi, yang kini berusia 67 tahun, mengenang kali terakhir mereka meraih trofi Piala Italia.
Terakhir juara pada 1963
Piala Italia 1963 menjadi satu-satunya trofi milik klub asal Bergamo yang berdiri 113 tahun silam itu. ”Alangkah indahnya jika kami bisa meraihnya kembali. Trofi itu bisa menjadi hadiah bagi fans kami. Bisa mengangkatnya nanti adalah simbol penting, terutama bagi klub kecil seperti kami,” ujarnya dikutip La Gazetta dello Sport.
Apabila dibandingkan sumber daya yang dimiliki Juventus, Atalanta bisa dikatakan liliput. Total gaji 25 pemain ”Sang Dewi” setara dengan upah seorang bintang Juve, Cristiano Ronaldo. Dalam hal gaji para pemain, Atalanta menempati peringkat ke-11 dari total 20 klub, yaitu Rp 745 miliar per musim. Adapun Juve berada di peringkat teratas dengan gaji Rp 4,1 triliun.
Namun, performa dan penampilan ”Sang Dewi” selalu melampaui nilai uang, setidaknya selama tiga musim terakhir. Mereka konsisten bermain menekan, spartan, merebut bola secepat mungkin dari lawan, dan mencetak banyak gol.
Gaya bermain semacam itu membuat lawan-lawannya kerap menderita.
Manajer Manchester City Pep Guardiola bahkan menggambarkan Atalanta sebagai mimpi buruknya yang membawa penderitaan. ”Menghadapi Atalanta seperti datang ke dokter gigi (memberikan nyeri). Mereka sungguh tangguh. Mereka salah satu tim dengan gaya menyerang terbaik yang pernah saya hadapi,” ujar Guardiola, 2019 silam.
Atalanta merupakan tim paling agresif dan ngotot di Italia saat ini. Setap kali kehilangan bola, tiga hingga lima pemain mereka akan berupaya merebutnya kembali dari lawan. Di Jerman, taktik merebut kembali bola secepat kilat atau dalam waktu maksimal lima detik itu dikenal dengan istilah gegenpressing.
”Si Nyonya Besar” asuhan pelatih Andrea Pirlo selalu tampil kurang percaya diri saat menghadapi ”Sang Dewi”. Dalam dua kali pertemuan pada musim ini, Juve tidak sekalipun bisa menang atas calon lawannya di final Piala Italia itu.
Karakter bermain semacam itu membutuhkan energi besar, kekompakkan, serta kerjasama tim yang sangat bagus. Kolektivitas serupa diperlihatkan mereka saat menyerang. Hampir seluruh pemain Atalanta, dari berbagai lini, mampu mencetak gol. Musim ini, ada 16 pemain mereka yang menorehkan namanya di papan skor.
Tergarang di Italia
Total 90 gol telah mereka cetak di Liga Italia pada musim ini. Tidak satupun klub, sekalipun sang juara, Inter Milan, mampu menandingi produktivitas mereka. Dalam tiga laga terakhir di liga, mereka mengemas rata-rata 3,6 gol per laga.
Tidak heran, mereka bercokol di peringkat kedua Liga Italia saat ini dan dipastikan bakal tampil di Liga Champions untuk tiga musim beruntun. Perempat-finalis Liga Champions 2020 itu menggeser kekuatan tradisional di Italia, seperti Milan, Roma, bahkan Juventus.
”Memenangi trofi (Piala Italia) akan menjadi mahkota dari hasil kerja keras kami beberapa tahun terakhir ini. Orang-orang berkata, Atalanta tidak pernah juara. Namun, bagi tim seperti kami, tampil di Liga Champions tiga musim beruntun adalah hal luar biasa. Kami tetap pemenang, apapun yang terjadi (pada final Piala Italia),” ujar Gasperini, pelatih yang tengah menanti perpanjangan kontrak di Atalanta, seperti dikutip Football-Italia.
Gasperini ingin Atalanta meniru kisah sukses klub Inggris, Leicester City, yang baru saja menjuarai Piala FA. Mereka mengalahkan klub kaya raya, Chelsea, di final. Serupa Atalanta, Leicester adalah tim ”kuda hitam”, namun memiliki spirit dan etos kerja tinggi. Leicester pun mengakhiri penantian trofi Piala FA setelah empat kali gagal beruntun di babak final.
Maka itu, Atalanta menjadi ancaman serius bagi Juve, tim yang musim ini terpuruk serta terancam gagal finis di peringkat empat besar Liga Italia. Tahun ini, Atalanta tidak inferior.
Sebaliknya, ”Si Nyonya Besar” asuhan pelatih Andrea Pirlo selalu tampil kurang percaya diri saat menghadapi ”Sang Dewi”. Dalam dua kali pertemuan pada musim ini, Juve tidak sekalipun bisa menang atas calon lawannya di final Piala Italia itu. Terakhir kali bertemu, Juve dibungkam Atalanta, 0-1.
”Kami pernah mengalahkan mereka dan Ronaldo tidak tampil baik. Sekarang, saatnya kami mengangkat trofi,” ujar Remo Freuler, gelandang Atalanta.
Mantan bek Atalanta dan Juve, Paolo Montero, mengakui, ”Sang Dewi” berpeluang besar juara di Mapei. Mereka bakal tampil habis-habisan karena tidak lagi ada beban lainnya. Sebaliknya, Juve harus menjalani laga hidup-mati lainnya, yaitu versus Bologna di Liga Italia, akhir pekan mendatang.
”Namun, Juve punya sekelompok (pemain) juara. Itu bisa menjadi faktor pembeda,” ucap Montero mengenai laga final yang akan dihadiri 4.300 penonton itu. (AFP/Reuters)