Menjadi pecatur hebat butuh proses dan tempaan panjang, bukan hal yang dicapai instan. Itu dibuktikan WGM Irene Sukandar saat mengalahkan telak ”Dewa Kipas” alias Dadang Subur, 3-0. Akurasi mereka sangatlah jomplang.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasa penasaran publik akan kemampuan pecatur Dewa Kipas alias Dadang Subur terjawab. Ia kalah telak, 0-3, dari Grand Master Wanita (WGM) dan Master Internasional (IM) Irene Kharisma Sukandar pada dwitarung catur cepat 10 menit yang disiarkan di siniar Deddy Corbuzier di Yotube, Senin (22/3/2021) sore. Kemenangan Irene itu menunjukkan, proses panjang dan ketekunan tidak pernah menipu.
Dadang (60), yang namanya meroket karena sejumlah hasil fenomenal di aplikasi catur daring, Chess.com, tidak bisa menandingi Irene (28). Ia bahkan enggan melanjutkan babak terakhir duel yang memecahkan rekor tayangan langsung Youtube di Tanah Air dengan lebih dari sejuta penonton itu.
”Sudahlah, cukup. Irene jauh lebih bagus. Irene pemain yang komplet. Pertahanannya sangat kuat. Saya tidak punya peluang menang. Saya sering buat blunder, mungkin hampir semuanya blunder. Sangatlah layak Irene menjadi pecatur nasional,” tutur Dadang yang membawa pulang hadiah uang tunai Rp 100 juta meskipun kalah di laga itu.
Pada laga itu, Dadang tidak terlihat seperti pecatur yang bisa mengalahkan IM Levy Rozman (Gotham Chess) di Chess.com, beberapa waktu lalu. Pria yang menetap di Bandung, Jawa Barat, itu tampak kikuk.
Berkali-kali Dadang memegangi kepalanya karena kehabisan akal membendung agresivitas permainan Irene. Saking groginya, Dadang dua kali menjatuhkan bidak catur di tengah permainan. Dia tidak membenahi bidak yang jatuh itu lebih dahulu sebelum menekan tombol waktu.
”Kalau di permainan resmi, bidak yang jatuh harus dibenahi dulu sebelum memencet tombol,” ujar GM Susanto Megaranto yang menjadi komentator pertandingan itu.
Pecatur ”hampir master”
Irene menunjukkan hal sebaliknya dalam laga persahabatan berhadiah total Rp 300 juta itu. Sempat kalah waktu di babak kedua, wanita yang rutin berlatih catur sejak usia 8 tahun itu tampak luar biasa tenang. Dengan dinginnya, Irene memaksa Dadang berkali-kali melakukan kesalahan. Raja putih Dadang pun diskak Irene.
”Kalau pemain profesional (kuat), sangat jarang melakukan langkah blunder seperti itu. Dia (Dadang) memang bukan pecatur kelas ronda. Dia bisa dibilang pecatur hampir master,” ujar Susanto menilai kualitas permainan Dadang.
Pada pertandingan persahabatan itu, Dadang tidak jelas antara ingin menyerang, bertahan, atau mempertahankan posisi. Salah satu bukti kebingungannya itu terlihat di langkah kesembilan pada babak pertama. Dadang menggerakkan kuda f6 ke e4 tanpa tujuan jelas karena tidak ada peluang menyerang ataupun menyiapkan pertahanan.
”Ini langkah yang tidak lazim. Terlalu cepat untuk menggerakkan kuda f6 ke e4,” terang Susanto kemudian.
[embed]https://youtu.be/V-1xEjs7LQk[/embed]
Permainan Dadang semakin di luar kendali pada langkah ke-24 babak ketiga. Dia terlihat sangat gusar yang ditunjukkannya lewat garukan tangan kanan di kepala dan topangan dagunya dengan tangan kiri. Tak heran, pertahanannya di babak itu terus dipereteli Irene. Dadang pun akhirnya menyerah di langkah ke-26 babak itu.
Dari telaah data pergerakan bidak-bidak catur Dadang pada laga itu terungkap akurasinya tidaklah sebagus seperti terlihat pada Chess.com sebelum akunnya ditutup karena dinilai melanggar prinsip bermain jujur (fair play). Di aplikasi catur itu, akurasi langkah Dadang konsisten di atas 94 persen, bahkan dua kali melampaui 99 persen. Akurasi langkah setinggi itu dinilai melampaui para pecatur bergelar GM.
Catur adalah olahraga yang butuh proses dan kejujuran. Jika ingin berprestasi, pecatur harus terus belajar dan punya pemahaman tinggi. Itu butuh waktu yang tidak singkat.
Namun, dari ketiga babak di laga kemarin, akurasi langkah Dadang masing-masing 33,8; 95,3; dan 27,7 persen. Jadi, rata-rata akurasinya hanya 52,26 persen. Adapun rata-rata akurasi langkah Irene 94,6 persen.
Jomplangnya level permainan Irene dan Dadang itu tidak mengherankan. Irene sudah diasah sebagai pecatur sejak usia belia. Dalam usia 8 tahun, ia diajak ayahnya, Singgih Yehezkiel, bermain catur di lapak-lapak di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dia bisa menghabiskan waktu 4 jam sehari berduel dengan para pecatur lapak. Ketekunan itu mengasah mentalnya berlaga.
Irene lalu mulai berlatih di Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA), Bekasi, Jawa Barat, dan mulai bergabung dengan pelatnas. Di SCUA ataupun pelatnas, menurut Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB Percasi) Kristianus Liem, para pecatur ditempa latihan 6-8 jam sehari.
”Di luar negeri, latihan jauh lebih ketat. Seperti di China, pecaturnya bisa latihan 8-10 jam sehari. Tapi, hasilnya luar biasa. Sekarang, China salah satu kekuatan catur dunia yang sebelumnya banyak dikuasai pecatur-pecatur dari negara pecahan Uni Soviet,” katanya.
Irene, yang ditempa ribuan laga resmi, butuh proses panjang, yaitu 9 tahun, untuk mendapatkan predikat WGM pada 2009 atau saat dirinya berusia 17 tahun. Ia bahkan butuh waktu 14 tahun untuk mendapatkan predikat IM pada 2014, yaitu saat dirinya berusia 22 tahun.
Adapun pecatur putra terkuat Indonesia saat ini, Susanto, mulai ditempa secara serius pada usia 7 tahun. Namun, dia butuh waktu 9 tahun untuk menyandang predikat IM pada 2003 atau saat berusia 16 tahun. Pecatur berusia 33 tahun itu lantas butuh waktu hingga 10 tahun untuk menjadi GM pada 2004 atau ketika berusia 17 tahun. Sejauh ini, Susanto adalah pecatur termuda Indonesia yang mendapatkan predikat tertinggi dalam catur.
Dalam usia 8 tahun, Irene diajak ayahnya, Singgih Yehezkiel, bermain catur di lapak-lapak di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dia bisa menghabiskan waktu 4 jam sehari berduel dengan para pecatur lapak.
Adapun Dewa Kipas alias Dadang tidak mempunyai banyak pengalaman tampil di laga resmi. Ia juga tidak mempunyai gelar apapun di catur. Namun, peringkat elo miliknya melesat, mencapai level IM, hanya dalam tiga pekan bermain Chess.com.
”Proses mendapatkan predikat itu amat panjang karena mereka harus mengejar syarat elo rating. Elo rating bertambah kalau menang dalam kejuaraan-kejuaraan resmi dan berkurang kalau kalah. Jadi, butuh waktu yang tidak singkat untuk mencapai predikat bergengsi, seperti GM dan WGM,” tutur Dewan Pembina PB Percasi Eka Putra Wirya.
GM Utut Adianto, pecatur legendaris Indonesia yang juga adalah Ketua Umum PB Percasi, sependapat, menjadi pecatur hebat tidak semudah membalikkan telapak tangan. ”Catur adalah olahraga yang butuh proses dan kejujuran. Jika ingin berprestasi, pecatur harus terus belajar dan punya pemahaman tinggi. Itu butuh waktu yang tidak singkat,” tuturnya.