Manchester City menolak bermain aman dan pragmatis saat ganti menjamu Paris Saint-Germain pada laga pertemuan kedua semifinal Liga Champions. City ingin menunjukkan kesetiaannya atas paham ofensif yang dianut Guardiola.
Oleh
Yulvianus Harjono
·5 menit baca
MANCHESTER, SENIN — Duel Manchester City versus Paris Saint-Germain pada semifinal Liga Champions Eropa bukan melulu soal kekayaan dan pamer kekuatan para megabintang sepak bola dunia. Laga itu juga bisa menjadi cermin pentingnya kesetiaan, baik dalam hal pengabdian individu maupun gaya bermain sebuah tim.
Kesetiaan yang kental dimiliki City itu akan diuji hebat oleh PSG saat kedua tim kaya raya itu berduel di Stadion Etihad, Manchester, Inggris, Rabu (5/5/2021) pukul 02.00 WIB. City kini berada di atas angin berkat kemenangan 2-1 atas PSG pada pertemuan pertama babak semifinal di Paris, Perancis, pekan lalu.
Namun, keunggulan agregat itu bisa menjadi pisau bermata dua bagi ”The Citizens”. Mereka bisa mudah besar kepala atau sebaliknya, tergoda untuk tampil defensif dan mengingkari jati diri sebagai salah satu tim Eropa paling ofensif saat ini. Toh, hasil imbang cukup bagi City untuk lolos ke final Liga Champions pertamanya sepanjang sejarah.
Pengalaman membuktikan, kemenangan pada duel pertama Liga Champions bukan jaminan kesuksesan di ajang yang sangat ketat dan sengit seperti Liga Champions. City pernah merasakan pengalaman pahit itu, yakni pada musim pertamanya bersama Manajer Pep Guardiola.
Pada musim 2016-2017 itu, City melumat wakil Perancis lainnya, AS Monako, 5-3, pada duel pertama babak 16 besar. Mereka pun tampil lebih percaya diri pada duel kedua dan lebih banyak menguasai bola, seperti biasanya.
Celakanya, kepercayaan diri berlebihan itu menjadi bumerang. Mereka dikalahkan sang kuda hitam, 1-3, dan tersingkir akibat agregat gol tandang. Pada duel itu, City menjadi bulan-bulanan penyerang Monako yang saat itu masih ”ingusan” dan belum banyak dikenal publik dunia, Kylian Mbappe.
Sang penyerang muda sensasional itu berpotensi kembali menjadi ancaman bagi City. Sejak diboyong PSG dari Monako pada Juli 2017 silam, Mbappe kian menjelma predator menakutkan. Musim ini, ia telah memborong delapan gol dan tiga asis untuk PSG di Liga Champions.
Kombinasi produktivitasnya itu sulit ditandingi para megabintang lainnya, termasuk striker Barcelona, Lionel Messi. Musim ini, Barca menjadi salah satu korban amukan Mbappe. Ia memborong empat gol saat PSG menyingkirkan Barca dengan agregat gol 5-2 pada babak 16 besar.
Sayang, Mbappe sempat cedera dan dipaksakan tampil sejak menit pertama pada duel pekan lalu di Paris. Padahal, ia belum bugar 100 persen. Ia lalu diistrahatkan total saat PSG mengalahkan Lens di Liga Perancis, akhir pekan lalu.
Jika bugar, Mbappe dan penyerang termahal sejagat saat ini, Neymar Jr, menjadi ancaman terbesar City. Musim ini, PSG cenderung tampil lebih beringas di luar kandangnya berkat taktik transisi serangan cepat ala pelatih Mauricio Pochettino.
Secara beruntun, mereka melumat Manchester United, Barca, dan Bayern Muenchen saat bertandang. Total 10 gol dibuat PSG pada tiga laga tandang itu.
”City tim hebat, tetapi kami punya talenta. Kami perlu berpikir positif, yakin bisa menang (di Manchester) dan meraih final,” ujar Pelatih PSG Mauricio Pochettino optimistis.
Memori indah Pochettino
Berbeda dengan City yang tetap setia bersama Guardiola sejak 2016 meskipun berkali-kali gagal menembus final Liga Champions, PSG musim ini mencoba peruntungan baru bersama Pochettino. Mantan manajer Tottenham Hotspur itu punya memori indah, yaitu lolos ke final 2019 berkat keunggulan agregat gol tandang atas City dan Guardiola pada babak perempat final.
Pengalaman indah Pochettino dan Mbappe itu tak pelak bakal menguji keteguhan taktik Manchester City. Guardiola mengaku tidak bisa tidur nyenyak jika memikirkan para talenta berbakat PSG itu.
Besok kami harus menyerang seperti laga-laga lainnya. Kami tidak pernah berpikir pekerjaan telah selesai atau harus bertahan. Akan jadi kemunduran jika kami melakukannya.
Para pemainnya pun tampil seperti mayat hidup pada babak pertama laga di Paris karena terlalu merisaukan Neymar Jr dan Mbappe. Mereka sempat tertekan dan tertinggal 0-1 pada laga pekan lalu.
”Di kamar ganti, saya berkata kepada tim, kita tidak perlu malu jika kalah. Saya pun tidak akan mengeluh sepanjang anak-anak tidak malu-malu memainkan cara kami. Jika tidak bisa (lolos) ke final, masih ada musim depan,” ujar Guardiola.
Berkat pidato Guardiola saat jeda turun minum, City menjadi tim berbeda pada babak kedua laga tersebut. Mereka lebih berani menekan tanpa bola dan menyerang seperti ciri khas tim itu. Hasilnya, mereka berbalik unggul dan menang 2-1.
Guardiola pun meminta para pemainnya tidak takut menyerang, meskipun tetap mewaspadai serangan balik PSG, pada laga kedua nanti di Manchester. Ia enggan bermain pragmatis dan memilih setia pada karakter bermain timnya yang telah ditempa selama lima tahun.
Kesetiaan Guardiola pada karakter permainan ofensif dengan penguasaan bola tinggi itu telah menghasilkan tujuh trofi untuk City. Musim ini, City pun tercatat sebagai tim paling produktif dan agresif di Liga Champions setelah Bayern yang merupakan tim juara bertahan. City rata-rata mencetak 2,09 gol per laga dan 13,6 serangan per laga, adapun Bayern mengemas rerata 2,7 gol dan 16,6 serangan pada musim ini.
Pakem ofensif City itu juga ditunjang pertahanan solid berkat kehadiran bek baru, Ruben Dias. Bersama semifinalis lainnya, Chelsea, City adalah tim dengan pertahanan terbaik. Gawang kedua tim Inggris itu baru kebobolan empat gol dari 11 laga Liga Champions musim ini.
”Besok kami harus menyerang seperti laga-laga lainnya. Kami tidak pernah berpikir pekerjaan telah selesai atau harus bertahan. Akan jadi kemunduran jika kami melakukannya. Kami perlu bermain seperti cara City yang orang ketahui,” ujar John Stones, bek City, dikutip laman resmi UEFA. (AFP)