Mimpi Besar Elang Mesir Mencengkeram Dunia
Salah satu klub tersukses dunia asal Mesir Al Ahly melangkahkan satu kaki menuju singgasana dunia. "Si Elang" lolos ke semi-final dan bersiap mengejar mimpinya mencengkram gelar juara Piala Dunia Antar Klub 2020.
DOHA, JUMAT – Salah satu klub tersukses dunia asal Mesir, Al Ahly melangkahkan satu kaki menuju singgasana dunia setelah menang 1-0 atas klub Qatar, Al Duhail di babak kedua Piala Dunia Antar Klub 2020 di Stadion Education City, Al Rayyan, Doha, Qatar, Jumat (5/2/2021). Klub berjuluk "Si Elang" itu pun lolos ke semifinal dan bersiap mengejar mimpinya mencengkeram gelar juara Piala Dunia Antar Klub, satu-satunya gelar yang belum pernah diraihnya.
Gol kemenangan Al Ahly ditentukan oleh sepakan keras gelandang Hussein El Shahat di menit ke-30. Dengan kemenangan itu, "Si Elang" melangkah ke babak empat besar dan bersiap berjumpa jawara Eropa, Bayern Munchen di arena yang sama, Senin (8/2/2021).
”Setiap pelatih yang pergi ke kejuaraan pasti percaya bisa memenanginya. Kenyataannya, kami harus berpikir keras untuk mengalahkan Bayern Munchen yang pernah mengalahkan Bacelona 8-2 (di perempat final Liga Champions musim 2019/2020) dengan Lionel Messi di lapangan. Tapi, segalanya mungkin terjadi dan Leicester City telah membuktikan itu (kala juara Liga Inggris 2015/2016),” ujar pelatih Al Ahly, Pitso Mosimane dikutip BBC Sport, Jumat.
Nama Al Ahly mungkin masih asing di telinga pecinta sepak bola internasional. Namun, klub yang berdiri di Kairo, Mesir, 24 April 1907 itu adalah klub yang amat disegani di belantika sepak bola Afrika. Bahkan, statistik mencatat sejatinya Al Ahly merupakan klub tersukses di dunia.
Klub yang awalnya tempat berkumpul Serikat Mahasiswa Kairo ini telah mengoleksi 138 gelar juara dengan rincian 115 gelar domestik dan 23 internasional. Koleksi gelar mereka jauh melampaui raksasa Eropa Barcelona dengan 94 trofi, Real Madrid dengan 92 trofi, dan Bayern Munchen dengan 77 trofi. Tak pelak, mereka dinobatkan sebagai Nadi El Qam atau Klub Abad Ini.
Dengan jejak sebagai tempat perkumpulan mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok pejuang dalam menentang ketidakadilan, sejarah itu melekat dalam nadi Al Ahly. Sehingga Al Ahly dikenal sebagai klub yang tak mudah menyerah dalam setiap laga sebagaimana julukan lain mereka, yakni Nadi Al Wataniyyah, atau Klub Para Pejuang.
”Saya mengenal baik Al Ahly. Mereka adalah klub tersukses di Afrika dan memiliki pemain-pemain yang pantang menyerah. Mereka akan terus-menerus mencoba menimbulkan bahaya dalam laga,” kata pelatih Al Duhail, Sabri Lamouchi dikutip En.Africatopsports.com, Kamis (4/2/2021).
Pembuktian pelatih
Sesuai ucapan Mosimane, bahwa dalam sepak bola tidak ada yang tidak mungkin. Karirnya sendiri sebagai bukti ucapan tersebut. Pelatih berusia 56 tahun itu dipandang sebelah mata ketika ditunjuk sebagai pelatih Al Ahly pada 30 September 2020. Pelatih kelahiran Richards Bay, Afrika Selatan, 26 Juli 1964 itu merupakan orang Afrika sub-Sahara kulit hitam pertama yang melatih Al Ahly dalam 113 tahun sejarah mereka.
Penunjukkan mantan pelatih klub Afrika Selatan, Mamelodi Sundowns itu dipenuhi unsur kecemburuan. Pasalnya, beberapa negara terbiasa melihat orang Mesir, Afrika Utara, atau Eropa sebagai juruk taktik suatu klub.
”Siapa saja yang mengambil alih Al Ahly, pasti akan memenangkan trofi. Jika Mosimane melatih tim lain di liga, dia pasti akan dipecat setelah dua laga,” tutur asisten pelatih Al Ittihad, Ibrahim Hassan berkomentar setelah timnya kalah 0-4 dari Al Ahly di Liga Mesir, Selasa (29/12/2020) dikutip Heraldlive.co.za, Kamis (21/1/2021).
Namun, mantan pemain timnas Mesir Ahmed Hossam Mido dan mantan pelatih Al Ahly, Rene Weiler (31 Agustus 2019-1 Oktober 2020), membantah pandangan tersebut. Menurut mereka, Mosimane telah menyulap Al Ahly menjadi Liverpool-nya Afrika.
Al Alhy dengan Mosimane bermain dari belakang dan sangat cepat dalam memberikan tekanan. Saat diserang, mereka bisa memberikan tekanan tinggi untuk mencegat bola. Ini adalah sentuhan Mosimane yang tidak pernah terlihat kala Al Ahly dipegang pelatih-pelatih sebelumnya. Dia telah menjadikan Al-Ahly seperti Liverpool.
”Al Alhy dengan Mosimane bermain dari belakang dan sangat cepat dalam memberikan tekanan. Saat diserang, mereka bisa memberikan tekanan tinggi untuk mencegat bola. Ini adalah sentuhan Mosimane yang tidak pernah terlihat kala Al Ahly dipegang pelatih-pelatih sebelumnya. Dia telah menjadikan Al-Ahly seperti Liverpool,” ujar Weiler dikutip Heraldlive.co.za.
Guardiola dari Afrika
Terlepas dari segala pro kontra itu, Mosimane memang bisa menjaga konsistensi prestasinya. Setelah memberikan 11 gelar untuk Mamelodi Sundowns selama 2015-2020, dirinya langsung mempersembahkan tiga gelar untuk Al Ahly di tahun pertamanya melatih, yakni Liga Mesir, Piala Mesir, dan Liga Champions Afrika yang semuanya di musim 2019/2020.
Berkat rentetan gelar itu, Mosimane mendapatkan julukan Pep Guardiola dari Afrika. Pelatih yang pernah menjadi pemain timnas Afrika Selatan itu mengakui pula bahwa Guardiola menjadi inspirasinya dalam melatih.
”Menang di Al Ahly itu normal, tapi saya ingin meninggalkan jejak dan sudah mulai dengan treble winner kemarin. Saya ingin seperti Guardiola. Ketika tim yang ditinggalkannya memenangi gelar, semua orang masih membicarakan pengaruh atau jejaknya di klub tersebut,” ungkapnya dikutip En.as.com, Jumat (11/12/2020).
Tak heran, Mosimane berambisi membawa Al Ahly menjuarai Piala Dunia Antar Klub untuk pertama kalinya. Sejauh ini, prestasi terbaik Al Ahly di kejuaraan itu ialah peringkat keempat usai kalah 0-2 dari klub Meksiko, Monterrey dalam perebutan tempat ketiga pada edisi tahun 2012 di Jepang.
Mosimane juga ingin "memecahkan telur" klub Afrika yang belum pernah menjadi yang terbaik dalam kejuaraan tahunan tersebut. Prestasi terbaik klub Afrika di sana, yakni runner-up dari klub Maroko, Raja Kasablanka di edisi 2013 dan klub Kongo, TP Mazembe di edisi 2010.
Selain modal kepercayaan diri, Mosimane punya modal pernah membawa Mamelodi Sundowns berlaga di kejuaraan itu pada 2016. Sayangnya, waktu itu, Mamelodi Sundowns langsung kandas 0-2 dari klub Jepang, Kashima Antlers di laga pertamanya pada babak perempat final.
”Itu merupakan pengalaman pertama saya di Piala Dunia Antar Klub. Saat itu, saya akui mengalami demam panggung. Kini, saya jauh lebih siap walaupun akan menghadapi Bayern Munchen. Kami harus menjadi yang terbaik dan mengibarkan bendera untuk benua, negara, dan semua penggemar sehingga mereka bangga kepada kami,” terang Mosimane dikutip Fifa.com, Minggu (24/1/2021).
Motivasi gelar keenam
Walau berstatus juara Liga Champions Eropa 2019/2020, Bayern Munchen tidak boleh jemawa. Klub seperti Al Ahly pasti akan bermain sangat berhati-hati tatkala berhadapan dengan mereka. Belum lagi, ada jawara Amerika Latin asal Brasil, Palmeiras yang baru saja menjuarai Copa Libertadores 2020.
Kendati mendominasi kejuaraan, klub-klub Eropa pun pernah tumbang di partai puncak kejuaraan tersebut. Sejak meneruskan keberlanjutan Piala Interkontinental pada 2005, klub Eropa tiga kali dipecundangi di final, yakni sewaktu Liverpool kalah 0-1 dari Sao Paulo pada 2005, Barcelona kalah 0-1 dari Internacional di 2006, dan Chelsea kalah 0-1 dari Corinthians di 2012.
Kendati demikian, Bayern Munchen termotivasi meraih gelar keenamnya secara beruntun setelah juara Liga Jerman, Piala Jerman, Piala Super Jerman, Liga Champions, dan Piala Super Eropa yang semuanya di musim 2019/2020. Maka, klub Bavaria itu pasti tidak akan memberi hati kepada setiap lawan-lawannya nanti.
”Memenangi gelar keenam jelas menjadi motivasi ekstra kami dalam menanti Piala Dunia Antar Klub kali ini. Kami memiliki tujuan yang jelas dan kami ingin mencapainya dengan cara yang positif,” pungkas penjaga gawang Bayern Munchen, Manuel Neuer dikutip Fifa.com, Rabu (3/2/2021). (AFP)