Steve Nash punya pemain bertalenta untuk membawa tim super Nets juara. Namun, hal itu diikuti dengan beban ekspektasi yang teramat berat.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Tak ada pelatih debutan NBA yang punya tugas lebih berat dari Steve Nash. Pelatih tanpa pengalaman ini dibebani tanggung jawab menangani tim super Brooklyn Nets, yang punya trio megabintang dengan ego selangit. Kemewahan tim ini bisa menjadi berkah, atau justru musibah baginya.
Saga pertukaran besar James Harden, dari Houston Rockets ke Nets, telah melahirkan tim super baru. Nets digadang-gadang akan menjadi tim paling dominan di NBA karena punya tiga pemain top, Harden, Kevin Durant, dan Kyrie Irving.
Materi mewah itu berbanding terbalik dengan profil arsitek tim. Nash memang salah satu pemain terbaik di NBA pada masanya. Namun, dua kali peraih Most Valuable Player (MVP) NBA 2005-2006 itu masih bau kencur di dunia kepelatihan. Ini adalah musim pertamanya sebagai pelatih kepala.
Paul Pierce, legenda hidup Boston Celtics, berkata pekerjaan Nash merupakan yang tersulit di antara seluruh industri olahraga Amerika Serikat saat ini. “Tidak ada yang pernah mendapatkan pekerjaan seperti ini sepanjang sejarah dalam debut sebagai pelatih kepala,” katanya dalam acara televisi The Jump.
Persoalan tersulit adalah mendapatkan rasa hormat dan mengontrol ego pemain. Tantangan itu, sebelum kedatangan Harden, sudah jadi masalah Nash. Irving, salah satu dari tiga pemain itu, tidak menghormatinya.
Pekan lalu, Irving absen beruntun dari pertandingan tanpa izin dari sang pelatih. Setelah menghilang, point guard andal itu diketahui lebih memilih berpesta di acara ulang tahun keluarga. Sikap tersebut menunjukkan Nash belum mampu menjinakkan Irving.
Tugas ke depan lebih berat. Nash perlu menangani trio megabintang sekaligus yang punya ego tinggi. Ketiganya pernah pindah ke tim lain untuk menjadi pemimpin dalam skuad. “Anda harus punya sistem untuk membuat ketiganya bahagia. Hal itu berkaitan dengan mengatur ego mereka,” tambah Pierce.
Dengan trio yang mengombinasikan 2 gelar MVP dan Final MVP, serta 3 cincin juara NBA, ekspektasi juga akan mengikuti Nash. Target satu-satunya bagi tim super Nets hanyalah juara NBA.
Pekerjaan Nash, menurut analis NBA David Fizdale, bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, tugasnya terlihat mudah karena punya talenta yang menakjubkan. Sebaliknya, talenta itu bisa membuatnya tenggelam dalam ego mereka.
“Hal yang paling dibutuhkan Nash adalah pengorbanan. Bagaimana pemain merelakan egonya untuk bisa masuk ke dalam sistem pelatih. Ini pasti akan sulit karena Nash tidak punya waktu dalam pemusatan latihan pramusim. Ini pertama kali seorang MVP pindah ketika musim berjalan,” ucap Fizdale.
Tak khawatir
Nash sendiri tidak terlalu khawatir. Pelatih 46 tahun ini menyadari, NBA merupakan liga para bintang. Karena itu, sudah tugasnya bisa beradaptasi dan bekerja sama dengan mereka.
“Tentunya dalam serangan tim, ini (trio) akan menjadi tantangan. Seperti apa nantinya mereka akan masuk ke dalam sistem. Tetapi, jika itu disebut masalah, maka itu adalah masalah yang indah untuk dimiliki. Karena mereka semua pemain yang sangat bertalenta dalam menyerang,” ucap mantan pemain Phoenix Suns tersebut.
Rasa hormat pemain tampaknya akan datang sendiri seiring waktu. Meskipun bukan orang yang aktif berbicara, Nash terbukti bisa memimpin rekan-rekannya selama masih bermain.
Mantan pemain bertubuh kecil itu mendapatkan rasa hormat melalui tindakannya di dalam dan luar lapangan. Selain pekerja keras, Nash juga selalu menjadi pendengar yang baik. Seperti tugas point guard, sebagai pelayan tim, dia bisa mengerti kemauan rekan tim sekaligus pelatih.
Tidak ada yang pernah mendapatkan pekerjaan seperti ini sepanjang sejarah dalam debut sebagai pelatih kepala.
Bukti nyata kepemimpinan Nash dirasakan betul oleh mantan duetnya di Suns, Amar’e Stoudemire. Dia menyampaikan berkali-kali, dirinya tidak akan jadi pemain hebat tanpa sosok Nash di sampingnya.
Kepercayaan itu pula yang membuat Stoudemire mau mendampingi mantan rekannya tersebut sebagai asisten pelatih Nets. Hal serupa dirasakan mantan pelatih Nash, Mike d’Antoni. Pelatih veteran itu rela menurunkan derajat demi menjadi asisten Nash musim ini.
Seharusnya, Nash tidak akan kesulitan mengatasi Durant dan Harden. Dia sudah sangat mengenal Durant sebelumnya, ketika menjabat sebagai konsultan pengembangan pemain di Golden State Warriors.
Sementara itu, peran mengatasi Harden akan diberikan kepada d’Antoni. Mantan pelatih Rockets ini sudah sangat paham keinginan Harden yang menjadi anak asuhnya selama empat musim (2016-2020).
Masalahnya tinggal Irving. Mantan pemain Cleveland Cavaliers ini bisa menjadi duri dalam daging di tubuh Nets. Seperti persoalan absen tiba-tiba, dia bisa membuat kontroversi setiap saat.
Charles Barkley, Hall of Fame NBA, berkata sudah saatnya Irving berubah. “Sudah waktunya dia dewasa. Dia dibayar puluhan juta dollar AS. Harusnya punya standar profesional lebih dibandingkan lain. Sejauh ini yang bisa dilihat darinya hanya sifat tidak profesional. Dia harus berubah. Saya pikir, klub mendatangkan Harden karena tidak percaya pada Kyrie,” ucapnya.
Tim super Nets sangat mungkin menjadikan Nash sebagai salah satu pelatih sukses di NBA. Namun, bukan tidak mungkin, dia akan tersungkur dan melanjutkan rekor sebagai sosok hebat yang tidak pernah memenangi gelar juara liga sejak menjadi pemain. (AP)