Manchester City menghidupkan gaya ”total football” saat menyingkirkan Paris Saint-Germain di semifinal. Butuh kesabaran bertahun-tahun untuk mewujudkan gaya bermain legendaris itu.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
MANCHESTER, RABU — Setelah lima musim menangani Manchester City, manajer Pep Guardiola akhirnya membawa tim selain Barcelona menembus final Liga Champions Eropa. Keberhasilan City menembus final untuk pertama kali dalam 141 tahun sejarah klub itu adalah buah kesabaran dan ketekunan Guardiola. Ia mengubah tim yang tidak punya sejarah prestasi di Eropa menjadi calon penguasa baru ”Benua Biru”.
Kemenangan City atas Paris Saint-Germain, 2-0 (agregat 4-1), pada laga kedua semifinal, Rabu (5/5/2021) dini hari WIB, di Stadion Etihad, Manchester, Inggris, juga menunjukkan kedewasaan taktik Guardiola. Ia telah memetik pelajaran berharga dari kegagalan City dalam tiga musim terakhir yang selalu gugur pada babak perempat final Liga Champions.
Untuk pertama kalinya pada musim ini, City tidak dominan dalam penguasaan bola maupun jumlah operan dibandingkan sang lawan. Selama 90 menit laga di Manchester, PSG mengumpulkan 55 persen penguasaan bola dan 619 operan. Adapun City hanya memiliki 45 persen penguasaan bola dan menciptakan 494 operan.
Menyadari PSG akan tampil menekan guna membalas kekalahan 1-2 pada laga pertama di Paris, City pun memilih sabar dan menerapkan zona pertahanan lebih rendah di wilayah pertahanan sendiri. Walaupun begitu, para pemain ”The Citizens” tampil dengan totalitas tinggi. Kuartet lini serang mereka, yaitu Kevin De Bruyne, Phil Foden, Bernardo Silva, dan Riyad Mahrez, seakan telah menyiapkan ”bom waktu” melalui pola serangan balik cepat.
Dua gol City yang diciptakan Mahrez pada menit ke-11 dan ke-68 adalah buah dari kecerdikan pemain City. Mereka memanfaatkan celah di sisi kanan pertahanan PSG akibat kerap ditinggal bek sayap Alessandro Florenzi untuk menyerang.
Di sisi lain, duet bek tengah City, Ruben Dias dan John Stones, tampil bak benteng kokoh. Keduanya membuat frustrasi lawan sehingga PSG gagal menciptakan satu pun tembakan mengarah ke gawang. Jika digabung dengan duel pertama di Paris, Dias dan Stones telah 152 menit lamanya mencegah para pemain PSG melakukan tembakan ke gawang City.
Saya bukan pendukung City, tetapi saya sangat menikmati menyaksikan mereka bermain. Mereka punya pemain dengan kualitas luar biasa, mampu saling bertukar (posisi) dan lentur mengisi ruang. Itu adalah gaya total football.
Menurut legenda tim nasional Inggris, Rio Ferdinand, City telah menciptakan sejarah baru klub itu dengan cara yang fantastis. Permainan City saat ini, menurut Ferdinand, adalah salah satu wujud performa terbaik yang pernah ditampilkan tim asal Inggris di Eropa.
”Saya bukan pendukung City, tetapi saya sangat menikmati menyaksikan mereka bermain. Mereka punya pemain dengan kualitas luar biasa, mampu saling bertukar (posisi) dan lentur mengisi ruang. Itu adalah gaya total football,” kata Ferdinand seperti dilansir Evening Standard.
Total football adalah taktik permainan menyerang yang diperkenalkan mendiang Rinus Michels, Pelatih Ajax Amsterdam, pada periode 1965-1971. Dengan permainan kolektif dan atraktif yang cerdas memanfaatkan celah di ruang pertahanan lawan, Michels membawa Ajax juara Liga Champions edisi 1970-1971. Guardiola merupakan pengagum Michels dan Johan Cruyff yang menjadi pionir gaya permainan tersebut.
Statistik menakjubkan
Statistik musim ini menjadi penegas pernyataan Ferdinand. City adalah tim dengan jumlah operan, penguasaan bola, dan tembakan terbanyak dari 32 tim peserta Liga Champions musim ini. Menariknya, City sekaligus tim dengan pertahanan terbaik, yaitu hanya kebobolan rata-rata 0,33 gol per laga. Tidak heran, City menjadi klub asal Inggris pertama yang mampu mencatatkan tujuh kemenangan beruntun di Liga Champions.
Menurut Dias, yang dinobatkan UEFA sebagai pemain terbaik pada laga tersebut, statistik menakjubkan itu merupakan buah kerja keras semua pemain di timnya. ”(Kemenangan) ini buah dari keseimbangan yang kami wujudkan. Kami bertahan dengan baik sebagai sebuah tim karena tidak hanya saya dan para pemain bertahan yang menjaga zona pertahanan. Kami juga punya pemain yang bisa melukai lawan lewat serangan mematikan,” ujar Dias yang baru bergabung dengan City dari Benfica pada awal musim ini.
Untuk bisa tampil dominan seperti saat ini dan lolos ke final Liga Champions, City melewati proses panjang. Perjalanan City untuk menguasai Eropa dimulai ketika dibeli tokoh Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan, pada September 2008. Sejak saat itu, City telah membeli banyak pemain bintang, mulai dari Robinho hingga terakhir, Dias.
Sejak saat itu hingga kini, total 1,74 miliar poundsterling atau setara Rp 34,9 triliun telah dihabiskan City untuk membeli pemain. Tiada klub Eropa lainnya yang bisa menandinginya. Guna melengkapi ambisi besar mereka, Guardiola didatangkan pada musim panas 2016.
Meskipun berkali-kali gagal membawa City meraih final dan juara, Guardiola tetap dipertahankan. Kesabaran itu kini mulai membuahkan hasil. Permainan City, khususnya di Liga Champions, kian matang dan solid. Bek Ruben Dias melengkapi mozaik yang dibutuhkan Guardiola untuk menciptakan tim total football seperti diimpikannya selama ini.
”Saya kira keberhasilan kami mencapai final adalah sebuah gambaran besar dari proses (panjang) selama empat atau lima tahun terakhir. Kami pantas ke final karena memenangi 11 dari 12 laga musim ini,” kata Guardiola, yang membawa Barca juara Liga Champions pada 2009 dan 2011, seperti dilansir The Guardian.
Kesabaran City agar bisa perkasa di Eropa pun diakui Pelatih PSG Mauricio Pochettino. Menurut dia, City telah memetik buah dari proses panjang bersama Guardiola. ”The Citizens” pun kini di ambang sejarah hebat lainnya, yaitu meraih treble alias tiga gelar semusim.
”Saya harus memberikan selamat kepada City karena mereka memiliki musim yang mengagumkan. Setelah enam atau tujuh musim bertugas, Pep (Guardiola) akhirnya mampu menunjukkan hasil kerja yang baik,” ujar Pochettino.
Marco Verratti, gelandang PSG, sependapat dengan pelatih barunya itu. Verratti berharap klubnya bersedia meniru proses panjang yang dilalui City untuk bisa mencapai level permainan terbaik di Eropa.
”City pantas berada di final karena telah bekerja dengan pelatih yang sama dalam beberapa tahun terakhir. Kami juga telah mencapai final musim lalu. Jadi, kami harus terus melanjutkan proyek tim bersama pelatih baru kami (Pochettino),” kata Verratti seperti dilansir laman resmi UEFA. (AFP)