AC Milan Mengirim Juventus ke ”Neraka”
Raksasa Italia, Juventus, dipaksa menghadapi kengerian seperti saat terdegradasi, nyaris dua dekade lalu, seusai dipermalukan AC Milan, 0-3. Juve terancam terdepak dari jajaran elite dan ditinggalkan Cristiano Ronaldo.
Satu per satu digdayaan Juventus di Italia dilucuti lawan-lawannya pada musim ini. Setelah kehilangan scudetto atau gelar juara Liga Italia yang dimonopolinya sembilan musim beruntun, Juve terlempar dari status tim elite menyusul kekalahan 0-3 dari AC Milan di Turin, Senin (10/5/2021) dini hari WIB. Eksodus para bintang, seperti di era pasca-calciopoli, kini membayangi mereka.
”Milan mengirimkan Juventus ke neraka,” bunyi ulasan Football-Italia menggambarkan kengerian yang tengah dihadapi ”Si Nyonya Besar”, yang kini tidak lagi besar, seusai kekalahan dari lawannya yang dijuluki "Il Diavolo" alias "Si Iblis" itu.
Kekalahan itu adalah yang pertama kali diderita Juve dari Milan di Turin dalam satu dekade terakhir atau sebelum dimulainya masa keemasan mereka yang dirintis mantan pelatihnya, Antonio Conte. Sang pelatih Juve pada 2011-2014 itu baru saja membawa Inter Milan meraih scudetto.
Jangankan juara, akibat kekalahan itu, Juve terlempar dari peringkat empat besar Liga Italia dan terancam absen di kompetisi elite antarklub Eropa, Liga Champions, pada musim depan. Hal itu kali terakhir terjadi sebelumnya pada musim 2010-2011 silam, yaitu ketika masih ditangani Luigi Del Neri. Pada saat itu, Juve finis ketujuh.
Baca juga: Conte, Alfa dan Omega Serie A dalam Satu Dekade
”Juventus sungguh memalukan. Mereka tidak punya ide dalam bermain, persis seperti saat menghadapi Udinese. Padahal, Milan tampil biasa-biasa saja. Kurang agresif,” ujar Fabio Capello, mantan Pelatih Juve dan AC Milan yang mengoleksi tujuh scudetto, dikutip Sky Sport Italia.
Potensi gagalnya Juve finis di empat besar pada akhir musim ini tidak bisa disepelekan. Saat ini, mereka menempati peringkat kelima dengan koleksi 69 poin dari 35 laga. Juve tertinggal satu poin dari Napoli serta tiga poin dari Milan dan Atalanta. Ketiga tim dimaksud menempati peringkat keempat hingga kedua Liga Italia saat ini.
Jadwal paling berat
Dibandingkan ketiga rivalnya itu, Juve memiliki jadwal paling berat di tiga pekan tersisa pada musim ini. Mereka berturut-turut akan menghadapi Sassuolo, Inter Milan, dan Bologna. Dari ketiga laga itu, dua di antaranya adalah duel tandang, yaitu versus Sassuolo dan Bologna. Rekor laga tandang Juve adalah yang terburuk dari ketiga rivalnya itu. Mereka hanya mengemas rata-rata 1,6 poin per laga dari total 17 duel tandang pada musim ini.
Juve sangat kedodoran musim ini terlepas realitas mereka adalah tim dengan gaji pemain tertinggi di Serie A musim ini. Gaji pemain mereka 2,6 kali lipat dari AC Milan.
Tak hanya itu, Juve juga inferior dalam hal rekor head to head dari ketiga rivalnya itu dalam persaingan finis di peringkat empat besar Liga Italia. Sebagai catatan, jika dua tim di Liga Italia Serie A memiliki poin yang sama pada akhir musim, penentuan tim yang lebih baik (tie-break) memakai head to head. Juve berturut-turut kalah agregat 1-2 dari Atalanta, 3-4 dari Milan, dan gol tandang dari Napoli.
Maka itu, Capello memprediksi, Juve bakal gagal finis empat besar. ”Siapa pun yang kalah (pada laga Juve versus Milan) akan terdepak (dari persaingan empat besar). Itu bukan hanya soal klasemen. Kekalahan akan memukul aspek psikologis yang sulit dipulihkan,” ujar Capello, dikutip Corriere della Serra.
Jika prediksi Capello benar terwujud, Juve akan mengalami fase seperti ketika mereka jatuh terdegradasi akibat skandal calciopoli (pengaturan wasit), 2007 silam. Saat itu, era keemasan Si Nyonya Besar bersama para legendanya, seperti Conte dan Alessandro Del Piero, runtuh karena eksodus sejumlah pemain dan staf, termasuk Capello.
Baca juga: Antonio Conte Mengubah Para Pecundang Jadi Pemenang
Absennya Juve dari Liga Champions bakal membuat Juve kehilangan potensi pendapatan triliunan rupiah. Megabintangnya, Cristiano Ronaldo, pun terancam hengkang. Begitu pula para bintang lain, seperti Alvaro Morata dan Paulo Dybala. Tidak hanya itu, mereka juga bakal sulit memikat para buruan yang tengah diincarnya, seperti kiper Milan Gianluigi Donnarumma.
Absen dari kompetisi elite itu juga bakal membuat mereka sulit meminang pelatih ternama, salah satunya Zinedine Zidane (Real Madrid). Padahal, Zidane merupakan incaran lama Presiden Juventus Andrea Agnelli untuk membuat mereka berjaya di Liga Champions, kompetisi yang kali terakhir mereka menangi 1996 silam bersama pelatih Marcello Lippi.
[embed]https://youtu.be/7CY9S78Ekew[/embed]
Akibat sulit meminang Zidane, musim panas lalu, Agnelli—atas masukan dua direkturnya, yaitu Pavel Nedved dan Fabio Paraticci—memilih ”mengkloning” mantan pemainnya itu. Mereka ingin melahirkan ”Zidane” baru di Juve, seperti dilakukan Real Madrid, setengah dekade lalu.
Kegagalan Pirlo
Ditunjuknya Andrea Pirlo, yang minim pengalaman manajerial, sebagai pelatih baru Juve pada musim panas lalu diharapkan bisa meniru kesuksesan Zidane di Real. Padahal, Zidane berbeda dengan Pirlo. Sebelum memegang tim utama Real, 2016 lalu, Zidane telah teruji di tim Real Madrid Castilla. Ia juga pernah menjadi asisten Carlo Ancelotti. Pelatih asal Perancis itu banyak belajar dan menyerap ilmu pada masa itu sebelum memimpin Real tiga kali menjuarai Liga Champions.
Sebaliknya, Pirlo bak pelatih ”karbitan” dan tidak melewati seluruh tahapan belajar yang dijalani Zidane itu. Pirlo, yang awalnya diplot sebagai pelatih akademi Juve, bahkan ditunjuk menangani first team Si Nyonya Besar meskipun baru saja menjalani kursus lisensi pelatih UEFA Pro. Walau tergolong ”murid terpintar” dalam kursus pelatih di Coverciano itu, Pirlo hanya paham teori.
Tidak heran, Juve sangat kedodoran musim ini terlepas realitas mereka adalah tim dengan gaji pemain tertinggi di Serie A musim ini. Gaji skuad Juve musim 2020-2021 adalah 236 juta euro atau setara Rp 4 triliun. Nilai gaji itu adalah 2,6 kali lipat dari Milan dan 5,5 kali lipat dari Atalanta.
Minimnya pengalaman Pirlo itu terlihat dari cara bermain Juve. Musim ini, Juve seolah-olah dijadikan laboratorium Pirlo. Mantan gelandang Juventus itu rutin mengotak-atik line-up, taktik, maupun posisi para pemainnya. Ia pun dijuluki ”si tukang otak-atik”, predikat yang dulu pernah disandang Claudio Ranieri (mantan Pelatih Juve dan Leicester City).
Para pemainnya pun bingung dengan kebijakannya. Bek sayap Alex Sandro yang mungil, misalnya, pernah dipasang sebagai bek tengah. Bek sayap lainnya, Danilo, juga pernah dimainkan sebagai gelandang. Gelandang muda berbakat Juve, Dejan Kulusevski, juga terus-menerus dimainkan Pirlo di luar posisi terbaiknya sebagai trequartista saat masih membela Parma.
”Para pemain Juve bingung dengan Pirlo, apalagi ia tidak pernah membahas taktik secara detail dengan mereka,” ungkap Il Corriere della Sera, beberapa waktu lalu.
La Gazetta Dello Sport, pekan lalu, mengungkap, Pirlo memasang 34 line-up berbeda dari 34 laga Juve di Liga Italia musim ini, sebelum melawan Milan. Angka itu adalah rekor baru. Karena tidak pernah memasang line-up ataupun posisi pemain yang sama secara beruntun, termasuk ketika menghadapi Milan, Juve kehilangan kohesinya yang sangat kental di era Conte dan Massimiliano Allegri.
Kehilangan kohesi
Akibat kehilangan kohesi, terutama di lini tengah, Juve sangat minim kreativitas dan tampil monoton. Seperti saat melawan Milan, Juve memaksa diri berkali-kali menyerang lewat umpan-umpan silang Juan Cuadrado, walaupun tidak efektif. Mereka menjadi sangat bergantung pada kemampuan individual, seperti Ronaldo yang telah mencetak 27 gol atau 40 persen dari total 67 gol yang mereka buat di Serie A pada musim ini.
Meskipun dituding salah satu penyebab kemunduran Juve pada musim ini, Pirlo bergeming. ”Saya tidak akan mundur (sebagai pelatih). Saya masih diperkerjakan klub, masih ada tiga laga liga (di Serie A). Saya akan melanjutkan pekerjaan saya sepanjang masih diizinkan klub,” ujarnya.
Jika Juve gagal lolos ke Liga Champions, Pirlo bisa jadi terus dipertahankan di klub itu hingga musim depan. Mereka sudah telanjur basah memulai perjudian besar dengan nama evolusi tim. Gajinya yang kecil dibandingkan pelatih-pelatih ternama, yaitu 3,5 juta euro atau Rp 60 miliar per musim, juga ramah di kantong Juve yang kini menderita kesulitan finansial akibat pandemi.