Berkaca Kasus Eko Yuli, Olahraga Individu Butuh Sentuhan Personal
Berkaca dari kasus penolakan lifter Eko Yuli bergabung ke pelatnas PB PABSI, pengurus cabang diminta lebih mengutamakan sentuhan personal dalam olahraga individu. Permintaan hadirnya pelatih khusus bukan hal yang tabu.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemangku kepentingan olahraga di Indonesia, terutama pengurus cabang olahraga, harus memahami bahwa olahraga individu butuh sentuhan personal. Maka itu, saat ada atlet yang menginginkan pelatih tertentu, itu jangan dianggap sebagai pembangkangan. Pengurus cabang olahraga sepatutnya mendengar dan mempertimbangkan kebutuhan tersebut.
Hal itu disampaikan pengamat olahraga nasional, Fritz E Simandjuntak, Selasa (20/3/2021) menyikapi polemik antara lifter Eko Yuli Irawan dengan Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI) ketika dihubungi, Selasa (30/3/2021).
”Olahraga individu ini butuh pendekatan personal. Tak heran, seringkali atlet butuh pelatih tertentu yang dianggap sesuai dengan kebutuhannya, seperti lifter Eko Yuli Irawan yang butuh kehadiran pelatih Lukman. Itu berbeda dengan olahraga beregu di mana pelatih punya kuasa penuh atas para atlet. Mereka justru bisa mengganti atlet yang tidak sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Eko Yuli tidak lagi berlatih di pelatnas per Juni 2020 karena permintaannya untuk mendatangkan pelatihnya sejak di Lampung, Lukman, tidak dipenuhi PB PABSI. Padahal, Fritz mengatakan, pada olahraga individu, sangat lumrah atlet menginginkan pelatih tertentu.
Michael Phelps, perenang legendaris pengoleksi 23 medali emas Olimpiade asal Amerika Serikat, misalnya, meminta didampingi pelatihnya sejak yunior, Bob Bowman, walaupun berada di pemusatan latihan nasional (pelatnas).
Di Indonesia, lifter legendaris Indonesai asal Papua, Raema Lisa Rumbewas, minta didampingi ibunya, Ida Korwa, selama mengikuti pelatnas. Hasilnya, Lisa menyabet dua perak dari Olimpiade Sydney 2000 dan Athena 2004 serta satu perunggu Olimpiade Beijing 2008. Pebulu tangkis legendaris, Taufik Hidayat, juga minta dilatih pelatihnya sejak yunior, Mulyo Handoyo, selama di pelatnas. Ia pun membuktikan bisa meraih sejumlah prestasi prestisius, seperti medali emas Olimpiade 2004.
”Ada kondisi khusus di olahraga individu. Pelatih-pelatih terdekat, apalagi yang sudah membina sejak kecil, biasanya lebih paham dengan situasi atlet bersangkutan. Untuk itu, kehadiran mereka akan berpengaruh besar terhadap perkembangan atlet tersebut,” kata Fritz kemudian.
Perlu mengakomodir
Untuk itu, Fritz berpendapat, pengurus cabang olahraga terkait atau Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) perlu mengakomodir permintaan Eko Yuli. Kalau bisa diselesaikan lebih cepat, isu itu tidak akan berkembang semakin lebar dan membesar seperti sekarang.
Kalau memang anggaran bantuan pelatnas dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tidak mencukupi, lanjut Fritz, pengurus cabang terkait perlu mencari sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Anggaran dari pemerintah sifatnya bantuan sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sumber lain.
Jika tidak selesai di tingkat pengurus cabang olahraga, KONI yang harus turut tangan. Sebab, dalam struktur pembinaan olahraga nasional, KONI menjadi induk dari semua pengurus cabang olahraga. Sepatutnya, KONI mengambil alih dan menyelesaikan semua masalah yang tidak tertangani oleh pengurus cabang olahraga.
Pelatih-pelatih terdekat, apalagi yang sudah membina sejak kecil, biasanya lebih paham dengan situasi atlet bersangkutan. Untuk itu, kehadiran mereka akan berpengaruh besar terhadap perkembangan atlet tersebut. (Fritz E Simandjuntak)
Andai sampai di KONI tidak tuntas, Kemenpora yang berperan. Mereka bisa saja membuat prasyarat sebelum dilakukan tanda tangan nota kesepahaman (MOU) bantuan anggaran pelatnas terhadap suatu cabang olahraga guna mengantisipasi adanya atlet yang melakukan permintaan tertentu, seperti pelatih khusus.
”Perlakuan khusus wajib diberikan untuk atlet olahraga individu. Ini memang tantangan dalam pembinaan olahraga individu. Kalau tidak ditangani dengan bijak, sulit mencari atlet pengganti sepadan. Berbeda dengan olahraga beregu, gantinya banyak,” tegas Fritz.
Potensi kecemburuan
Fritz tidak menutup mata kondisi itu bakal memicu kecemburuan atau rasa iri dari atlet-atlet lainnya. Namun, potensi masalah itu bisa dicegah lewat penjelasan yang kuat. ”Apalagi, Eko Yuli ini atlet unggulan untuk meraih emas di kelasnya (62 kilogram) pada Olimpiade Tokyo,” tuturnya.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto menuturkan, ketua umum pengurus cabang olahraga perlu berkorban sejak mencanangkan diri menjadi calon ketua pengurus cabang tertentu. Mereka harus punya paradigma membantu pemerintah dalam pembinaan olahraga nasional. Jadi, bukan sebaliknya, yaitu berharap bantuan pemerintah. Anggaran dari pemerintah bersifat bantuan dan amat terbatas.
Kalau pemahaman demikian yang ditanamkan, kasus silang pendapat antara atlet dan pengurus cabang olahraganya tidak akan terjadi dan mengganggu persiapan menuju suatu ajang olahraga. Jelang Olimpiade Tokyo pada 23 Juli-8 Agustus, sedikitnya dua cabang olahraga nasional mengalami silang pendapat dengan atletnya.
Dua pemanah nasional asal Jawa Timur, Riau Ega Agatha Salsabila dan Diananda Choirunisa, sempat menolak bergabung ke pelatnas yang digelar Pengurus Pusat Persatuan Panahan Indonesia (PP Perpani). Penolakan disebabkan pelatih mereka yang juga berasal dari Jawa Timur, Deni Trisyanto, gagal dalam seleksi pelatih pelatnas.
Belakangan, PB PABSI dikabarkan mulai melunak dan berusaha mendukung keinginan Eko Yuli selama tidak bertentangan dengan prinsip organisasi dan pertanggungjawaban keuangan negara. Mereka akan meneruskan permintaan atlet kelahiran Kota Metro, Lampung, 24 Juli 1989, itu kepada Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Kemenpora.
Sementara itu, Riau Ega dan Diananda dikabarkan bakal kembali ke pelatnas mulai April ini setelah lolos seleksi pada Oktober tahun lalu. ”Sesuai aturan yang ada, masalah seperti ini seharusnya bisa diselesaikan oleh pengurus cabang atau oleh KONI. Peristiwa seperti ini juga harus ditangani secepat mungkin. Kalau berlarut, ini bisa menguras energi dan mengganggu persiapan atlet,” pungkas Gatot.