Sabtu (13/2/2021), Prefektur Fukushima, Jepang kembali dilanda gempa besar pasca gempa yang menyebabkan bencana nuklir 10 tahun silam. Gempa kali ini menjadi sinyal bahaya untuk penyelenggaraan Olimpiade Tokyo.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
TOKYO, SENIN – Prefektur Fukushima, Jepang kembali dilanda gempa besar, Sabtu (13/2/2021), pasca gempa yang menyebabkan bencana nuklir 10 tahun silam. Gempa kali ini menjadi sinyal bahaya untuk penyelenggaraan Olimpiade Tokyo. Pengamat menilai Fukushima belum kondusif untuk menjadi tuan rumah Olimpiade ke-32 dan warga Fukushima berpendapat pemerintah lebih baik menyisihkan anggaran Olimpiade untuk pemulihan wilayah yang sampai kini belum sembuh 100 persen tersebut.
Apalagi Olimpiade Tokyo dinilai tidak akan memberikan dampak besar karena kemungkinan diadakan tanpa penonton dampak dari pandemi Covid-19 yang belum teratasi. Maka itu, ide pemerintah menjadikan Olimpiade Tokyo sebagai lambang keberhasilan Jepang pulih dari bencana Fukushima dianggap tidak relevan. Nyala obor Olimpiade yang dimulai dari Fukushima pada 25 Maret nanti dan arena bisbol serta sofbol yang telah disiapkan di sana hanyalah panggung pesta kaum elite belaka.
Dilansir dari Shine.cn dan Nation.com.pk, Senin (15/2), Fukushima dilanda gempa 7,3 magnitudo pada Sabtu pukul 23.07 dan beberapa gempa susulan pada Minggu (14/1). Gempa yang bersumber pada kedalaman sekitar 60 kilometer dan berpusat sekitar 50-70 kilometer di timur laut Jepang itu menyebabkan sedikitnya 150 orang terluka, 240 orang mengungsi, kerusakan sejumlah bangunan, jalan, dan longsor. Namun, tidak ada korban meninggal.
Peneliti pada Pusat Riset Gempa di Universitas Tokyo Wang Yuchen mengatakan, gempa besar pada Sabtu itu masuk kategori gempa dengan fokus sedang (antara 60 kilometer dan 300 kilometer). Olah karena itu, meski kekuatan gempa tinggi tetapi tidak memicu tsunami dan berdampak lebih besar.
Sebagai pembanding, gempa Fukushima pada 11 Maret 2011 berkekuatan 9,0 magnitudo sehingga memicu tsunami dan berdampak sangat besar, yakni memakan korban meninggal lebih dari 15.000 jiwa dan kerusakan infrastruktur parah. ”Gempa Fukushima 2011 adalah gempa fokus dangkal (kurang dari 60 kilometer), yakni pada kedalaman sekitar 24 kilometer di pusat wilayah yang hampir sama,” ujar Yuchen.
Lokasi rawan
Jejak gempa di Fukushima menjadi alasan bahwa lokasi itu merupakan tempat yang rawan dan tantangan untuk penyelenggaraan Olimpiade Tokyo. Menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA) dikutip BBC, Senin, gempa kali ini adalah gempa susulan dari gempa 2011. Adapun Jepang tergolong negara cincin api atau salah satu negara rawan gempa, yakni menyumbang sekitar 20 persen dari seluruh gempa di dunia dengan kekuatan enam magnitudo atau lebih besar.
Bahkan, efek gempa 2011 di daerah yang berjarak 256 kilometer atau sekitar tiga jam perjalanan darat ke arah utara dari Tokyo itu telah menimbulkan bencana nuklir berat akibat kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Sejauh ini, bencana nuklir terparah setelah Chernobyl, Ukraina, 26 April 1986 itu belum sepenuhnya teratasi.
Profesor studi Asia pada Temple University di Tokyo, Jeff Kingston dikutip CNN, Senin, menjelaskan, anggaran besar untuk menyelenggarakan Olimpiade Tokyo sepatutnya dihabiskan untuk memperbaiki kehidupan warga yang masih menanggung efek bencana nuklir tersebut. Apalagi saat ini, warga semakin sulit karena adanya pembatasan perjalanan akibat pandemi Covid-19.
Untuk itu, cita-cita Jepang menjadikan Olimpiade Tokyo sebagai lambang keberhasilan bangkit dari bencana Fukushima 2011 merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta yang terjadi sekarang. ”Ini benar-benar menjadi mata hitam bagi Jepang. Intinya adalah untuk membuktikan merek Jepang, dan seluruh dunia telah melihat Jepang yang Tokyo tidak ingin mereka lihat,” katanya.
Berdasarkan analisis Nbcnews.com, Kamis (11/2), Jepang telah menggelontorkan dana besar untuk menggelar Olimpiade Tokyo. Setidaknya, mereka menanggung beban lonjakan biaya persiapan Olimpiade Tokyo dari 7,3 miliar dollar AS (Rp 101 triliun) menjadi 26 miliar dollar AS (Rp 361 triliun). Karena penundaan setahun, beban biaya bertambah 3 miliar dollar AS (Rp 41 triliun), sehingga total mereka menghabiskan hampir 30 miliar dollar AS (417 triliun).
Akan tetapi, Jepang bergeming dan tetap ingin menggelar ajang multi cabang olahraga besar tersebut. Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pernah menyebut bahwa Tokyo 2020 menjadi panggung Negeri Sakura itu memamerkan pemulihan luar biasa Jepang dari gempa dan tsunami 2011, serta tahun-tahun dengan kinerja ekonomi yang mandek. Tak heran, Fukushima menjadi titik start pawai obor Olimpiade Tokyo pada 25 Maret mendatang.
Warga menolak
Sampai sekarang, sebagian besar warga Fukushima menolak penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang akan turut digelar di Fukushima. Perawat yang tinggal di Kota Miharu, Fukushima sekaligus aktivis Asosiasi Korban Kecelakaan Nuklir, Saki Okawa menuturkan, sejumlah uang telah digelontorkan untuk Olimpiade Tokyo tetapi warga tidak merasa diuntungkan sama sekali.
Narasi mengenai Olimpiade Tokyo sebagai simbol pemulihan Fukushima juga masih jauh dari fakta. ”Mereka ingin menggelar Olimpiade untuk pemulihan setelah 10 tahun dan ingin mengatakan pemulihan sudah selesai. Tapi, tetap saja, setidaknya 37.000 orang masih tinggal jauh dari rumahnya dan kami jauh dari kata pulih,” ungkapnya kepada CNN, Senin.
Dana besar yang dihabiskan untuk menggelar Olimpiade Tokyo harusnya dihabiskan untuk membantu para korban bencana nuklir di Fukushima. Olimpiade menyoroti pemulihan bencana 2011 tapi Fukushima belum pulih sama sekali.
Puluhan ribu warga Fukushima memang masih mengungsi akibat efek radiasi nuklir yang belum hilang. ”Dana besar yang dihabiskan untuk menggelar Olimpiade Tokyo harusnya dihabiskan untuk membantu para korban bencana nuklir di Fukushima. Olimpiade menyoroti pemulihan bencana 2011 tapi Fukushima belum pulih sama sekali,” tutur Tosho Miyazaki, seorang aktivis yang berbasis di Tokyo.
Penolakan sebagian besar warga Fukushima turut mewakili penolakan sebagian besar warga Jepang terhadap kelanjutan Olimpiade Tokyo. Survei kantor berita Jepang, Kyodo News awal tahun ini menunjukkan, 47,1 persen responden berpendapat Olimpiade maupun Paralimpiade Tokyo harus kembali ditunda. Bahkan, 35,2 persen meminta ajang itu dibatalkan. Hanya 14,5 persen yang menginginkan Olimpiade maupun Paralimpiade Tokyo tetap diadakan sesuai rencana.
Alasan utama warga menolak Olimpiade Tokyo digelar kali ini karena pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk. Mereka menaksir manfaat ekonomi yang didapat dari Olimpiade tidak akan sebesar risiko menggelar ajang di tengah wabah tersebut. Mengingat, kemungkinan besar Olimpiade dilaksanakan tanpa penonton atau penonton dengan jumlah terbatas.
Disinyalir aman
Sementara itu, otoritas terkait coba meyakinkan bahwa Fukushima telah aman untuk dilalui obor Olimpiade maupun melaksanakan ajang tersebut. Berdasarkan tes pemantauan radiasi lingkungan baru-baru ini, mereka menyatakan tidak ada alasan untuk mengubah rencana pawai obor Jepang dari Fukushima. Adapun Pemerintah Jepang telah menghabiskan dana 353 miliar dollar AS (Rp 4.900 triliun) untuk merestorasi semua area yang terkena dampak bencana nuklir Fukushima.
Efek gempa Fukushima kali ini pun tidak menimbulkan kejanggalan pada kawasan nuklir yang ada di sekitar lokasi gempa. ”Survei sedang dilakukan di kawasan nuklir Fukushima Daiichi. Kami telah menerima laporan bahwa pembangkit nuklir Onagawa dan Fukushima Daiichi tidak menunjukkan kelainan apapun,” terang Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato dikutip BBC, Senin.
Komite Olimpiade Jepang dikutip Nation.com.pk, Senin, melaporkan, gempa kali ini tidak menyebabkan kerusakan pada Stadion Azuma di Fukushima yang akan menjadi arena bisbol dan sofbol Olimpiade Tokyo. Demikian pula dua arena yang berdekatan dengan Fukushima, yakni Stadion Miyagi di Prefektur Miyagi dan Stadion Kashima di Prefektur Ibaraki yang akan menjadi tempat laga sepak bola ajang tersebut.
Sebagian kecil warga Jepang ada yang mendukung pelaksanaan Olimpiade Tokyo. Warga Kota Koriyama, Prefektur Fukuoka, Shinnosuke Sakuma menyampaikan, Olimpiade akan menjadi hiburan di tengah pandemi Covid-19. ”Di bawah pandemi, aktivitas kami dibatasi. Kami perlu menikmati sesuatu dalam keadaan ini. Bahkan, jika Olimpiade diadakan tanpa penonton, kami akan menonton dari televisi,” pungkasnya. (AP/AFP/REUTERS)