Dibatalkannya Liga Basket Indonesia (IBL) pada awal tahun ini menunjukkan masih suramnya kondisi industri olahraga Tanah Air di masa pandemi. Tanpa jalan keluar, daya saing olahraga nasional akan kian tertinggal.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Mimpi segera kembali ke lapangan sudah muncul berkali-kali dalam benak Cassiopeia Manuputty. (26), pebasket West Bandits Solo. Namun, antusiasme setinggi langit itu kini runtuh. Enam hari jelang dimulainya musim baru, Liga Basket Indonesia (IBL) lagi-lagi ditunda.
”(Dengan pembatalan) berarti hampir genap satu tahun kami tidak bertanding. Sebagai pemain, tentunya kami ingin bertanding. Maka itu kami berlatih. Namun, kalau sudah diputuskan pemerintah begitu, kami hanya bisa mendukung,” kata Cio, sapaannya, saat dihubungi Minggu (10/1/2021).
Dua kali sudah guard berbakat itu mencicipi pahitnya pembatalan liga di masa pandemi. Pembatalan pertama terjadi ketika dia masih berseragam Satya Wacana Salatiga, Oktober 2020. Nasib serupa terulang lagi meskipun ia berganti kostum West Bandits.
Sabtu lalu, pengelola IBL mengumumkan penundaan musim baru yang seharusnya dimulai pada 15 Januari di Jakarta. Keputusan itu menambah panjang waktu vakumnya kompetisi, yaitu sejak Maret tahun lalu.
Cio cemburu dengan pebasket di negara lainnya. Negara tetangga, seperti Filipina, mampu menggelar liga basket, PBA, sejak akhir 2020. Mereka beradaptasi dengan pandemi lewat sistem ”gelembung”.
Sebenarnya, sistem serupa juga diterapkan IBL. Bahkan, menurut wasit kawakan Harja Jaladri, kualitas ”gelembung” IBL di atas rata-rata standar Asia. Sistem mereka bahkan lebih kompleks dan ketat dibandingkan kualifikasi Piala Asia FIBA, di Manama, Bahrain, November 2020 lalu.
”Saya bertugas di kualifikasi Piala Asia. Saya juga seharusnya memimpin laga IBL nanti. Jika dibandingkan, kita (IBL) lebih bagus, mulai persiapan hotel dan lapangan di satu kawasan, hingga protokol antisipasi jika ada yang positif. Harusnya sih tidak masalah kalau IBL jalan saat ini,” ujar Harja.
Pembatasan masyarakat
Namun, kenyataan berkata lain. Berbeda dengan Filipina, Pemerintah Indonesia, yang sebelumnya mengizinkan, meminta liga ditunda. Penundaan itu terkait pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) di Pulau Jawa dan Bali mulai Senin (11/1/2021) ini.
Padahal, Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah telah menjelaskan berulang kali bahwa sistem ”gelembung” tidak akan berpengaruh pada kasus Covid-19. Penyebaran virus korona baru bisa ditangkal karena penyelenggaraan IBL tertutup untuk umum dan diterapkannya karantina lokal.
Terus gagalnya diputar kompetisi bisa membuat FIBA berubah pikiran terkait penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah (Piala Asia). Indonesia bisa dianggap tidak mampu menyelenggarakan kompetisi besar semasa pandemi.
Protokol ketat ini telah dijaga IBL hingga sebelum pembatalan. Pihak liga bahkan baru saja melakukan tes usap pada ratusan staf di dalam ”gelembung”. Para pemain dan ofisial klub juga melakukan tes serupa,. Mereka akan dites tiga kali beruntun sebagai syarat masuk ke ”gelembung”.
Jika pusat perbelanjaan yang mendatangkan publik tanpa tes diizinkan beroperasi, seharusnya IBL bukan ancaman besar. Apalagi, keduanya sama-sama bertujuan memutar kembali roda industri sekaligus ekonomi nasional.
Filipina menjadi bukti nyata sistem ”gelembung” efektif dilakukan di tengah pandemi. Mereka memulai liga di tengah peningkatan kasus Covid-19, September – Desember lalu. Rata-rata kasus positif per satu juta penduduk mereka bahkan sempat di atas Indonesia.
Meski begitu, Pemerintah Filipina berani beradaptasi dengan keadaan. Hasilnya, kompetisi mereka selesai tanpa dampak ke peningkatan kasus Covid-19. Liga, yang menjadi pemutar industri dan prestasi olahraga, bisa berjalan lagi.
”Harus adaptasi. Jika tidak, kita yang ditelan Covid-19. Mau tunggu sampai kapan? Sudah terlalu lama. Negara-negara lain bisa melakukan meskipun kasus tinggi karena model (gelembung) itu berbeda. Kita perlu mulai bergerak,” kata Fictor Roring, Manajer Umum Pelita Jaya Bakrie.
Pengelola IBL berencana menjadwalkan ulang kompetisi pada Maret 2021. Rencana itu akan bernasib sama andai pemerintah tetap tidak mencoba beradaptasi. Jangan sampai liga batal ketiga kalinya.
Jika batal, beberapa klub sudah membuka wacana membubarkan skuad. Hal itu akan menjadi malapetaka bagi banyak orang di basket. Ribuan orang bisa kehilangan pekerjaannya.
Nasib Piala Asia
Tak hanya itu, nasib Indonesia sebagai tuan rumah Piala Asia pada Agustus 2021 pun menggantung. Ketua Umum PP Perbasi Danny Kosasih menyampaikan, masalah terus gagalnya diputar kompetisi bisa membuat FIBA berubah pikiran terkait penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia bisa dianggap tidak mampu menyelenggarakan kompetisi besar semasa pandemi.
Sebagai kompetisi besar yang semestinya dimulai awal tahun ini, IBL dianggap cahaya harapan bagi industri olahraga nasional. Akan tetapi, munculnya jalan buntu yang dihadapi mereka menandakan kegelapan masih akan menghantui industri itu. Perlu jalan keluar mengatasi masalah ini.