Chelsea bermain lebih simpel dan mengalir di bawah arsitek baru, Thomas Tuchel. Kesederhanaan bermain ini justru jadi kunci ”Si Biru” menyegel tim lawan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, SABTU — Johan Cruyff, ”bapak” sepak bola modern, meyakini cara terbaik memenangi laga adalah menguasai bola sebanyak mungkin. Karena hanya ada satu bola di lapangan, cara ini akan otomatis menyegel permainan sekaligus membunuh harapan musuh. Gaya menghibur tersebut dijanjikan hadir di Chelsea dalam era manajer baru Thomas Tuchel.
Tuchel baru sekali memimpin laga Chelsea ketika ditahan imbang Wolverhampton Wanderers, 0-0, Rabu lalu. Meski tidak mampu menang, permainan ”Si Biru” mendatangkan euforia besar. Manajer asal Jerman ini membuat klubnya bermain super dominan.
Hanya dalam satu sesi latihan di bawah Tuchel, sebelum melawan Wolves, Chelsea bermain bagaikan tim veteran. Mereka menguasai permainan hingga 78,9 persen dan membuat 832 umpan. Dua angka tersebut merupakan rekor tertinggi bagi Chelsea sejak musim 2003-2004.
Menariknya, dominasi Chelsea bisa dikatakan tidak wajar. Sangat sulit menguasi permainan nyaris 80 persen di liga terbaik dunia, apalagi lawannya Wolves, tim papan tengah dengan lini tengah solid. Sebagai gambaran, tim paling dominan separuh musim ini, Liverpool dan Manchester City, hanya menguasai bola sekitar 60 persen ketika bertemu ”Si Serigala”.
Tuchel menyulap ”Si Biru” dalam sekejap, setelah era manajer sebelumnya, Frank Lampard. Dengan menguasai bola, Chelsea punya kesempatan lebih banyak menciptakan gol. Di sisi lain, mereka bisa membatasi serangan balik lawan. Gaya ini menjawab lemahnya pertahanan Chelsea ketika dilatih Lampard.
Laga debut Tuchel menggambarkan jelas idealismenya. Dia ingin dan yakin menang dengan sepak bola positif, seperti filosofi mendiang Cruyff. Meskipun, manajer bertubuh kurus ini juga menyadari, dia berada di klub yang menyampingkan idealisme. Chelsea, di bawah rezim sang pemilik Roman Abramovich, merupakan tim yang amat pragmatis, hanya peduli akan hasil.
Klub sudah menjelaskan, Chelsea adalah tentang hasil akhir. Saya pun sangat realistis (dengan gaya bermain saya). Saya berada di sini untuk memenangi semua trofi.
”Klub sudah menjelaskan, Chelsea adalah tentang hasil akhir. Saya pun sangat realistis (dengan gaya bermain saya). Saya berada di sini untuk memenangi semua trofi,” kata mantan manajer Paris Saint-Germain ini jelang laga keduanya.
Filosofi serupa akan disajikan lagi oleh sang manajer, ketika Chelsea menjamu Burnley, pada Minggu (31/1/2021) malam WIB, di Stadion Stamford Bridge. Kali ini, Tuchel wajib mengantongi tiga poin, sebagai bukti gaya superdominan merupakan pilihan tepat untuk Chelsea.
Permainan dominan butuh intensitas tinggi. Karena itu, Tuchel sudah mempersiapkannya dalam sesi latihan jelang melawan Burnley. Dalam latihan, terlihat bek veteran Thiago Silva dan gelandang Jorginho mencuri napas ketika istirahat. Wajah mereka menunjukkan rasa lelah di tengah latihan keras sang manajer.
Ujian sepadan
Rio Ferdinand, bek legendaris Manchester United, mengingatkan Tuchel. Liga Inggris sangat kompleks. Penguasaan bola bisa jadi jalan kemenangan, tetapi juga mungkin berujung antiklimaks. Dari pengamatannya, permainan Chelsea masih monoton.
”Dia (Tuchel) harus segera menuju ke lapangan latihan dan mengeluarkan papan taktiknya. Dia harus memastikan anak asuhnya memahami, semua ini bukan hanya tentang penguasaan bola. Anda harus bisa melukai tim lawan,” kata Ferdinand kepada BT Sport.
Pada akhirnya, semua akan bermuara pada efektivitas tim. Hal ini sudah terbukti dalam hasil separuh musim. Leeds menguasai bola rata-rata 57 persen (keempat tertinggi), tetapi hanya menduduki posisi ke-12 dalam klasemen sementara. West Ham United, dengan penguasaan 44 persen (salah satu terendah), justru mampu menerobos lima besar.
Efektivitas gaya bermain Tuchel pun akan diuji oleh skuad asuhan Sean Dyche. Burnley, seperti mayoritas tim kecil, akan membiarkan lawan mendominasi permainan. Namun, saat lengah, mereka bisa menghukum lawan dalam sekejap lewat serangan balik. Sepak bola negatif ini sudah menelan korban sang juara bertahan Liverpool, pekan lalu.
Tuchel belum menentukan skuad utamanya. Laga melawan Wolves kemarin hanyalah percobaan. Di laga tersebut, dia tidak menurunkan pemain andalan Lampard, seperti Timo Werner dan Mason Mount. Sementara itu, N’Golo Kante kemungkinan akan bermain kembali setelah absen karena cedera.
Di era Tuchel, Chelsea menumpuk pemainnya di lini tengah hingga sepertiga akhir. Para pemain bermain lebih sederhana, tidak banyak mendribel bola. Mereka fokus bermain umpan pendek dalam jarak dekat.
Formasi 3-4-2-1 membuat gelandang kreatif Hakim Ziyech dan Kai Havertz, yang biasa ditaruh di sayap, mendapat tugas lebih ke tengah. Sementara itu, tugas menyisir dari pinggir diberikan kepada dua sayap Ben Chilwell dan Callum Hudson-Odoi.
Ketika menguasi bola, mereka bermain dalam formasi ekstra menyerang. Lini pertahanan hanya menyisakan Silva. Dua bek pengapit Silva, Antonio Rudiger dan Cesar Azplicueta, bermain lebih maju, ke pos gelandang bertahan. Mereka melindungi lini tengah sekaligus sayap dari serangan balik.
Hal yang patut ditunggu adalah kebangkitan Havertz dan Werner dalam skema baru Chelsea. Duo pemain bertipe menyerang asal Jerman ini dianggap pembelian gagal karena tidak mampu beradaptasi dalam skema Lampard. Di bawah ”arsitek” dan gaya main Jerman, mereka bisa jadi ancaman baru Liga Inggris. (AP/REUTERS)