Persaingan tenis dunia memasuki babak baru di Miami. Sejumlah petenis putri mulai mapan di papan atas, sedangkan tunggal putra menampilkan wajah kompetisi jika ”Big Three” tak lagi aktif.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Turnamen tenis di Miami, Florida, Amerika Serikat, 24 Maret-4 April 2021, yang menjadi ajang terbesar pertama dalam kalender ATP/WTA 2021, menampilkan persaingan yang tak biasa terjadi. Tunggal putri melahirkan petenis yang mulai menapaki kemapanan bersaing di papan atas, sementara tunggal putra diwarnai hasil tak terduga.
Persaingan putri, dalam turnamen berkategori WTA 1000, dijuarai petenis nomor satu dunia, Ashleigh Barty. Juara Grand Slam Perancis Terbuka 2019 itu meraih gelar kedua pada 2021 setelah menjadi yang terbaik pada salah satu turnamen pemanasan Australia Terbuka, lalu menjadi perempat finalis dalam Grand Slam awal musim di negara asalnya itu.
Gelar juara di Miami didapat Barty setelah mengalahkan juara Grand Slam lain, Bianca Andreescu (AS Terbuka 2019), yang tengah berusaha kembali ke permainan terbaiknya. Andreescu menderita cedera lutut kiri sejak Oktober 2019, hanya sebulan setelah juara di Flushing Meadows, New York, yang membuatnya absen dari semua turnamen pada 2020.
Setelah kembali berlaga sejak awal tahun, petenis berusia 20 tahun itu kembali cedera, kali ini pergelangan kaki kanan, sehingga tak bisa menyelesaikan laga final WTA Miami. Andreescu mundur dalam skor 3-6, 0-4.
Adapun Barty memilih tak banyak bertanding pada 2020. Dia menetap di kampung halamannya, Brisbane, Australia, pada masa pandemi Covid-19 hingga melewatkan Grand Slam AS dan Perancis Terbuka.
Dengan kebijakan daftar peringkat dunia yang dibekukan sepanjang tak ada turnamen, Maret-Agustus 2020, Barty menetap di puncak peringkat dunia yang ditempati pertama kalinya pada 24 Juni 2019. Sempat direbut Naomi Osaka pada 12 Agustus-9 September 2019, Barty kembali menjadi tunggal putri nomor satu dunia, salah satunya berkat gelar juara turnamen akhir musim, Final WTA 2019.
Sejak tampil gemilang pada 2019 itulah, Barty memanfaatkan turunnya dominasi Serena Williams. Dibandingkan para juara baru Grand Slam lain, setelah Serena menjuarai tiga ajang beruntun pada 2015, Barty termasuk salah satu dari sedikit petenis yang cukup konsisten. Petenis lain adalah Osaka, Simona Halep, dan Garbine Muguruza.
Maka, munculnya Barty sebagai juara di Miami dan Osaka (juara Australia Terbuka) telah menunjukkan awal kemapanan beberapa petenis putri di panggung besar. Osaka, misalnya, telah menjadi yang terdepan dengan empat gelar Grand Slam, diikuti Halep dengan dua gelar, dan petenis lain, seperti Barty, Andreescu, Iga Swiatek, dan Sofia Kenin, dengan satu gelar.
Prolog
Di tunggal putra, ATP Masters 1000 Miami bagaikan prolog dari episode baru yang akan terjadi jika ”Big Three” tak lagi dominan. Saat tak ada Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Roger Federer di Miami serta juara AS Terbuka, Dominic Thiem, di luar dugaan Hubert Hurkacz muncul sebagai juara.
Ini hanya menjadi salah satu pelajaran. Orangtua saya selalu mengingatkan, jika ingin tampil baik dan konsisten dalam persaingan tenis profesional, saya harus selalu siap, setidaknya selama 15 tahun beruntun.
Tanpa Big Three, yang mengumpulkan 58 gelar dari 70 Grand Slam terakhir, nama yang muncul selayaknya berasal dari generasi baru yang telah menembus peringkat 10 besar dunia. Empat di antara mereka menjadi empat unggulan teratas di Miami, yaitu Daniil Medvedev, Stefanos Tsitsipas, Alexander Zverev, dan Andrey Rublev.
Namun, persaingan terbuka tak memudahkan mereka membawa pulang trofi juara. Rublev dan Tsitsipas disingkirkan Hurkacz, masing-masing, pada semifinal dan perempat final. Medvedev tak mampu menghadang Roberto Bautista Agut yang selalu mengalahkannya dalam dua laga sebelum bertemu di Miami. Adapun Zverev tersingkir pada babak kedua.
Tampil di luar radar, Hurkacz bermain tanpa beban. Gelar pertama dari ajang ATP Masters 1000 melesatkan petenis Polandia tersebut dari peringkat ke-37 menjadi ke-16 dunia.
Apresiasi juga patut diberikan kepada Jannik Sinner yang dikalahkan Hurkacz di final. Dia mencapai hasil terebut dalam usia 19 tahun, seperti ketika Rafael Nadal menjadi finalis di Miami pada 2005, Novak Djokovic juara pada 2007, dan ketika Andre Agassi juara pada 1990.
Dalam usianya, Sinner yang kini menempati peringkat ke-21 dunia memiliki penampilan dan pemikiran yang cukup dewasa. Dia menyadari, menjadi finalis di Miami tak menjamin meraih hasil yang sama atau lebih baik pada ajang lain.
”Ini hanya menjadi salah satu pelajaran. Orangtua saya selalu mengingatkan, jika ingin tampil baik dan konsisten dalam persaingan tenis profesional, saya harus selalu siap, setidaknya selama 15 tahun beruntun. Bahkan, ada petenis yang masih bersaing hingga usia 40 tahun. Jadi, pencapaian saya di Miami pada usia 19 tahun, tak punya arti apa-apa,” tuturnya.
Pendapat itu layak diingat barisan petenis muda lain menuju persaingan terdekat, dengan Grand Slam Perancis Terbuka (23 Mei-6 Juni) dan Wimbledon (28 Juni-11 Juli) sebagai puncak kompetisi, masing-masing, di lapangan tanah liat dan rumput. Pada ajang itu, kemampuan mereka akan kembali diuji oleh kemapanan Big Three.