Alexis Sanchez seperti singa mengamuk saat timnya, Inter Milan, membungkam Parma, 2-1. Dua gol Sanchez yang melambungkan Inter di puncak Liga Italia tidak terlepas dari sikap demokratis pelatihnya, Antonio Conte.
Oleh
Yulvianus Harjono
·5 menit baca
PARMA, JUMAT — Inter Milan menancapkan dominasinya di puncak klasemen Liga Italia seusai menumbangkan Parma, 2-1, lewat dua gol penyerangnya, Alexis Sanchez. Kemenangan penting itu tidak terlepas dari sentuhan demokratis Antonio Conte, pelatih yang dulu sempat disebut ”otoriter”.
Sejumlah media di Italia menyanjung Inter dalam kemenangan yang diraihnya di Stadion Ennio Tardini, Jumat (5/3/2021) dini hari WIB. La Gazzetta dello Sport, koran olahraga yang paling berpengaruh di Italia, misalnya, menulis judul menggelitik, ”Inter mengucapkan selamat tinggal (ke para pesaingnya)”, seusai kemenangan itu.
Corriere dello Sport, koran Italia lainnya, tidak kalah membuat ulasan menarik. ”Kejar saya jika kamu bisa,” bunyi judul halaman muka koran itu terinspirasi dari film layar lebar Catch Me If You Can (2002) yang dibintangi duo megabintang Hollywood, Leonardo DiCaprio dan Tom Hanks.
Seperti ulasan kedua media itu, kemenangan penting Inter di Ennio Tardini bisa menjadi pukulan psikologis bagi para pesaingnya dalam perebutan scudetto atau gelar juara Liga Italia pada musim ini. Ketika para kandidat juara lainnya, seperti AC Milan dan Juventus, tengah tertatih-tatih sebulan terakhir, Inter terus berlari kencang di puncak klasemen Liga Italia. ”I Nerazzurri” saat ini unggul enam poin dari Milan dan 10 angka dari Juve.
Karakter DiCaprio
Seperti karakter Frank Abagnale—yang diperankan DiCaprio dalam film Catch Me If You Can—Inter menunjukkan determinasi, fleksibilitas, dan kecerdikannya memerdayai lawan. Dalam laga itu, Inter seolah-olah menurunkan susunan pemain yang lemah. Mereka mengistirahatkan salah satu penyerang terbaiknya yang rutin mencetak gol dalam tiga laga terakhirnya, Lautaro Martinez.
Pelatih Inter Milan Antonio Conte, di luar dugaan, justru lebih memilih menurunkan pemain buangan Manchester United, Alexis Sanchez, sejak menit pertama laga itu. Sempat diremehkan oleh lawan, Sanzchez justru menjadi senjata mematikan Inter pada laga itu. Ia memborong seluruh gol Inter pada laga itu, memanfaatkan asis-asis striker Romelu Lukaku.
Meledaknya penampilan Sanchez, yang sebelum laga itu hanya mengoleksi tiga gol, tidaklah terlepas kecerdikan dan kejelian Conte. Mantan Manajer Chelsea itu tahu betul, Sanchez kini tengah dalam kondisi bagus. Hal itu terlihat dalam hasil latihan, sepekan terakhir. Penyerang yang jarang bermain sebagai pemain inti itu ingin membuktikan diri masih bisa berkontribusi besar ke timnya.
[embed]https://youtu.be/qj8zXJzGVd4[/embed]
Tak pelak, Sanchez menyisihkan Martinez sebagai pemain inti pada laga itu. ”Pelatih telah memberikan kepercayaan dan saya sangat senang. Saya sempat merasa seperti singa terkungkung. Semakin sering bermain, saya merasa lebih baik,” ujar Sanchez yang menyatakan dirinya belumlah ”habis” setelah gagal bersinar di MU, beberapa musim lalu.
Manajemen pemain itu membuat Inter kini mampu mencatatkan enam kemenangan beruntun di Liga Italia. Dua kemenangan itu di antaranya diperoleh dari para rivalnya, yaitu Lazio (3-1) dan AC Milan (3-0).
Kamar ganti terasa seperti neraka ketika kami kalah. Omongannya (Antonio Conte) yang pedas bakal menyayatmu.
Persaingan sehat
Conte memang sengaja memberikan kesempatan Sanchez bermain sejak menit pertama pada laga itu. Selain meningkatkan kepercayaan diri sang pemain, kebijakan itu juga penting terkait rotasi pemain guna mencegah kelelahan skuad. Kebijakan serupa yang diterapkan kepada Christian Eriksen—pemain Inter lainnya yang nyaris terbuang—juga penting dalam upaya menciptakan iklim persaingan sehat di dalam internal skuad.
”Para pemain tahu, saya adalah orang yang demokratis. Saya memilih pemain yang layak tampil sehingga mereka bisa merasa menjadi bagian penting dalam proyek (mengembalikan Inter ke era kejayaannya),” ujar Conte dikutip La Gazzetta dello Sport seusai laga itu.
Pernyataan Conte itu sekaligus menepis anggapan miring orang-orang luar terhadap Conte, mantan gelandang yang menjadi peletak fondasi kejayaan Juventus, satu dekade terakhir. Ketika melatih Juve dan meraih tiga scudetto beruntun pada kurun 2012-2014, Conte lebih dikenal sebagai sosok yang agresif, sosialis, antidemokrasi, dan cenderung otoriter.
Andrea Pirlo, mantan anak asuh Conte yang kini menjadi pelatih Juventus, menyebutnya sebagai ”Si Iblis”. ”Kamar ganti terasa seperti neraka ketika kami kalah. Omongannya yang pedas bakal menyayatmu. Tiada yang berani membantahnya jika dia sudah berbicara. Botol (minuman) bisa melayang,” kata Pirlo dalam buku otobiografinya (2014).
Namun, diakui Pirlo, gemblengan tangan dingin Conte bisa membuat timnya kala itu ibarat ”singa yang lapar”. Juve, yang sempat terseok-seok dan berturut-turut gagal menembus empat besar pascaskandal calciopoli, satu setengah dekade lalu, menjadi tim beringas dengan kehadiran Conte. Pada musim pertamanya bersama Conte, Juve langsung meraih scudetto.
Gilanya pula, tidak sekali pun mereka kalah di liga saat itu. Padahal, semusim sebelumnya, bersama Pelatih Luigi Del Neri, Juve masih terpuruk di peringkat ketujuh. ”Saya tidak datang ke sini untuk melihat kalian tampil seperti lelucon,” tulis Pirlo menirukan kalimat Conte saat pertama kali tiba di Turin.
Pendekatan serupa diulangi Conte saat melatih Inter mulai musim lalu. Pelatih yang sampai botak dan terpaksa melakukan transplantasi rambut karena terlalu sering memikirkan sepak bola itu nyaris mengantarkan Inter meraih scudetto musim lalu. Mereka hanya tertinggal satu poin dari Juve asuhan Maurizio Sarri pada akhir musim Liga Italia yang lalu. Mereka juga bahkan nyaris meraih gelar juara Liga Europa.
Musim ini, Conte dijagokan banyak pihak bakal membawa Inter meraih scudetto, apalagi mereka hanya fokus di Liga Italia. ”Inter akan berlari dalam kecepatan tinggi. Mereka favorit juara,” ujar Carlo Ancelotti, pelatih yang banyak makan asam garam di Liga Italia, seperti dikutip Sky Sports.