Fase awal karier mendiang Kobe Bryant sebagai pebasket sangatlah fenomenal. Yang disesalkan, fase kedua kariernya setelah pensiun tidak sempat mencapai puncak.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Pada Rabu (27/1/2021), dunia memperingati satu tahun kepergian legenda NBA Kobe Bryant yang tewas dalam kecelakaan helikopter bersama putrinya, Gianna. Waktu berlalu, kepergiannya masih diratapi banyak orang. Jiwa Bryant seolah tertinggal meski fisiknya telah tiada.
”Semuanya terhenti. Musik berhenti, pemain berhenti. Tak satu pun mengeluarkan kata. Banyak yang terjatuh ke lantai dan mulai menangis. Semua membeku selama 10 menit. Itu salah satu momen terburuk dalam hidup kami,” kata Steve Kerr, Pelatih Golden State Warriors, mengenang suasana mencekam di lapangan saat Asisten Pelatih Jarron Collins menyampaikan kabar duka itu, setahun lalu.
Menurut Kerr, perasaan serupa masih tersisa ketika seluruh NBA mengenang setahun kepergian pemain berjuluk ”Mamba Hitam” itu. Semua tidak ingin percaya Bryant telah pergi di usia 41 tahun, tak sampai 4 tahun setelah pensiun dari Los Angeles Lakers. Kehadirannya masih terasa ketika Lakers mempersembahkan juara NBA musim lalu untuknya. Termasuk, saat pemberian status Hall of Fame NBA 2020 kepada Bryant.
”Ini terasa mustahil. Biasanya setelah seseorang wafat, waktu perlahan menyembuhkan luka. Tetapi, bahkan setahun berikutnya, saya belum sembuh dari perasaan itu,” ucap pengamat NBA Skip Bayless, dalam acara Undisputed.
Duka yang tersisa amat wajar karena Bryant dan Gianna berpulang secara mendadak dalam tragedi kecelakaan helikopter. Padahal, semasa hidup, peraih lima gelar juara NBA ini dikenal sebagai sosok yang tak terkalahkan. Agak sulit dipercaya, dia harus menyudahi perjalanan hidup di usia yang tergolong muda.
Rasa sedih semakin menyesakkan karena dunia tidak bisa melihat Bryant pada fase kedua karier, setelah tidak lagi menjadi atlet. Fase itu baru saja dimulai. Banyak orang yakin, karier keduanya akan lebih hebat dari kisah awal sebagai pebasket.
”Kobe adalah sosok tidak terkalahkan di dalam dan di luar lapangan. Dia mulai memperlihatkan potensi di karier keduanya. Itu yang membuat kami berpikir, tidak mungkin dia yang pergi,” tambah Bayless.
Ini terasa mustahil. Biasanya setelah seseorang wafat, waktu perlahan menyembuhkan luka. Tetapi, bahkan setahun berikutnya, saya belum sembuh dari perasaan itu.
Setelah pensiun, Bryant tampak sangat bahagia menjadi ayah sekaligus mentor untuk Gianna. Dia juga fokus dalam pembinaan pemain muda dan menginspirasi anak-anak lewat karya kreatif.
Sebelum meninggal, Bryant baru saja memasuki musim kedua sebagai pelatih Gianna dalam tim bola basket putri ”The Mambas”. Dia turut membangun akademi bersama rekannya, Chad Faulkner, dalam Akademi Olahraga Mamba. Di sana, banyak pemain bintang NBA sekaligus pemain muda yang menimba ilmu.
Bayangkan saja, pada masa depan, ayah dan anak ini menjadi duet maut di kompetisi putri NBA (WNBA). Mungkin juga, suatu hari dia akan melatih mantan timnya, Lakers, atau memiliki salah satu tim NBA, seperti yang dilakukan Michael Jordan bersama Charlotte Hornets.
Legenda yang pensiun dengan nomor punggung 24 ini juga terjun dalam industri kreatif untuk menginspirasi anak-anak. Dia membuat film animasi pendek Dear Basketball yang sukses memenangi Piala Oscar. Terakhir, dia menciptakan serial buku untuk anak, The Wizenard Series.
Semua pekerjaan itu dilakukan dengan sempurna dan Bryant terlihat bahagia menjalankannya. Dalam tiga tahun terakhir, dia lebih banyak tersenyum dibandingkan selama dua dekade sebagai pemain. Imaji masa depan Mamba Hitam yang membuat kepergiannya terus disesalkan.
Warisan tersisa
Walaupun fase kedua Bryant berlangsung singkat, warisannya terus berkembang. Salah satunya terlihat di akademinya. Meski tidak menggunakan nama Mamba lagi, akademi tersebut masih ramai dikunjungi pemain top dan muda NBA.
Mulai dari megabintang NBA Kevin Durant dan Kyrie Irving, sampai pemain muda Caris LeVert, dan mayoritas pemain Lakers terus berdatangan. Ketika Bryant masih ada, dia kerap memanggil yuniornya untuk berlatih di akademi itu. Dia banyak memberikan ilmu semasa bermain.
Menurut Faulkner, para pemain mau datang terus karena masih merasakan kehadiran Bryant. ”Tempat itu emosional bagi mereka. Orang-orang itu tahu ke mana mereka akan pergi. Mereka merasa masih ada Kobe di tempat ini,” katanya, seperti dikutip The Athletic.
Pau Gasol, sahabat baik sekaligus mantan rekan setim Bryant, berkata, warisan Bryant akan selalu menginspirasi banyak orang, terutama anak-anak kecil di seluruh dunia, untuk bisa menjadi seperti dirinya.
Bryant tidak bisa mewujudkan impiannya dalam fase kedua karier. Meski begitu, spirit, ambisi, dan cinta Mamba Hitam selama hidup sudah cukup untuk menyinari kehidupan banyak orang. (AP)