Setahun setengah tak berkompetisi karena pandemi Covid-19 sangat memengaruhi performa atlet. Pelari Lalu Muhammad Zohri dan pelompat jauh Sapwaturrahman gagal menunjukkan performa terbaik di uji coba Olimpiade Tokyo.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
TOKYO, MINGGU — Setahun setengah tak berkompetisi karena pandemi Covid-19 dan cedera lutut ternyata berdampak negatif terhadap performa pelari Lalu Muhammad Zohri. Dalam uji coba Olimpiade Tokyo bertajuk Ready Steady Tokyo di Stadion Olimpiade Tokyo, Jepang, Minggu (9/5/2021), pelari berusia 20 tahun belum bisa kembali ke puncak peformanya seperti saat mencatat waktu 10,03 detik dan meraih perunggu Seiko Golden Grand Prix 2019 di Osaka, Jepang.
Ready Steady Tokyo adalah ajang uji coba Olimpiade yang turut membuktikan bahwa tuan rumah Jepang tetap serius menyiapkan pesta olahraga empat tahunan, yang telah tertunda setahun karena pandemi Covid-19 tersebut. Kendati banyak pihak yang ragu, uji coba yang dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat itu membuktikan Negeri Matahari Terbit siap menggelar Olimpiade ke-32 tepat waktu, pada 23 Juli-8 Agustus mendatang.
Pada uji coba kali ini, Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) mendapatkan undangan untuk berpartisipasi. Mereka mengirim dua atlet untuk berlaga di dua nomor, yakni Zohri di lari 100 meter dan Sapwaturrahman di lompat jauh. Kedua pahlawan olahraga Merah-Putih itu bersaing dengan hampir semua atlet-atlet terbaik Jepang di nomor masing-masing.
Pada babak penyisihan heat kedua, Zohri bertemu dengan salah satu pelari terbaik Jepang, yakni pelari keturunan Jamaika-Jepang Asuka Cambridge. Hasilnya cukup menjanjikan, pelari tercepat Indonesia itu mampu finis keempat dengan waktu 10,34 detik dan berhak tampil di putaran final. Catatan waktu itu jauh lebih baik daripada waktu 10,36 detik yang dicetaknya pada Kejuaraan Dunia 2019 di Doha, Qatar atau kejuaraan terakhir yang diikutinya dalam 1,5 tahun terakhir.
Pada babak final, Zohri bertemu dengan lebih banyak atlet elite internasional. Setelah Cambridge yang finis pertama di heat kedua urung tampil di final, pelari asal Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, itu paling tidak berhadapan dengan pelari terbaik Jepang lainnya, Shuhei Tada dan Yuki Koike, serta pelari kawakan dari Amerika Serikat Justin Gatlin.
Zohri tampil lumayan baik hingga pertengahan perlombaan. Dari start block sampai 30 meter, pelari bertinggi 170 sentimter itu melesat cepat. Itu membuatnya bisa mengimbangi para pesaingnya sampai 50 meter. Namun, selepas itu, dia mulai keteteran dan tertinggal semakin jauh di 70 meter.
Akhirnya, Zohri cuma finis ketujuh atau yang terakhir dengan waktu 10,45 detik, melorot 0,11 detik dibanding babak penyisihan dan 0,42 detik di bawah rekor terbaiknya. Adapun Gatlin meraih emas dengan waktu 10,24 detik, Tada meraih perak dengan 10,26 detik, dan Koike meraih perunggu dengan 10,28 detik.
Hasil sesuai skenario
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung ketika dihubungi mengatakan, hasil yang diraih Zohri masih sesuai skenario para pengurus. Sebab, persiapan Zohri memang kurang optimal jelang uji coba Olimpiade ini. Pada Oktober, dia mengalami cedera robek ACL dan meniskus lutut kanan.
Atlet kelahiran 1 Juli 2000 itu menjalani operasi lutut pada November. Sepanjang Januari-Maret, dia menjalani pemulihan. Praktis, dirinya baru bisa menjalani latihan normal pada April. Artinya, persiapannya ke uji coba Olimpiade hanya kurang lebih satu bulan.
Di samping itu, Zohri memang belum pernah berlomba lagi setelah ikut Kejuaraan Dunia 2019. ”Hasil ini masih sesuai skenario. Setidaknya, hasil yang didapat Zohri di babak penyisihan masih lebih baik dibanding Kejuaraan Dunia kemarin. Di final, dia memang melorot tapi semua pelari lain juga melorot,” ujar Tigor.
Tigor tidak memungkiri Zohri perlu banyak perbaikan sebelum tampil ke Olimpiade yang tiketnya sudah didapat sejak meraih perunggu di Seiko Golden Grand Prix 2019. Salah satunya, daya tahan kecepatan Zohri perlu diperbaiki baik stamina maupun tekniknya. Tujuannya, agar dia bisa mempertahankan kecepatan dari awal start sampai finis. Sebab, dalam lari 100 meter, atlet bukan dituntut meningkatkan kecepatan tetapi mempertahankan kecepatan atau menjaga perlambatan tidak drastis sebelum finis.
Kemudian, stamina Zohri wajib lebih prima agar tetap optimal saat tampil dua kali dalam sehari, seperti dari babak penyisihan ke babak semi final atau final. ”Penampilan Zohri kali ini jadi bahan evaluasi. Kenapa penampilannya melorot dari babak penyisihan ke final. Ada kemungkinan ini menyangkut endurance atau teknik,” katanya.
Secara keseluruhan, Tigor menuturkan, proses penyembuhan cedera Zohri jauh lebih cepat dari dugaan. Namun, PB PASI tidak akan memaksa Zohri untuk cepat-cepat mencapai puncak peformanya. Sebab, kalau dipaksakan, itu justru mengancam kariernya yang masih panjang. Oleh karena itu, target utama Zohri ialah tampil maksimal di SEA Games Vietnam 2021.
Untuk Olimpiade Tokyo, PB PASI tidak mau muluk-muluk. Zohri bisa sampai semifinal itu sudah menjadi pencapaian luar biasa. ”Dengan kondisi dan usianya, Zohri baru ditargetkan berprestasi di level Olimpiade pada Olimpiade Paris 2024 nanti,” tuturnya.
Sapwan belum berhasil
Sementara itu, Sapwan belum berhasil meraih tiket langsung ke Olimpiade Tokyo. Lompatan terbaiknya hanya 7,22 meter yang dibuat pada lompatan pertama dari enam kesempatan. Hasil itu membuatnya berada di tempat kedelapan atau juru kunci dalam perlombaan itu. Tiga besar lomba itu semuanya diisi atlet tuan rumah, yakni Yuki Hashioka di peringkat pertama dengan lompatan 8,07 meter, Tenju Togawa di urutan kedua dengan lompatan 7,82 meter, dan Shoutarou Shiroyama di posisi ketiga dengan lompatan 7,79 meter.
Hasil yang didapat atlet kelahiran Brang Biji, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 13 Mei 1994 itu masih tertinggal 1 meter di bawah batas Olimpiade, yakni 8,22 meter untuk lolos langsung ke gelaran tersebut. ”Ini lomba pertama Sapwan setelah 1,5 tahun tidak berlomba karena pandemi Covid-19. Ini membuat bingung (kagok karena kehilangan insting berlomba). Namun, inilah hasilnya, semoga ke depan lebih baik lagi,” ujar pelatih Sapwan, Arya Yuniawan Purwoko.
Raihan itu pun jauh dari rekor terbaik atlet berusia 26 tahun ini dengan 8,09 meter kala meraih perunggu Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. ”Dari awalan (sampai mendarat), Sapwan sudah bagus. Cuma ya ini belum dikasih kesempatan (mendapatkan tiket Olimpiade). Setelah dari sini, mudah-mudahan Sapwan mendapatkan kembali insting berlomba agar lebih baik di kesempatan berikutnya,” kata Arya.
Tigor mengutarakan, hasil itu kian membuktikan bahwa Sapwan perlu lebih banyak ikut kejuaraan. Sebab, selama latihan, dia beberapa kali melompat di atas 8 meter. Akan tetapi, suasana berlatihan dan berlomba sangat berbeda.
Bahkan, dalam perlombaan tadi, Sapwan sempat terlalu memaksa untuk melompat di atas 8 meter tetapi akhirnya tidak sah (karena kakinya melewati batas melompat). ”Kalau latihan, mungkin Sapwan sudah cukup baik. Tapi, pertandingannya kurang. Ini yang perlu dibenahi agar hasil dalam kejuaraan lain lebih baik,” tuturnya.
Walau berat, kesempatan Sapwan meraih tiket Olimpiade masih terbuka dalam Kejuaraan G Qusanov Memorial di Almaty, Kazakhstan, 19-20 Juni dan Jawa Tengah Terbuka di Semarang, awal Juli. Namun, dia patut memperbaiki jarak lompatan hingga 1 meter dalam waktu sebulan ini.