Utah Jazz bagkit dari tidur panjang musim ini. Dengan tim tanpa pemain megabintang, Jazz kembali mengguncang persaingan NBA.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Selama 22 tahun, lebih dari dua dekade, Utah Jazz bagaikan mati suri. Tim dengan salah satu basis fans terbesar di NBA ini hilang dari persaingan juara sejak mundurnya duet legendaris John Stockton dan Karl Malone. Musim ini, Jazz yang berstatus kuda hitam tiba-tiba mengguncang liga dengan skuad sederhana.
Jazz terakhir kali merasakan final NBA pada 1998, ketika Stockton (kini 58 tahun) dan Malone (57) masih bermain. Final itu melahirkan sejarah, tetapi untuk tim lawan mereka, Chicago Bulls, yang memenangi three-peat kedua bersama Michael Jordan.
Dalam dua dekade setelahnya, Jazz menyepi. Bakat Deron Williams dan Carlos Boozer pada tahun 2000-an sempat membawa harapan, tetapi mereka kekurangan satu keping lagi untuk jadi tim juara. Harapan pun lenyap.
Musim ini, Jazz seperti datang dari ”dunia” berbeda. Sang ”kuda hitam” baru saja mencatatkan rekor 10 kemenangan beruntun, setelah menang mudah atas Dallas Mavericks, 116-104, di Vivint Arena, Salt Lake City, Utah, Kamis (28/1/2021).
Berkat kemenangan beruntun itu, skuad asuhan Quin Snyder ini memuncaki klasemen Wilayah Barat sekaligus tim dengan rekor kemenangan terbaik di NBA, 77,8 persen (14-4). Mereka mengudeta posisi juara bertahan Los Angeles Lakers (14-5).
Luar biasanya, delapan dari 10 kemenangan itu diraih dengan selisih poin lebih dari dua digit. Mereka juga menang atas tim-tim besar, seperti Denver Nuggets dan Milwaukee Bucks.
Peningkatan prestasi Jazz ini sangat drastis, sebagai tim yang kalah di putaran pertama playoff musim lalu. Padahal, menurut prediksi ESPN sebelum musim dimulai, mereka hanya menempati unggulan ke-12 dari 30 tim.
”Mungkin ini pertama kalinya sejak saya berada di sini, saya melihat semua sangat fokus di ruang ganti. Kami seperti sedang bermain sesuatu yang lebih besar dan dalam misi besar,” kata center Jazz, Rudy Gobert, kepada ESPN.
Uniknya, Jazz musim ini tidak punya duo pemain hebat seperti Stockton dan Malone. Mereka tidak punya satu pun pemain berstatus Most Valuable Player (MVP). Kelebihan Gobert dan rekan-rekan justru ada pada rotasi tim yang sempurna. Pemain inti maupun cadangan, dalam unit pertama dan kedua, bisa menampilkan performa konsisten selama 48 menit.
Snyder berkata, kunci keberhasilan tim sejauh ini adalah kolektivitas. ”Kami selalu ingin pemain tidak egois, bisa membantu satu sama lain di lapangan. Permainan ini bisa jadi simpel jika kamu menginginkannya,” ucap pelatih Jazz sejak 2014 tersebut.
Kolektivitas ini ditambah dengan adaptasi pemain yang berjalan baik ke dalam sistem Snyder. Dari skuad inti, Gobert dan Donovan Mitchell semakin dewasa, sedangkan Bojan Bogdanovic dan Mike Conley semakin nyaman pada musim keduanya setelah pindah tim.
Kekuatan tim utama ini disokong oleh cadangan yang punya peran vital. Center Derrick Favors selalu menggantikan Gobert sebagai pemain besar, seangkan Jordan Clarkson dan Joe Ingles siap masuk sebagai pencetak poin.
Menariknya, dalam tim ini, enam pemain mencatatkan rata-rata poin dua digit sejak awal musim. Dua di antaranya pemain cadangan, Clarkson (17,9 poin) dan Ingles (10,9 poin). Statistik ini sangat mewah dibandingkan dengan tim-tim besar yang hanya mengandalkan dua atau tiga pemain bintangnya.
Contoh nyata kolektivitas ini terlihat jelas di laga melawan Mavericks. Jazz tampil tanpa top skornya, Mitchell (23,4 poin). Namun, mereka bisa melalui hadangan tim yang diperkuat salah satu bakat terbaik NBA saat ini, Luka Doncic, dengan mudah. Ingles dan Clarkson mengisi peran Mithcel lewat kombinasi 52 poin.
Raja tiga poin
Jazz bisa berbicara banyak berkat sistem Snyder. Sang pelatih sukses mengapitalisasi bakat skuadnya. Snyder sukses menerapkan sistem yang cocok untuk bakat skuadnya. Dengan banyaknya penembak jitu, dia membuat skema permainan agar para ”serdadunya” leluasa menembak dari luar busur tiga poin.
Setelah 18 laga, Jazz menjadi tim yang menghasilkan lemparan tiga poin terbanyak setiap laga, rata-rata 16,6 kali (49,8 poin). Mereka tidak asal menembak karena efektivitas lemparannya merupakan yang kedua terbaik di liga, 39,7 persen, hanya kalah dari los Angeles Clippers.
Perubahan drastis ini jelas ditampilkan dengan rata-rata 49,9 kali percobaan lemparan tiga poin Jazz setiap pertandingan. Jumlah tersebut naik signifikan daripada musim lalu, yang hanya 40,7 kali lemparan. Lima pemain menjadi eksekutor utama lemparan jauh, di antaranya Mitchell dan Clarkson.
Hujan tiga poin dengan variasi eksekutor ini selalu berhasil membuat skor Jazz tak pernah kekeringan. Terbukti, mereka menjadi tim dengan rating serangan terbaik saat ini di liga, melampaui tim ”raksasa” yang punya MVP seperti Brooklyn Nets ataupun Lakers.
Steve Kerr, Pelatih Golden State Warriors, berkata Jazz merupakan ancaman besar musim ini. Mereka punya segalanya untuk juara. Kapabilitas Kerr menilai sebuah tim tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah berulang kali merasakan juara, 3 kali saat melatih, dan 5 kali ketika bermain.
”Utah adalah tim veteran. Mereka mencoba memenangi juara NBA saat ini. Saya pikir, mereka mampu untuk melakukannya. Anda tahu, mereka mirip seperti kami tiga atau empat tahun lalu,” ucap Kerr ketika timnya kalah telak dari Jazz, pekan lalu, dikutip The Athletic.
Kerr menyamakan Jazz saat ini dengan era tim Super Warriors. Ketika itu, Warriors menjuarai NBA dengan penembak terbaik di liga Kevin Durant serta duet splash brothers Stephen Curry dan Klay Thompson.
Meski begitu, sang ”kuda hitam” Jazz masih akan diuji konsistensinya dalam perjalanan panjang musim ini. Masih banyak laga reguler dan playoff sebelum tim yang nihil gelar NBA ini mencapai tangga juara.
Di masa depan, tim potensial ini akan menghadapi ujian lebih berat lagi, terutama ketika playoff. Mitchell dan rekan-rekan sepatutnya belajar banyak dari Stockton dan Malone.
Pada musim 1997-1998, Jazz menyudahi musim reguler dengan rekor kemenangan terbaik di liga. Namun, dua pemain legendaris itu justru pulang dengan tangan kosong. (AP)