Kemenangan Kaum Buruh ”Pengkhianat” dari Sao Paulo
Palmeiras menjadi juara Amerika Selatan, Piala Libertadores 2020, seusai mengalahkan Santos, 1-0. Kemenangan itu mengangkat derajat Palmeiras, klub buruh yang dahulu sempat direndahkan, dihina, bahkan dicap pengkhianat.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Ribuan orang beratribut hijau turun ke jalan, mengabaikan kewajiban memakai masker dan jaga jarak, di sejumlah lokasi di Kota Sao Paulo, Brasil, sejak Sabtu malam hingga Minggu (30-31/1/2021) pagi waktu setempat. Seolah tak peduli dengan keselamatannya, mereka bersukacita merayakan keberhasilan klub kesayangannya, Palmeiras, menjuarai Piala Libertadores musim 2020.
Klub berjuluk ”Si Hijau Besar” dari Sao Paulo itu mengalahkan rival senegaranya, Santos, 1-0, pada final kejuaraan antarklub Amerika Selatan itu di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, Sabtu malam lalu.
Bagi palmeirense, sebutan penggemar klub itu, gelar klub terbaik Amerika Selatan itu adalah kemenangan keturunan imigran asal Italia di Sao Paulo. Mereka sering disebut sebagai komunitas ”pengkhianat” di wilayah itu. Tak heran, mereka tampak seperti seolah tidak peduli dengan ancaman kematian dari penyakit Covid-19.
Padahal, Pemerintah Brasil sedang menerapkan aturan kesehatan ketat untuk menghentikan penyebaran wabah Covid-19 yang telah merenggut 224.534 jiwa per 1 Februari 2021 atau tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
”Jika mati hari ini, saya akan mati bahagia. Palmeiras adalah hidupku. Aku bisa mati bahagia karena Palmeiras telah juara,” ujar salah seorang palmeirense, Gabriel Firmino, dikutip Channel News Asia.
Ada alasan mengapa para suporter Palmeiras ini nekat dan bandel mengabaikan protokol kesehatan. Klub berjersei hijau-putih itu, berdasarkan sejarah, didirikan komunitas buruh asal Italia di Sao Paulo pada 26 Agustus 1914. Klub yang awalnya bernama Palestra Italia itu menjadi cermin terbelahnya komunitas buruh asal Italia untuk melawan hegemoni sepak bola kaum borjuis di Brasil.
”Tuhan Kaum Buruh”
Komunitas buruh Italia di San Paulo itu tadinya adalah salah satu dari lima komunitas buruh kasar yang turut membidani kelahiran klub Corinthians di Sao Paulo pada 1 September 1910. Klub berjuluk ”Todo Poderoso” atau ”Tuhan Kaum Buruh” itu berdiri guna melawan kekuasaan sepak bola Brasil yang kala itu disokong orang-orang kaya di ”Negeri Samba”. Saat itu, sepak bola Brasil hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh kaum borjuis.
Dengan berpisahnya komunitas buruh Italia, pendukung sepak bola di Sao Paulo menjadi terbagi dua, antara Corinthians dan Palmeiras. Secara tidak langsung, itu mengurangi upaya Corinthians mendobrak sepak bola para elite. Maka itu, Palmeiras dan para pendukungnya dianggap sebagai pengkhianat abadi hingga dijuluki sebagai Porco atau ”Si Babi” dari Sao Paulo.
Maka, pada awal kelahirannya, Palmeiras dimusuhi dan dipandang rendah, baik oleh sesama komunitas buruh maupun kaum kaya Brasil. Namun, seolah ingin membuktikan sepak bola adalah milik semua, yang tidak dikuasai komunitas tertentu, Palmeiras terus berkicau seperti burung parkit atau periquito, julukan mereka lainnya. Dalam waktu singkat, si burung parkit terbang gagah bak elang yang menguasai sepak bola Brasil.
Klub tersukses
Palmeiras tercatat sebagai klub tersukses di Liga Brasil Serie A dengan koleksi 10 gelar juara dan empat kali runner-up. Mereka menjadi pesaing abadi Corinthians di Liga Paulista atau Liga Negara Bagian Sao Paulo dengan koleksi 23 gelar juara. Sementara Corinthians mengoleksi 30 gelar juara.
Lewat trofi Piala Libertadores keduanya sepanjang sejarah klub, akhir pekan lalu, Palmeiras semakin menancapkan pengaruhnya di Brasil. Gelar kedua setelah 1999 silam itu membuat mereka hanya kalah dengan tiga klub Brasil, yaitu Sao Paulo, Santos, dan Gremio, yang masing-masing memiliki tiga Piala Libertadores. Sementara Corinthians baru meraih satu trofi itu.
Jika mati hari ini, saya akan mati bahagia. Palmeiras adalah hidupku. Aku bisa mati bahagia karena Palmeiras telah juara.
Tak pelak, kini, Palmeiras dan palmeirense justru bangga mengadopsi julukan ”Porco” yang dulu dianggap aib memalukan. Bagi mereka, julukan itu menjadi pembuktian, mereka yang dipandang rendah punya potensi menjadi hebat dan besar.
”Saya bukan terlahir sebagai palmeirense. Saya tidak bisa menyembunyikan itu. Tapi, kini, saya menjadi palmeirense dan akan mati sebagai palmeirense pula. Hari ini, kami jadi juara Amerika Selatan. Itu merupakan sumber kebanggaan terbesar bagi para palmeirense,” tegas gelandang Palmeiras, Felipe Melo.
Kecemerlangan pelatih
Kesuksesan Palmeiras meraih Piala Libertadores 2020 tidaklah lepas dari tangan dingin pelatih asal Portugal, Abel Ferreira. Ia menjadi pelatih kedua asal Eropa yang berhasil menjuarai Piala Libertadores setelah rekan senegaranya, Jorge Jesus, bersama Flamengo pada 2019.
Ferreira baru menangani Palmeiras sejak awal November lalu, menggantikan mantan pelatih timnas Brasil dan Real Madrid, Vanderlei Luxemburgo. Walaupun kehadirannya baru seumur jagung, ia langsung mengangkat kepercayaan diri para pemain Palmeiras.
Jika bisa juara dan melewati kampiun Eropa, Bayern Muenchen, ”Si Pengkhianat” tentunya akan disegani di seluruh dunia.
Dengan latar belakang pendidikan sebagai guru, Ferreira paham betul cara memotivasi dan menanamkan keyakinan kepada para pemain Palmeiras. Ia membenahi masalah disharmoni tim, khususnya kesenjangan antara pemain senior dan muda, yang ditinggalkan Luxemburgo.
Tidak seperti Luxemburgo, Ferreira memberikan kepercayaan lebih kepada para pemain muda timnya untuk tampil. Dengan demikian, mereka tidak melulu bergantung ke pemain senior, seperti Melo, Luiz Adriano, dan Gustavo Gomez.
Para pemain belia, seperti Gabriel Veron (pemain terbaik Piala Dunia U-17 2019) juga mendapatkan kepercayaan tampil rutin. Tak pelak, Palmeiras tampil bertenaga sekaligus flamboyan, nyaris di setiap laga.
”Ferreira adalah pelatih yang sangat cerdas. Dia menjadikan kami satu keluarga di sini. Kedatangannya sangat penting untuk tim kami saat ini,” ujar bek muda Palmeiras, Gabriel Menino.
Namun, pekerjaan Ferreira belum berakhir. Mantan pelatih Sporting Lisbon itu masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengangkat posisi Palmeiras yang masih tertahan di peringkat keenam Liga Brasil. Ia juga memiliki tugas berat lainnya, yaitu memimpin timnya tampil di Piala Dunia Antarklub 2021 yang digelar mulai Kamis (4/2/2021) di Qatar.
Sejauh ini, Palmeiras belum pernah menjuarai Piala Dunia Antarklub. Sementara saudara tuanya, Corinthians, pernah dua kali juara, yakni pada 2000 dan 2012.
Tak hanya itu, nyaris sewindu lamanya, tidak lagi ada klub Amerika Selatan yang meraih trofi itu. Jika bisa juara dan melewati kampiun Eropa, Bayern Muenchen, ”Si Pengkhianat” tentunya akan disegani di seluruh dunia. (AFP/REUTERS)