Lionel Messi berduka, Luis Suarez berpesta. Dua situasi bertolak belakang ini menandakan bencana untuk Barcelona musim ini. Revolusi mereka gagal total, dari rencana hingga eksekusi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
BARCELONA, SENIN - Peluit panjang berbunyi nyaring, Lionel Messi tertunduk. Wajahnya murung, kekecewaan terpancar. Alih-alih menjalani perpisahan manis bersama Barcelona, musim ini justru berubah menjadi bencana.
Barca terdepak dari perburan gelar Liga Spanyol seusai dipermalukan tim tamu Celta Vigo, 1-2, di Stadion Camp Nou, Senin (17/5/2021) dini hari WIB. Mereka sudah tidak mungkin lagi mengejar duo Madrid, Atletico dan Real, dengan satu laga tersisa musim ini.
Hasil ini bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan target mereka pada awal musim. Bersama pelatih baru, Ronald Koeman, skuad Barca membawa misi spesial. Mereka ingin menjadi juara liga demi menghormati musim terakhir Messi, yang berniat hengkang ketika kontrak habis.
Musim perpisahan ini ingin mengulangi kisah ”Tarian Terakhir” dinasti Chicago Bulls bersama Michael Jordan pada 1998. Ketika itu, skuad Bulls bertekad meraih juara ke-6 kali untuk merayakan musim pamungkas beberapa pemain hingga pelatih, salah satunya Jordan.
Namun, saat Bulls sukses besar, Barca justru merana. Mereka tidak hanya gagal juara dua musim beruntun. Prestasi musim ini, finis di luar dua besar, menjadi prestasi terburuk sejak 2008.
Wajar Messi kecewa. Dia seperti berjuang sendiri. Pemain berjuluk ”Si Kutu” ini sudah mencetak 30 gol, terbanyak di liga musim ini. Gol itu termasuk pembuka keunggulan pada laga terakhir. Tetapi, semua upayanya ternyata tidak cukup menyelamatkan skuad Barca yang dirasuki inkonsistensi.
Kami harus disalahkan ketika keadaan memburuk. Ini adalah kesalahan kami karena menjalani banyak pertandingan tanpa kemenangan, termasuk hari ini.
Bek kiri Barca Jordi Alba memahami kekecewaan Messi. ”Kami (pemain) harus disalahkan ketika keadaan memburuk. Ini adalah kesalahan kami karena menjalani banyak pertandingan tanpa kemenangan, termasuk hari ini,” ucapnya seperti dikutip laman harian Marca.
Problem di tubuh Barca sangat kentara. Ada yang salah dalam performa, yang mungkin berkorelasi dengan mentalitas. Mereka tiba-tiba memasuki tren buruk pada akhir musim, hanya menang sekali dalam 5 laga terakhir. Termasuk kalah di kandang dalam partai krusial pekan ini.
Padahal, rekor kemenangan mereka mencapai 92 persen (12 menang, 1 seri) sejak Januari sampai Maret. Performa itu tiba-tiba anjlok menjadi 44 persen (4 menang, 3 kalah, 2 seri) mulai April. Yang mengherankan, mereka tidak dihantui badai cedera seperti duo Madrid.
Kebingungan itu tercermin dari wajah Koeman di pinggir lapangan. Dia terkejut, timnya yang unggul dulu dan mendominasi, justru kalah pada akhir laga. ”Laga ini seperti mencerminkan apa yang terjadi dalam banyak laga musim ini. Kami bermain bagus, tiba-tiba semua rusak karena satu serangan lawan. Ini sangat membebani mental kami,” ucapnya.
Pesta Suarez
Saat bersamaan dengan momen duka Barca, Luis Suarez berpesta merayakan gol kemenangan bersama Atletico Madrid di Stadion Wanda Metropolitano. Gol Suarez pada menit ke-88, mengantarkan timnya menang atas Osasuna, 2-1. Atletico yang memuncaki klasemen hanya butuh satu kemenangan lagi untuk juara.
Hal ini sangat ironis. Jika bernostalgia ke awal musim, Barca amat yakin ketika mengusir Suarez dari Camp Nou. Mereka melepas striker Uruguay ini ke tim rival dengan harga diskon, 7 juta euro atau sekitar Rp 121 miliar. Ternyata, sang mantan justru yang berperan mendepak Barca dari perburuan gelar.
Mantan penyerang legendaris Atletico Diego Forlan berkali-kali menyampaikan, Barca salah besar. ”Dia (Suarez) masih pemain penting di Barca. Dia mencetak gol, mengumpan, juga berdampak di luar lapangan. Kehilangannya, sama seperti Cristiano Ronaldo meninggalkan Real Madrid. Ini adalah kesalahan Barca,” ucapnya.
Kesalahan sudah terbukti. Hal itu sekaligus menunjukkan perencanaan transfer Barca yang acak-acakan. Revolusi skuad yang dicanangkan awal musim, justru berakhir menguntungkan tim rival.
Manajemen Barca juga tidak belajar dari kesalahan pada 2013. Ketika itu, mereka juga melepas striker David Villa ke Atletico. Hasilnya, sang rival menjuarai liga untuk pertama kali sejak 1995-1996.
Rencana belanja pemain memunculkan tanda tanya besar. Titik paling krusial untuk dibenahi, bek tengah, justru dibiarkan begitu saja. Padahal, pertahanan merupakan biang kerok petaka tim ketika dihancurkan Bayern Muenchen, 2-8, di Liga Champions.
Hasil megecewakan musim ini merupakan pertanda kegagalan revolusi Barca. Buktinya, nasib Koeman sekarang berada di ujung tanduk. Masa depan sang pelatih masih ditinjau oleh manajemen klub.
Sekarang, Barca hanya bisa berharap Messi memperpanjang kontrak. Tanpanya, skuad ”Blaugrana” yang pas-pasan ini bisa menciptakan bencana lebih besar musim depan.
Koeman, yang belum tentu dipertahankan, bahkan tidak berani membayangkan seburuk apa skuad Barca tanpa pertolongan Messi musim depan. “Dia memperlihatkan, mustahil tim ini bermain tanpanya. Jika tanpa dirinya, kami ragu siapa yang akan mencetak gol sebanyak itu,” kata pelatih asal Belanda tersebut.
Perburuan gelar pada pekan terakhir, Minggu depan, akan tersaji antara tim sekota Madrid. Atletico yang mengoleksi 83 poin akan bertamu ke markas tim penguni zona degradasi Real Valladolid, sedangkan Real yang mengantongi 81 poin akan menjamu Villarreal.
”El Real” masih berpeluang juara. Syaratnya, mereka harus menang sambil berharap tim rival sekota seri atau imbang. ”Kami tidak mau memikirkan hal lain, hanya mau berkonsentrasi pada diri sendiri untuk melawan Villarreal,” ucap pelatih Madrid Zinedine Zidane. (REUTERS)