Ketenangan dan fokus pada strategi menunjukkan ketangguhan mental Naomi Osaka. Setelah mengalahkan Garbine Muguruza, dia ditantang petenis Taiwan Hsieh Su Wei pada perempat final.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Saat datang ke Melbourne Park pada 2020, Naomi Osaka tak punya rasa percaya diri untuk mempertahankan gelar juara Australia Terbuka. Dia merasa membutuhkan perjalanan panjang menjadi atlet yang bermental juara. Setahun kemudian, Osaka menunjukkan ketangguhan mentalnya, meski masih membutuhkan tiga kemenangan untuk menjadi yang terbaik.
Hal itu ditunjukkan ketika berhadapan dengan Garbine Muguruza pada babak keempat di Rod Laver Arena, Melbourne Park, Minggu (14/2/2021). Osaka menang, 4-6, 6-4, 7-5, dan akan berhadapan dengan Hsieh Su Wei (Taiwan) dalam duel sesama petenis Asia pada perempat final. Perempat final lainnya pada paruh bawah undian mempertemukan Serena Williams dan Simona Halep.
Serena, yang berusia 39 tahun dengan 23 gelar juara Grand Slam, juga menunjukkan mental juara. Menghadapi Aryna Sabalenka yang tampil tanpa beban dan selalu menekan dengan pukulan keras sepanjang pertandingan, Serena unggul dalam momen kritis. Dia memenangi gim terakhir ketika Sabalenka servis, namun justru membuat kesalahan beruntun pada tiga poin terakhir. Serena menang dengan skor 6-4, 2-6, 6-4.
Adapun Halep mengalahkan bintang muda Iga Swiatek (19), juara Perancis Terbuka 2020. Sempat kehilangan set pertama, Halep mengalahkan petenis Polandia itu, 3-6, 6-1, 6-4.
Kemenangan Osaka didapat dalam adu mental yang mempertemukan dua juara Grand Slam. Osaka adalah pemegang tiga gelar juara di lapangan keras (Amerika Serikat Terbuka 2018, 2020, dan Australia Terbuka 2019), sedangkan Muguruza dengan gelar Perancis Terbuka 2016 (tanah liat) dan Wimbledon 2017 (rumput).
Pertandingan pembuka di Rod Laver Arena itu pun menjadi ujian sesungguhnya bagi kedua petenis setelah melewati tiga babak. Solidnya penampilan mereka pada tiga laga sebelumnnya terlihat dari minimnya gim yang hilang, Osaka dengan 13 gim dan Muguruza 10 gim.
Penuh drama
Tak mengherankan, pertemuan pertama Osaka dan Muguruza ini akhirnya menjadi salah satu pertandingan terbaik yang penuh drama hingga babak keempat. Momen paling menonjol adalah ketika Osaka bangkit pada momen kritis, gim kesembilan set ketiga.
Pertandingan tadi seperti pertempuran, jika saya bisa menggambarkannya dengan satu kata. Saya senang dengan cara saya menyelesaikan pertandingan, yang rasanya tak mungkin terjadi setahun lalu.
Setelah membuat tiga unforced error saat servis, Osaka tertinggal (15-40) pada skor 3-5, yang membuat Muguruza mendapat dua match point. Petenis Jepang itu tak lagi membuat kesalahan dalam perebutan 22 poin berikutnya, dan merebut empat gim beruntun. Dari 22 poin itu, petenis peringkat ketiga dunia itu membuat tujuh winner, sedangkan Muguruza satu winner.
Hampir sepanjang pertandingan, momentum kontrol permainan juga sering berubah. Osaka unggul lebih dulu pada set pertama, namun kehilangan set tersebut. Hal sebaliknya terjadi pada set kedua.
“Pertandingan tadi seperti pertempuran, jika saya bisa menggambarkannya dengan satu kata. Saya senang dengan cara saya menyelesaikan pertandingan, yang rasanya tak mungkin terjadi setahun lalu,” ujar Osaka dalam situs web WTA.
Pada 2020, petenis yang saat ini berusia 23 tahun tersebut datang dengan status juara bertahan. Meski demikian, Osaka tak punya kepercayaan diri untuk mempertahankannya.
“Saya belum punya mental juara yang bisa menjadi modal untuk menang saat tidak dalam kondisi seratus persen fit atau tak bermain begitu baik. Saya ingin punya itu, tetapi rasanya perjalanan masih jauh,” ujar Osaka ketika itu, yang akhirnya dikalahkan petenis berusia 15 tahun, Cori Gauff, pada babak ketiga.
Setahun kemudian, Osaka yang telah menambah gelar Grand Slam dari AS Terbuka 2020 menjadi sosok dengan mental lebih tangguh. Dia memang membanting raket pada gim kelima set ketiga karena membuat kesalahan, tetapi momen itu segera dilupakan.
“Di awal, saya terlalu banyak berpikir. Banyak informasi yang diberikan Wim (Fisette, pelatihnya) sebelum pertandingan hingga saya kewalahan. Namun, akhirnya saya bisa memecahkan masalah itu dengan bersikap lebih tenang dan fokus,” katanya.
Sikap itu, dalam ranah psikologi olahraga, menjadi salah satu ciri atlet yang memiliki kekuatan mental. Atlet dengan kelebihan tersebut bisa fokus pada strategi untuk memenangi poin demi poin. Pola pikir “poin demi poin” itulah yang menjadi faktor kunci konsistensi penampilan seorang atlet.
Di balik sikap Osaka itu, ada hal lain yang juga berperan, yaitu pesan dari bintang basket Kobe Bryant. Mereka bertemu setelah Osaka menjuarai dua Grand Slam secara beruntun, AS Terbuka 2018 dan Australia Terbuka 2019. Agennya membawa Osaka pada Bryant ketika penampilannya merosot setelah juara di Melbourne Park.
Bryant, yang meninggal pada 26 Januari 2020 karena kecelakaan helikopter, mengingatkan Osaka agar percaya pada kemampuan sendiri. “Percaya pada diri sendiri adalah hal yang tak mudah dilakukan setiap orang, itu yang saya pelajari dari Kobe. Keraguan pada diri sendiri tak akan membantu kita. Sejak itu, Kobe selalu memberi kekuatan pada saya, setiap hari,” ujar Osaka.
Sikap itu diperlukan Osaka untuk laga berikutnya melawan Hsieh (Taiwan). Meski lebih berprestasi pada nomor ganda, hanya berperingkat ke-71 dunia tunggal, berusia 35 tahun, dan empat kali dikalahkan Osaka pada lima pertemuan sebelumnya, Hsieh selalu menjadi lawan menyulitkan. Empat dari lima laga itu selalu berlangsung dalam tiga set.
“Jika diibaratkan pertandingan dalam video game, Hsieh adalah karakter yang tak akan saya pilih menjadi lawan. Pikiran saya sulit memahami apa yang dilakukannya di lapangan. Permainan dia hanya menyenangkan untuk dilihat, bukan untuk dihadapi sebagai lawan,” ujar Osaka. (AP/AFP)