Tantangan besar menanti pengurus baru PBSI setelah hasil kurang memuaskan pada tiga turnamen di Thailand. Mereka juga menghadapi tantangan anggaran karena Grup Djarum tak lagi menjadi sponsor pelatnas dan turnamen.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Seusai tiga turnamen di Bangkok, Thailand, selama tiga pekan beruntun, tugas besar Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia 2020-2024 semakin nyata terlihat. Situasi akibat pandemi Covid-19 memperberat tantangan mempertahankan bulu tangkis sebagai cabang olahraga andalan Indonesia dengan prestasi level dunia.
Musim kompetisi 2021 dimulai dengan tiga turnamen beruntun, Yonex dan Toyota Thailand Terbuka serta Final Tur Dunia BWF 2020 di ”gelembung” Bangkok, 12-31 Januari. Ketiganya bisa menjadi cermin tata kelola kerja PBSI di bawah Ketua Umum Agung Firman Sampurna yang dipilih dalam musyawarah nasional, November 2020.
Bagi atlet dan pelatih, rangkaian kejuaraan tersebut menjadi gambaran untuk partisipasi dalam turnamen lain. Peraturan karantina dari Pemerintah Thailand membuat semua peserta internasional harus tiba di Bangkok sepekan sebelum turnamen.
Selama dua pekan, ruang gerak mereka dibatasi, hanya boleh berada di dalam kamar dan tempat latihan/pertandingan dengan rangkaian tes Covid-19 sekitar 3-4 hari sekali. Saat masa karantina berakhir, tim diperbolehkan menikmati udara bebas dan sinar matahari di sekitar hotel, dengan jadwal yang diatur panitia.
Peraturan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi dengan hasil dalam kejuaraan. Ini karena setiap atlet memiliki kemampuan beradaptasi berbeda pada suasana baru.
Akan tetapi, ”gelembung” Bangkok tetap menjadi pengalaman berharga karena situasi serupa masih akan dihadapi. Rasa jenuh, tak dimungkiri, pasti datang. Jadwal kegiatan yang diatur dengan ketat pun mengubah kebiasaan setiap atlet dalam persiapan menghadapi pertandingan.
Hasil satu gelar juara, melalui Greysia Polii/Apriyani Rahayu, dari tiga turnamen Thailand memperlihatkan kegagalan sebagian besar pemain Indonesia untuk memperlihatkan antusiasme kembali ke persaingan setelah 10 bulan tak bertanding. Sebagian besar turnamen internasional dihentikan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) sejak Maret 2020.
Selain Greysia/Apriyani, hanya Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan yang bisa tampil konsisten selama tiga pekan di tengah absennya tim China dan Jepang. Mereka mencapai perempat final, semifinal, lalu final pada setiap turnamen meski gagal juara.
Hasil tersebut cukup kontras dengan masa persiapan. Skuad Pelatnas Cipayung bisa berlatih dengan fasilitas lengkap sejak awal pada masa tak ada turnamen. Sementara itu, tim negara lain yang juga memiliki sistem pelatnas baru melakukannya selang beberapa bulan setelah turnamen dihentikan. Pemain independen bahkan harus berlatih sendirian.
Maka, seperti dikatakan pelatih ganda campuran Nova Widhianto, kekosongan turnamen pada hampir sepanjang 2020 dan karantina menjelang pertandingan tak bisa dijadikan alasan karena semua peserta mengalami kondisi serupa. Dihadapkan pada Olimpiade Tokyo 2020, 23 Juli-8 Agustus 2021, evaluasi besar pun wajib dilakukan.
Tantangan anggaran
Pandemi Covid-19 yang belum berakhir membuat PBSI harus mengantisipasi tambahan masa tinggal tim dalam turnamen internasional, seperti yang terjadi di Thailand. Tambahan biaya tak akan terelakkan.
Tantangan kian besar karena PBSI harus menata ulang sumber pendapatan setelah Grup Djarum tak lagi menjadi sponsor pelatnas dan kejuaraan, termasuk Indonesia Terbuka. Tak hanya ajang terbesar bulu tangkis di Indonesia, Indonesia Terbuka juga menjadi salah satu turnamen besar dalam struktur turnamen BWF.
Sebagai salah satu dari tiga turnamen berkategori BWF Super 1000, Indonesia Terbuka memilih hadiah terbesar. Ketika terakhir kali digelar pada 2019, turnamen tersebut menyediakan total hadiah 1,25 juta dollar AS (sekitar Rp 17,5 miliar). Dibutuhkan biaya sekitar Rp 35 miliar untuk menggelar turnamen berkonsep olahraga dan hiburan itu.
Pada kepengurusan 2016-2020, pengeluaran rutin PBSI rata-rata Rp 90-110 miliar per tahun. Biaya tersebut digunakan untuk membayar gaji karyawan, operasional pelatnas, hingga pengiriman tim ke turnamen. Sebanyak 60-70 persen dari dana tersebut berasal dari Grup Djarum sebagai sponsor.
Dalam webinar yang digelar Siwo PWI DKI Jakarta, 4 Februari, Agung mengatakan bahwa sudah ada beberapa perusahaan yang berminat menjadi sponsor. Meski demikian, sosok yang juga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu tak bersedia menyebutkan nama perusahaan yang dimaksud. ”Akan ada saatnya mengumumkan ini,” katanya.
Mengulang hal yang disebutnya saat dipilih dalam munas, Agung mengatakan tak ingin ada monopoli dari perusahaan tertentu untuk menjadi sponsor. ”Saya tak mengatakan akan mengganti Djarum. Kemitraan terbuka bagi siapa pun, termasuk Djarum, tetapi tidak ada monopoli,” katanya.
Insan bulu tangkis tentu berharap ucapan Agung tentang sudah ada perusahaan yang berminat menjadi sponsor benar adanya, apalagi di tengah pandemi ketika banyak bisnis tersendat. Tak bisa dimungkiri, tanpa pandemi pun, dunia olahraga, kecuali sepak bola, belum menjadi ladang menguntungkan bagi perusahaan Indonesia untuk menjadi sponsor. Pembiayaan pun sangat bergantung pada sosok yang benar-benar mencintai olahraga.
Sebelum Jakarta dan Palembang menjadi tuan rumah SEA Games 2011, misalnya, BUMN harus ”dipaksa” terlebih dulu oleh pemerintah untuk menjadi bapak angkat berbagai cabang olahraga. Sebagian besar di antaranya tak berlanjut.
Maka, tak salah kiranya jika Greysia memaparkan perhatiannya sebagai wakil dari atlet. ”Saya tidak tahu Pak Agung punya latar belakang olahraga atau tidak, tetapi pasti perlu ada penyesuaian teknis dan nonteknis ketika masuk ke olahraga. Pandemi membuat tantangan makin berat, misalnya dalam mencari dana. Jadi, PBSI sekarang harus ekstra kerja keras untuk melindungi atlet agar bisa tetap berprestasi,” katanya.