Penampilan fenomenal Damian Lillard tidak cukup membuatnya terpilih sebagai pemain utama di NBA All Star 2021. Kehebatan permainannya di Blazers dikalahkan oleh ketenaran Luka Doncic.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Kejutan besar datang dari pengumuman pemain inti NBA All Star 2021. Di Wilayah Barat, dari lima pemain megabintang, tidak terlihat nama Damian Lillard, guard andalan Portland Trail Blazers. Lillard, yang sedang menjalani musim terbaik dan dijagokan sebagai kandidat peraih Most Valuable Player (MVP) NBA, justru kalah dari bakat muda Dallas Mavericks, Luka Doncic.
”Timnya menembus peringkat keempat dan dia bisa menjadi MVP musim ini. Lalu, dia tidak menjadi pemain inti di All Star? Apakah kita kehilangan akal? Saya menyukai Luka. Tetapi, ini tidak masuk akal. Kita tidak menghargainya,” kata pengamat basket di ESPN, Stephen A Smith, merespons pengumuman pemain All Star pada 7 Maret, di Atlanta.
Akhir pekan ini, NBA mengumumkan dua guard yang terpilih mewakili Wilayah Barat ialah Doncic dan Stephen Curry. Mereka akan mendampingi tiga pemain di posisi lain, LeBron James dan Kawhi Leonard (posisi forward) serta Nikola Jokic (center).
Menurut NBA.com, keputusan pemilihan di antara Doncic dan Lillard sangat ketat. Lillard memenangi pemungutan suara di antara media dan pemain, yaitu peringkat kedua di bawah Curry, sedangkan Doncic peringkat ketiga. Sebaliknya, dalam pilihan penggemar, Doncic menempati peringkat kedua, sementara Lillard di peringkat ketiga.
Dengan hasil imbang, NBA akhirnya memutuskan pilihan kepada Doncic, sebagai pemain yang lebih digemari fans. Pemain 21 tahun asal Slovenia ini unggul jauh dalam pemungutan suara fans, yaitu mendapatkan sekitar 3,3 juta suara. Adapun Lillard hanya meraup sekitar 2,8 juta suara.
Terpilihnya Doncic mengundang seribu tanda tanya. Pemain serba bisa ini memang mencatatkan statistik cukup baik musim ini, yaitu 29,1 poin, 8,6 rebound, dan 9,4 asis. Catatan ini mungkin lebih lengkap dibandingkan dengan milik Lillard, yaitu 29,8 poin, 4,4 rebound, dan 7 asis.
Namun, dampak Lillard jauh lebih nyata bagi timnya, dibandingkan dengan Doncic. Guard veteran 30 tahun Blazers itu menempati peringkat ke-4 (64,9 persen kemenangan), adapun Doncic tidak mampu mengangkat Mavericks melampaui 50 persen kemenangan.
Saya pikir, Lillard seharusnya menjadi pemain inti. Selain timnya punya rekor lebih bagus, dia juga bermain lebih bagus. Luka punya lebih banyak asis, tetapi tidak ada yang lebih ditakuti saat ini daripada Lillard. (Shaquille O’Neal)
Lebih spesial lagi, Lillard baru saja mengantar timnya enam kali menang beruntun, di tengah cederanya andalan Blazers, guard CJ McCollum dan center Jusuf Nurkic. Perannya sebagai jantung tim begitu krusial dalam seluruh kemenangan beruntung tersebut.
Salah satu pengaruh terbesar yang diberikan Lillard ialah kontribusi ketika momen kritis atau clutch time. Kehebatan yang membuatnya dijuluki ”Dame Time” tersebut berkali-kali ditunjukkannya musim ini dan membawa Blazers menang. Dia seakan tidak punya rasa takut saat memasuki momen penentuan.
Pemain dengan tinggi di bawah rata-rata ini menjadi yang terbaik ketika clutchtime atau 5 menit terakhir saat skor kedua tim tidak lebih dari 5 poin. Musim ini, berdasarkan ESPN, Lillard menghasilkan 82 poin dalam momen genting, dengan akurasi tinggi mencapai 63,2 persen.
Dominasi ”clutch time”
Dua variabel ini, jumlah poin dan akurasi, merupakan yang tertinggi di antara seluruh pemain. Dalam 25 tahun terakhir, hanya dua pemain yang bisa menyamai dominasi clutch time milik Lillard, yaitu legenda hidup NBA, Hakeem Olajuwon (1996-1997), dan Kevin Garnett (1999-2000).
Shaquille O’Neal, mantan pemain yang pernah merasakan 15 kali laga All Star, pun turut meyakini, Lillard lebih pantas mendampingi Curry. ”Saya pikir, Lillard seharusnya menjadi pemain inti. Selain timnya punya rekor lebih bagus, dia juga bermain lebih bagus. Luka punya lebih banyak asis, tetapi tidak ada yang lebih ditakuti saat ini daripada Lillard,” katanya seperti dikutip ESPN.
Lillard, setelah sembilan musim berkarier, kembali belum bisa merasakan pengalaman sebagai pemain utama NBA All Star. Dia sudah bermain lima kali dalam ajang perang bintang, tetapi hanya sebagai cadangan. Sementara itu, Doncic akan genap dua kali berturut-turut menjadi pemain inti, hanya dalam tiga musim berkarier.
Namun, Pelatih Mavericks Rick Carlisle membela anak asuhnya. Baginya, laga All Star merupakan panggung hiburan untuk penggemar. Karena dicintai penggemar, Doncic sangat pantas mendapatkan kesempatan tersebut. ”Dia ada dalam jalur yang bagus sebagai pemain muda. Dia juga akan menjadi wajah baru untuk liga ini. Jadi sangat pantas untuknya,” ucapnya.
Terlepas dari penurunan efektivitas performa musim ini, Doncic memang punya tempat khusus di hati penggemar. Pemain berambut pirang ini selalu bisa menghibur penonton lewat aksi-aksi ajaib, mulai dari umpan hingga tembakan. Semua itu terpadu apik dengan wajahnya yang rupawan.
Adapun beberapa musim terakhir, pemain dari tim dengan pasar kecil semakin berpotensi masuk All Star. NBA mengubah peraturan, yaitu pemilihan pemain ditentukan berdasarkan 50 persen suara penonton serta masing-masing 25 persen dari media dan pemain.
Peraturan ini sukses mengurangi dominasi pemain-pemain favorit penggemar, yang penilaiannya sangat subyektif. Meskipun, pada akhirnya, tetaplah suara fans yang menentukan, ketika hasil pemungutan imbang.
Fokus juara
Meski kalah dari pemain yang jauh lebih muda, Lillard mengaku tidak kecewa sama sekali. Fokusnya sebagai pemain veteran ialah meraih juara bersama tim. Dia tidak lagi memprioritaskan pencapaian pribadi.
”Ketika muda, saya sangat peduli dengan hal-hal seperti ini (masuk skuad utama NBA All Star). Tentu akan jadi sebuah pencapaian (jika saya berhasil masuk) karena saya belum pernah merasakannya. Saya juga menginginkannya jika mungkin. Tetapi, saya kali ini sama sekali tidak terkejut. Juga tidak kecewa tentang itu,” kata Lillard tegas.
Alih-alih kecewa, momen ini justru bisa menjadi lecutan semangat untuk pemain dengan mentalitas baja tersebut. Lillard, seperti sebelum-sebelumnya, selalu menjawab keraguan terhadapnya dengan performa fenomenal di lapangan.
Misalnya saja ketika di ”gelembung” NBA musim lalu. Pemain bernomor punggung nol ini sempat diremehkan dua pemain Los Angeles Clippers, Paul George dan Patrick Beverley, ketika Blazers kalah dari Clippers. Namun, seusai kejadian tersebut, Lillard berubah menjadi makhluk berbeda. Dia mendominasi laga-laga setelahnya dan merebut MVP di dalam ”gelembung”.
Lillard memang tidak bisa mempercantik portofolio kariernya dengan masuk ke tim utama All Star. Akan tetapi, bisa saja dia menyudahi musim ini dengan gelar pertama MVP atau juara NBA. Motivasi berlebih inilah yang patut ditunggu dari seorang pemain clutch time terbaik di NBA seperti dirinya. (AP)