Jadi Ketua Panitia, Seiko Hashimoto Ingin Kembalikan Marwah Olimpiade Tokyo
Menteri Negara untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo, Seiko Hashimoto, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo. Tantangan Hashimoto adalah pandemi Covid-19 menjelang Olimpiade.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
TOKYO, JUMAT – Menteri Negara untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo periode 11 September 2019-18 Februari 2021, Seiko Hashimoto, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo per Kamis (18/2/2021) menggantikan Yoshiro Mori yang mundur dampak penyataannya yang mengandung seksisme pada Jumat (12/2). Seiko berjanji akan mengembalikan marwah Olimpiade Tokyo yang sempat tercabik oleh sejumlah isu negatif.
”Sekarang, saya di sini untuk mengembalikan utang budi saya saat menjadi atlet. Dan saya akan mengembalikan apa yang pernah saya terima,” ujar Hashimoto mengungkapkan keinginannya mencurahkan segenap tenaga untuk kesuksesan Olimpiade ke-32 tersebut.
Hashimoto adalah mantan atlet balap seluncur es dan balap sepeda trek Jepang era 1980-1990an. Perempuan kelahiran Hayakita, Hokkaido, Jepang 56 tahun silam ini pernah berpartisipasi di empat Olimpiade Musim Dingin, yakni 1984 di Sarajevo, 1988 di Calgary, 1992 di Alberville, dan 1994 di Lillehammer, serta tiga Olimpiade Musim Panas, yakni 1988 di Seoul, 1992 di Barcelona, dan 1996 di Atlanta. Dengan capaian itu, dia tercatat sebagai perempuan Jepang paling banyak tampil di ajang level Olimpiade.
Selain dua emas dari Asian Winter Games 1986 di Sapporo dan empat emas Asian Winter Games 1990 yang juga berlangsung di Sapporo, prestasi Hashimoto yaitu meraih perunggu balap seluncur es 1.500 meter putri di Olimpiade Musim Dingin 1994 di Lillehammer, dan perunggu balap sepeda trak individual pursuit putri Asian Games 1994 di Hiroshima. Maka, perempuan kelahiran 5 Oktober 1964 itu tergolong salah satu atlet paling berprestasi di Jepang.
Selepas aktif sebagai atlet, Hashimoto banyak berbicara mengenai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan Jepang. Puncaknya, dia dipercaya oleh Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga menjadi Menteri Negara untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo sejak 11 September 2019. Dia menjadi salah satu dari dua perempuan dalam Kabinet Suga.
Untuk itu, penunjukkan Hashimoto dianggap sangat ideal untuk menggantikan Mori. Hashimoto memiliki pengalaman di bidang olahraga baik sebagai atlet maupun setelah pensiun. Dirinya pun paham dengan isu gender yang sempat menghantui persiapan Olimpiade Tokyo.
Dalam rapat dewan Komite Olimpiade Jepang pada Rabu (3/2/2021), Mori sempat melontarkan pernyataan seksisme. Ia menyatakan perempuan terlalu banyak bicara. Komentar itu mendapatkan banyak tanggapan negatif yang memicu tekanan besar sehingga Mori mundur per Jumat pekan lalu.
Hashimoto merupakan pilihan yang sempurna. Dengan pengalamannya di dunia olahraga dan politik, Hashimoto akan sangat membantu mewujudkan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo yang aman dan sukses.
”Hashimoto merupakan pilihan yang sempurna. Dengan pengalamannya di dunia olahraga dan politik, Hashimoto akan sangat membantu mewujudkan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo yang aman dan sukses. Keberadaannya juga bakal mengirimkan sinyal sangat penting terkait isu kesetaraan gender yang menjadi salah satu topik utama saat ini,” kata Ketua Komite Olimpaide Internasional Thomas Bach dikutip Olympic.org, Kamis (18/2).
Petenis Jepang Naomi Osaka setelah kemenanganya atas Serena Williams di semi-final Australia Terbuka, Kamis, pun menyambut positif kehadiran Hashimoto di tangga tertinggi kepanitiaan Olimpiade Tokyo. ”Saya merasa ini sangat bagus karena Anda (Hashimoto) terus maju, rintangan telah dirobohkan, terutama untuk wanita. Kami harus berjuang untuk banyak hal agar setara,” tuturnya.
Selain menerima tanggungjawab besar, Hashimoto dihadapkan sejumlah masalah ”warisan” Mori. Tantangan pertama yang perlu diatasinya, yakni pandangan sinis masyarakat terhadap kepanitiaan Olimpiade Tokyo pasca isu seksisme yang dilontarakan Mori.
Adapun kesenjangan gender menjadi masalah yang belum teratasi di Jepang sampai sekarang. Menurut Japantimes.co.jp, Rabu (10/2/2021), Jepang berada di urutan 121 dari 153 dalam Peringkat Kesenjangan Gender Forum Ekonomi Dunia 2020. Bahkan, mereka menempati tempat terakhir di antara negara-negara ekonomi maju.
Sebagai gambaran, hanya 5,2 persen perempuan yang dipercaya menjadi eksekutif di semua perusahaan di Negeri Matahari Terbit itu pada 2019. Untuk memperbaikinya, sejak 2003, pemerintah menargetkan mengisi sekitar 30 persen perempuan untuk posisi kepemimpinan di pemerintahan ataupun swasta hingga 2020. Namun, hingga kini, target itu belum jua terwujud.
Isu seksisme itu sempat membuat 400-500 orang dari 80.000 orang tenaga sukarelawan Olimpiade Tokyo mengundurkan diri. Calon pembawa obor pesta olahraga dunia empat tahunan itu ada pula yang mengurungkan niatnya padahal pawai obor akan dimulai tak lama lagi, yakni start dari Prefektur Fukushima pada 25 Maret.
Semula, sekitar 10.000 pelari diharapkan membawa obor melalui 47 prefektur dan melewati 859 lokasi selama 121 hari sebelum pembukaan di Stadion Nasional Tokyo pada 23 Juli. Beberapa sponsor juga protes dengan komentar seksisme tersebut dan sempat menunda kegiatan kampanye ataupun promosi Olimpiade Tokyo.
Akan tetapi, Hashimoto coba untuk segera mengatasi masalah tersebut. Dia berjanji akan menambah jumlah perempuan di dewan eksekutif Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo dari 20 persen menjadi 40 persen. Dirinya pun akan mengundang kembali para relawan dan pembawa obor yang sempat mundur. ”Tentu saja, kesetaraan gender sangat penting untuk Tokyo 2020. Kita harus berupaya mewujudkan itu dalam kepanitiaan,” ujar Hashimoto.
Tantangan Covid-19
Tantangan selanjutnya yang patut diselesaikan Hashimoto ialah hambatan pandemi Covid-19 jelang Olimpiade Tokyo. Sejauh ini, wabah yang disebabkan oleh virus korona baru itu belum teratasi di Jepang maupun belahan negara lain.
Karena pandemi Covid-19, jejak pendapat menunjukkan sekitar 80 persen rakyat Jepang menginginkan Olimpiade Tokyo dibatalkan atau ditunda lagi. Publik Jepang khawatir Olimpiade justru memicu peningkatan kasus Covid-19 di Negeri Sakura tersebut.
Sementara itu, proses vaksinasi di Jepang disinyalir tidak akan tuntas sampai Olimpiade Tokyo dibuka pada 23 Juli. Padahal, ajang itu akan dihadiri oleh sedikitnya 15.000 atlet dari 207 negara di luar pelatih, tenaga pendukung, panitia perlombaan, sponsor, penyiaran, media, hingga kontingen Paralimpiade Tokyo.
Di tengah kekhawatiran itu, Hashimoto coba menenangkan publik dan berjanji akan menyiapkan Olimpiade yang aman. ”Sebagai seorang dengan latar belakang atlet, saya akan berusaha menyelenggarakan Olimpiade yang aman untuk atlet dan semua warga,” tegasnya dikutip Nbcnews.com, Kamis.
Untuk menyiasati kendala pandemi, Jepang berencana menjaga para atlet dalam gelembung di perkampungan atlet, arena pertandingan, dan tempat latihan. Namun, Jepang belum memiliki rencana terbaik untuk melindungi ribuan orang lain dari ofisial, sponsor, penyiaran, dan media. Mereka tidak mungkin berada dalam gelembung karena tuntutan mobiltas pekerjaan, seperti petugas penyiaran dan awak media.
Walakin, Hashimoto bukan orang suci. Dia tidak luput dari kritikan. Pada 2014, majalah di Jepang menerbitkan foto-foto ciuman Hashimoto dan atlet seluncur es Jepang Daisuke Takahashi di sela bergulirnya Olimpiade Musim Dingin 2014 Sochi. Media dan publik sempat mengecam foto-foto itu karena dianggap pelecehan seksual dari Hashimoto terhadap Takahashi.
Tak lama setelah isu itu berhembus, Hashimoto langsung meminta maaf dan Takahashi menyampaikan tidak merasa dilecehkan. ”Tentang tindakan nekat saya, saya merasa sangat menyesal atas tindakan yang saya lakukan tujuh tahun lalu. Dulu dan hari ini, saya terus melakukan intropeksi diri untuk menjadi lebih baik,” terang Hashimoto sewaktu awak media menanyakan kembali isu tersebut, Kamis. (AP/REUTERS)