Timnas Italia sedang berjaya di bawah rezim manajer kawakan Roberto Mancini. Mereka mencoba menghapus memori kelam gagal lolos Piala Dunia 2018 dengan penampilan sempurna di kualifikasi Piala Dunia 2022.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
SOFIA, SABTU — Tiga tahun silam, sepak bola yang biasa jadi alasan kebahagian publik Italia, berubah jadi sumber duka terhebat. Sejarah kelam terjadi akibat kegagalan tim nasional Italia lolos ke Piala Dunia, pertama kali dalam 60 tahun terakhir. Momen itu meremukkan hati warga Italia.
Kiper veteran ”Gli Azzurri”, Gianluigi Buffon, sampai tak mampu membendung air matanya. Dia mengucapkan maaf berkali-kali dalam wawancara seusai kekalahan dari Swedia dalam laga playoff menuju Piala Dunia Rusia 2018. ”Saya minta maaf, maaf, maaf. Saya meminta maaf untuk mewakili sepak bola Italia karena kegagalan ini sangat berdampak dalam tingkat sosial,” katanya kepada Rai Sport.
Buffon kemudian memilih pensiun dari timnas. Surat kabar Italia Corriere dello Sport menampilkan wujud kekecewaan dalam halaman depannya. Mereka tampil dengan judul ”Semuanya Keluar!”, yang meminta agar semua pemain dan tim pelatih mengikuti langkah Buffon.
Di tribune, sebanyak 74.000 penonton di San Siro hanya bisa terdiam. Mereka bahkan tidak menyoraki timnya sendiri. Para fans mungkin masih bingung. Timnas tidak lolos pertama kali dalam tiga generasi. Padahal, 12 tahun silam, mereka baru saja berpesta merayakan trofi juara Piala Dunia Jerman 2006.
Publik Italia tidak akan pernah lupa tragedi memalukan itu. Akan tetapi, setidaknya luka itu mulai pulih. Di bawah asuhan manajer kawakan Roberto Mancini, juara dunia empat kali ini mulai mengembalikan harkatnya. Timnas Italia sedang menulis ulang sejarah kelam mereka di Piala Dunia.
Optimisme itu datang menjelang laga kedua kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022, Italia melawan tuan rumah Bulgaria di Stadion Vasil Levski, pada Senin (29/3/2021) dini hari WIB. Menurut data Opta, Mancini merupakan manajer Italia dengan rasio kemenangan terbesar, 67 persen, yang mengantarkan ”Gli Azzurri” menjalani rekor tak terkalahkan terpanjang dalam sejarah (18 laga).
Sejak Mancini memegang tim, saya selalu menyukai sikap dari tim ini. Kami menghadapi semua lawan tanpa rasa takut. Kami selalu bertanding untuk meraih kemenangan dengan ide-ide permainan darinya yang begitu jelas.
”Sejak Mancini memegang tim, saya selalu menyukai sikap dari tim ini. Kami menghadapi semua lawan tanpa rasa takut. Kami selalu bertanding untuk meraih kemenangan dengan ide-ide permainan darinya yang begitu jelas,” ucap bek senior, Leonardo Bonucci.
Harapan menghapus sejarah 2018 semakin kuat. Italia baru saja menapakkan langkah kokoh di kualifikasi. Tim asuhan Mancini sangat mendominasi dan menang dalam laga pertama atas Irlandia Utara, 2-0, Jumat kemarin.
Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) Gabriel Gravina bahkan menilai warga ”Negeri Pizza” sudah beranjak dari keterpurukan tiga tahun silam. Kehebatan timnas justru sekarang diharapkan bisa mengobati luka warga akibat pandemi Covid-19.
”Mereka melihat timnas di bawah Mancini sebagai alasan untuk gembira dan lahir kembali. Kami berharap performa ini berlanjut untuk pemulihan dari sudut pandang emosional. Sepak bola Italia merupakan terapi untuk keputusasaan warga dalam beberapa bulan terakhir,” sebut Gravina.
Sejak direkrut pada Mei 2018, Mancini seakan menyulap timnas. Mantan manajer Manchester City ini menerapkan gaya bermain atraktif dengan formasi 4-3-3. Permainan ini lebih agresif dibandingkan dengan gaya Italia yang terkenal membosankan. Hasilnya sangat menjanjikan karena ”Gli Azzurri” tidak pernah kalah lagi sejak Oktober 2018.
Kekuatannya ada pada penguasaan bola dengan dominasi di lini tengah. Gaya bermain dominan ini pula yang terlihat jelas dalam kemenangan atas Irlandia Utara.
Di sisi lain, sang pelatih juga mengubah skuad sangat radikal. Dia banyak menyisihkan pemain-pemain tua yang gagal mengantarkan Italia lolos ke Piala Dunia. Hanya 8 dari 23 pemain dari skuad kala itu yang masih berada di timnas, seperti Bonucci dan striker Ciro Immobile.
Sisanya adalah pemain baru yang mayoritas merupakan darah muda. Bahkan, mesin penggerak tim di lini tengah didominasi oleh pemain muda, di antaranya gelandang jangkar Sassuolo, Manuel Locatelli (23), dan gelandang serang Atalanta, Matteo Pessina (23).
Menurut gelandang senior AS Roma, Alessandro Florenzi, skuad timnas sekarang amat menjanjikan. ”Semua yang datang ke skuad ini sangat berbakat. Hal positifnya, siapa pun yang masuk, mereka bisa beradaptasi dengan sangat cepat ke dalam identitas tim ini,” ucapnya.
Dengan potensi besar itu, tampaknya Italia tidak akan kesulitan ketika bertandang ke Bulgaria. Tuan rumah baru saja takluk dari Swiss, 1-3, beberapa hari sebelumnya. Bulgaria bukan lawan seimbang bagi Bonucci dan rekan-rekan karena tidak punya bakat istimewa lagi setelah striker legendaris Dimitar Berbatov.
Meski begitu, staf pelatih timnas Italia Daniele De Rossi berharap para pemain tidak meremehkan lawan dalam periode kualifikasi ini. ”Kami punya kenangan buruk pada Piala Dunia terakhir. Ini tetap harus berada dalam ingatan kami. Ini menyadarkan, kami bisa kalah jika menganggap remeh,” ucap mantan pemain yang turut menjadi saksi pada momen kelam 2018 tersebut. (AP/REUTERS)