Dua penerjemah terbaik gaya ”gegenpressing”, Juergen Klopp dan Julian Nagelsmann, akan saling bertarung di Liga Champions untuk membuktikan versi siapa yang lebih baik.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
BUDAPEST, SENIN — Manajer Liverpool Juergen Klopp dan Pelatih RB Leipzig Julian Nagelsmann tidak hanya sama-sama berasal dari Jerman. Mereka juga kompak memainkan gaya bermain intens ala Jerman atau biasa disebut gegenpressing. Dengan filosofi ”sedarah” ini, Klopp dan Nagelsmann akan saling menjatuhkan di fase gugur Liga Champions Eropa.
Meskipun berbeda dalam detail strategi, mereka sepaham dalam penerapan taktik menekan balik lawan dengan intens saat kehilangan bola. Filosofi yang mulai dikenal di Jerman sejak era 1980-an itu telah mengguncang sepak bola Eropa dengan interpretasi kedua pelatih asal Jerman tersebut.
Gaya bermain energik itu akan diadu dalam satu panggung ketika Leipzig menjamu Liverpool pada pertemuan pertama babak 16 besar Liga Champions Eropa, Rabu (17/2/2021) dini hari WIB, di Arena Puskas, Budapest, Hongaria. Laga yang tidak bisa digelar di Jerman, akibat pandemi Covid-19, itu akan menjadi pembuktian kehebatan kedua pelatih.
Laga ini akan menjadi pertemuan kedua Klopp dan Nagelsmann. Pada pertemuan pertama, 2017 silam, Nagelsmann masih menangani Hoffenheim. Kala itu, pelatih yang lebih muda 20 tahun dari Klopp ini takluk dengan agregat 3-6 dari Liverpool pada playoff Liga Champions. Namun, Nagelsmann kini bukan lagi sosok lugu, seperti empat tahun lalu.
Semakin dewasa
Leipzig pun semakin ”dewasa” setelah menembus semifinal kompetisi itu pada musim lalu. Mereka telah membuktikan diri bukan tim ”angin-anginan”, seperti Ajax Amsterdam dan Olympique Lyon, yang menghilang seusai tampil fenomenal.
”Jika dilihat dari perkembangan saat ini, jelas terlihat kedewasaan dalam permainan kami. Jelas, ini bukanlah tim angin-anginan,” kata kiper Leipzig, Peter Gulacsi, yang pernah enam tahun berseragam Liverpool, dikutip The Athletic.
Nagelsmann berada di atas angin. Pelatih berusia 33 tahun itu baru saja mengantarkan Leipzing menang tiga kali beruntun di Liga Jerman. Pada saat bersamaan, Klopp tengah gamang akibat tiga kekalahan beruntun di Liga Inggris. Tren berbeda itu bisa sangat berpengaruh ke permainan mereka.
Klopp menyadari, tren hasil buruk Liverpool akhir-akhir ini menuntun mereka ke krisis. Namun, terlepas dari hal itu, ia cukup puas dengan permainan tim asuhannya. Hal yang perlu diperbaiki saat ini adalah mengurangi blunder para pemain.
”Kami harus melanjutkan hal-hal bagus dari laga sebelumnya (di Liga Champions). Jika Anda melihat kekalahan dari Manchester City dan Leicester (City), itu terjadi karena kesalahan individu. Kami telah membahasnya,” kata Klopp.
Tak pelak, walaupun timnya lebih diunggulkan, Nagelsmann perlu mewaspadai tumpukan amarah Liverpool. Laga nanti bisa menjadi pelampiasan kekecewaan ”Si Merah”. Akhir pekan lalu, seusai dibungkam Leicester City, 1-3, Klopp sudah mengisyaratkan bahwa kans mereka mempertahankan gelar juara Liga Inggris telah tertutup. Maka itu, mereka bakal fokus dan habis-habisan di Liga Champions.
”Kami tahu Liverpool tim berkelas dunia. Meskipun sedang dalam hasil buruk, banyak pelatih di Liga Inggris pasti setuju, Liverpool merupakan tim paling tidak menyenangkan untuk dihadapi. Pemain mereka mampu beradaptasi dan mengimplementasikan instruksi pelatih dengan baik. Kami yakin mereka akan datang menghadapi laga nanti dengan kekuatan penuh,” ucap Nagelsmann dikutip laman UEFA.
Dua faktor penting
Dengan filosofi permainan sama, tim yang menerapkan gegenpressing lebih baik berpotensi besar menang pada laga nanti. Dalam gaya tersebut, setidaknya ada dua faktor paling penting yang menopang performa tim, yaitu konsistensi lini depan dan belakang.
Lini depan harus bisa memanfaatkan serangan cepat setelah merebut bola lawan dengan menekan balik intens. Sementara itu, lini belakang juga mesti solid untuk mengantisipasi jika lawan berhasil menembus jebakan mereka.
Nagelsmann perlu mewaspadai tumpukan amarah Liverpool. Laga nanti bisa menjadi pelampiasan kekecewaan ’Si Merah’.
Dari faktor tersebut, Liverpool tampak bermasalah. Trio lini depan mereka, Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, kurang menggigit akhir-akhir ini. Dalam tiga laga terakhir Liverpool, mereka hanya membantu mencetak satu gol dari permainan terbuka.
Saat melawan Leicester, misalnya, trio Si Merah itu kebingungan menghadapi tumpukan pemain lawan. Mereka membuang banyak kesempatan ketika tim lawan kehilangan bola di area sendiri.
Bencana lebih besar terjadi di area pertahanan. Liverpool kemasukan delapan gol dalam tiga laga terakhir. Badai cedera yang melanda para bek tengah sangat menyiksa mereka. Bek baru mereka, Ozan Kabak, terlihat belum cukup pengalaman untuk bersaing di level tertinggi.
Maka, pilihan logis Liverpool adalah menduetkan Fabinho dan Jordan Henderson, yang sama-sama berposisi asli sebagai gelandang, di posisi palang pintu pertahanan. Sebagai gantinya, Liverpool kehilangan peran penting kedua pemain tersebut yang sangat dominan di lini tengah.
Permainan mengalir
Adapun Nagelsmann bisa tenang melihat performa timnya. Leipzig semakin nyaman dengan permainan kolektifnya dan skema formasi 3-1-4-2. Tanpa satu pemain bintang pun, skuad asuhan Nagelsmann itu memainkan sepak bola mengalir yang fleksibel.
Semua pemain gelandang dan striker bergerak bebas di lini pertahanan lawan. Fleksibilitas ini membuat lini kedua mereka sangat berbahaya, terutama gelandang Marcel Sabitzer, Christopher Nkunku, dan Dani Olmo.
Pertahanan Leipzig pun begitu solid dengan trio bek Willy Orban, Dayot Upamecano, dan Nordi Mukiele. Dalam tiga laga terakhir yang selalu mereka menangi, Leipzig hanya kemasukan satu gol.
Meskipun punya kesamaan bermain, Nagelsmann dan Klopp ternyata berbeda guru. Nagelsmann belajar dari pelatih sepuh, Ralf Rangnick, ketika menjadi bawahan di Hoffenheim dan Leipzig.
Sementara Klopp berguru dari mantan pelatihnya di Mainz, Wolfgang Frank. Adapun Frank baru mulai memanggungkan gaya gegenpressing pada akhir 1990-an. Rangnick merupakan pelatih yang pertama memopulerkan gaya bermain itu di Jerman pada pertengahan 1980-an. (AP)