Skorsing BWF pada delapan atlet bulu tangkis mencoreng dunia bulu tangkis Indonesia. Sportivitas, yang diambil dari kata ’sport’, atau olahraga, dituntut menjadi jalan hidup semua insan olahraga, terutama atlet.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Dunia bulu tangkis Indonesia tercoreng kasus pengaturan hasil pertandingan yang dilakukan atlet hingga melahirkan skors seumur hidup dari Federasi Bulu Tangkis Dunia. Dunia olahraga, pada cabang apa pun, tidak menoleransi sikap tak sportif di dalam dan luar lapangan.
Melalui surat keputusan BWF tertanggal 20 Desember 2020 dan diterima PP PBSI pada 5 Januari 2021, sanksi diberikan pada delapan pebulu tangkis yang bukan berstatus pemain pelatnas. Tiga di antara mereka adalah Hendra Tandjaya, Danang Ivandi, dan Androw Yunanto yang diskors seumur hidup.
Lima atlet lainnya, yaitu Putri Sekartaji, Mia Mawarti, Afni Fadilla, Aditiya Dwiantoro, dan Agripinna Prima Rahmanto Putra, dijatuhi skors 6-12 tahun, serta denda beragam, yaitu Rp 99 juta, Rp 141,5 juta, dan Rp 169,8 juta.
Dari rincian kasus dalam keputusan setebal 49 halaman itu, beragam pelanggaran dilakukan kedelapan atlet, seperti kalah dengan sengaja dalam pertandingan, berjudi hasil pertandingan, hingga memengaruhi atlet lain untuk kalah atau bermain dengan skor tertentu.
Hendra, salah satu yang dijatuhi skor seumur hidup, memiliki 13 tuduhan, paling banyak di antara yang lain. Dia kalah dalam pertandingan dan memengaruhi rekan lainnya untuk kalah dengan imbalan uang, untuk kepentingan judi. Dari setiap kekalahan, Hendra mendapat imbalan Rp 4 juta-Rp 14 juta.
Kasus pengaturan skor itu tercium PP PBSI sejak 2017. Saat itu, salah satu pemain yang tampil pada turnamen Selandia Baru Terbuka melapor pada PBSI telah ditawari pemain Indonesia untuk kalah dengan imbalan uang. Berdasarkan laporan tersebut serta kecurigaan dari hasil turnamen-turnamen sebelumnya, PBSI melapor kepada BWF dan tak mendaftarkan lagi atlet tersebut ke turnamen.
Dalam peraturan, setiap atlet yang mengikuti turnamen BWF harus mendaftar melalui asosiasi bulu tangkis masing-masing. Dari delapan pemain yang mendapat sanksi, tujuh di antaranya tak lagi bertanding sejak 2016 atau akhir 2017.
Tak tahu peraturan
Banding pada Mahkamah Arbitrase Olahraga (CAS), melalui PBSI, ditempuh Agripinna dan Mia karena merasa tak bersalah merekayasa hasil pertandingan atau berjudi. Agripinna beralasan, dia tidak pernah mengatur hasil pertandingan pada Vietnam Terbuka 2017 seperti tuduhan BWF. ”Saya hanya sebagai korban,” kata Agripinna, yang diskors enam tahun dan denda Rp 99 juta.
Tuduhan bertaruh dengan Hendra pun disangkalnya. Pemain berusia 29 tahun itu bercerita, dia hanya akan mentraktir Hendra makan di restoran cepat saji apabila Dionysius Hayom Rumbaka, yang dijagokannya, menang atas Hashiru Shimono (Jepang). Namun, pilihan tersebut oleh Hendra dimasukkan ke rekening perjudian daring yang dimiliki Hendra, yang kemudian menjerat Agripinna.
”Kesalahan saya adalah karena tidak melaporkan perjudian itu ke BWF. Saya tidak tahu kalau tidak melapor itu melanggar Etik BWF. Saya pun tidak tahu harus melapor ke siapa, yang saya tahu, pelanggaran etik itu hanya soal perjudian saja,” tutur Agripinna.
Mia mengajukan banding atas sanksi skors 10 tahun dan denda Rp 141,5 juta. Dia dinyatakan bersalah karena menerima uang Rp 10 juta dari hasil judi, tidak melaporkan perjudian pada BWF, dan tidak hadir dalam wawancara atau undangan investigasi BWF.
Kesalahan saya adalah karena tidak melaporkan perjudian itu ke BWF. Saya tidak tahu kalau tidak melapor itu melanggar Etik BWF.
Sepengetahuannya, uang dari Hendra adalah uang saku selama mengikuti kejuaraan. Mia tidak tahu bahwa uang tersebut berasal dari hasil perjudian yang dilakukan Hendra.
”Tuduhan bahwa saya menyetujui tak menyelesaikan pertandingan di Selandia Baru Terbuka 2017 pada partai ganda putri (bersama Putri) juga tidak benar. Bahkan, saya berdebat dengan Hendra di tengah lapangan. Saya tidak mau retired, tapi Hendra, sebagai ofisial, meminta ke wasit agar pertandingan dihentikan dengan menyebut saya tidak mungkin melanjutkan pertandingan karena cedera. Padahal, saya tidak cedera,” ujar Mia.
Tentang pelanggaran tidak melaporkan terjadi perjudian kepada BWF, Mia pun tidak mengetahui jika hal itu tergolong pelanggaran kode etik.
Putri, yang diskors 12 tahun dan denda Rp 169,8 juta, bercerita, ketika berpasangan dengan Hendra di Selandia Baru Terbuka 2017, dia bermain sepenuh hati dan mengerahkan kemampuan terbaik. Namun, Hendra justru kerap melakukan kesalahan mendasar, seperti memukul kok keluar lapangan atau menyangkut di net.
Pedoman etika
Betapa pentingnya nilai-nilai sportivitas dalam olahraga membuat setiap badan olahraga dunia memiliki kode etik yang detail. Dunia tenis memiliki Tennis Integrity Unit (TIU), sementara di bulu tangkis ada BWF Integrity Unit.
Tak sedikit pelanggaran terkait manipulasi kompetisi menghasilkan sanksi skors hingga seumur hidup meski telah mengajukan banding ke CAS. Pada cabang olahraga individu, pada umumnya jenis pelanggaran ini dilakukan atlet ”kelas bawah”.
Pada Mei 2020, TIU menskors petenis Mesir Youssef Hossam seumur hidup karena terbukti melakukan 21 pelanggaran terkait judi dan korupsi pada rentang 2015-2019. Dua tahun sebelumnya, kakaknya, Karim Hossam, menerima sanksi yang sama.
Pebulu tangkis Malaysia, Tan Chun Seang dan Zulfadli Zulkifli, masing-masing diskors 15 dan 20 tahun pada 2018 karena pengaturan hasil pertandingan. Mereka kalah dalam pengajuan banding pada CAS.
Dalam bulu tangkis, perilaku terkait manipulasi pertandingan diatur oleh Statuta BWF dalam Pasal 2 tentang Etika yang mencakup pedoman etika dan pedoman perilaku. Kasus manipulasi kompetisi dan antidoping diatur dalam pedoman etika.
Sementara itu, sikap-sikap sportif elementer diatur dalam pedoman perilaku, tak hanya bagi atlet, melainkan juga untuk pelatih dan ofisial. Mereka pun dituntut bersikap profesional di luar lapangan.
Tunggal putra nomor satu dunia, Kento Momota, diskors sejak April 2016 hingga 2017 oleh Asosiasi Bulu Tangkis Jepang karena berjudi di kasino ilegal di Tokyo dalam enam kali kunjungan. Akibat sanksi tersebut, Momota batal bersaing di Olimpiade Rio de Janerio 2016. Padahal, dengan posisi peringkat kedua dunia saat itu, dia menjadi salah satu kandidat peraih medali emas. Momota pun menyebut itu sebagai masa terkelam dalam hidupnya.
Sikap sportif dituntut menjadi jalan hidup semua insan olahraga, dan atlet mendapat sorotan lebih besar karena menjadi pemeran utama dalam sebuah kompetisi. Perilaku mereka menjadi pusat perhatian atlet lain, serta penggemar olahraga.