Jebakan Instan Naturalisasi Pemain
Naturalisasi bagaikan dua sisi mata uang di olahraga. Di satu sisi bisa membawa prestasi instan, tetapi di lain pihak bisa menghambat pembinaan pemain nasional. Butuh jalan tengah untuk mengatasi buah simalakama ini.
Setelah meresmikan dua pebasket naturalisasi, Lester Prosper dan Brandon Jawato, tim nasional basket Indonesia masih belum puas. Kedua pemain itu hanyalah langkah awal dalam rencana besar Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) menaturalisasi pemain dari kompetisi termasyhur Amerika Serikat, NBA.
Impian besar tersebut akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Ketua Umum PP Perbasi Danny Kosasih menegaskan, timnas butuh pemain NBA untuk mencapai target lolos ke Piala Dunia FIBA 2023.
Meski menjadi tuan rumah, Indonesia tidak otomatis lolos ke Piala Dunia basket itu. FIBA mensyaratkan, timnas setidaknya harus menembus babak delapan besar di Piala Asia FIBA 2021 yang juga akan diselenggarakan di Indonesia. Misi mahaberat itu kini ada di depan mata.
Naturalisasi pun menjadi jalan paling realistis terkait misi itu. Nyaris tidak mungkin bersaing di tingkat Asia tanpa bantuan pemain berkualitas dunia. Kualitas pemain nasional kini masih tertinggal jauh dibandingkan para raksasa Asia.
Baca juga: Berharap pada Wajah Baru Timnas Basket
Hampir seluruh tim Asia sudah memiliki pemain naturalisasi berkualitas. Negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina, bahkan Korea Selatan, memakai jasa pemain kelahiran Amerika Serikat. Mereka memanfaatkan regulasi Federasi Bola Basket Dunia (FIBA) yang mengizinkan satu pemain naturalisasi di setiap tim.
Bagi timnas, naturalisasi bisa dimaklumi. Seperti kebanyakan negara Asia lain, mendatangkan pemain keturunan Amerika-Afrika, yang punya tubuh tinggi dan atletis, bisa menyelesaikan masalah klasik, yaitu postur genetik. Keunggulan fisik adalah bawaan lahir, tidak bisa dilatih.
Pebasket dengan keunggulan fisik bisa membuat Indonesia lebih kompetitif. Tinggi badan masih menjadi faktor terpenting di basket. Teori itu, seperti dikatakan ikon basket nasional, Ocky Tamtelahitu, tidak akan berubah selama keranjang basket masih ada di atas kepala.
Naturalisasi memakan biaya ekstra besar dan hanya berguna dalam periode singkat. Biaya menggunakan jasa pemain NBA tidak berpengalaman saja, misalnya, mencapai 1 juta dollar AS (Rp 14 miliar) hanya untuk satu kompetisi.
Maka itu, wajar timnas terus mencari pemain terbaik, termasuk dari NBA, untuk mengisi kekosongan dari sisi fisik, sekaligus teknik dan pengalaman. Prosper dan Jawato, yang resmi menjadi WNI pada November lalu, dapat meningkatkan kualitas permainan timnas.
Hal itu langsung mereka buktikan saat memimpin Indonesia melumat Thailand, 90-76, dalam kualifikasi Piala Asia FIBA 2021 di Bahrain, akhir November lalu.
Baca juga: Pengaruh Instan Duo Naturalisasi
Naturalisasi kini seolah menjadi keniscayaan bagi tim-tim basket di Asia. Prosesnya yang mudah dan cepat bisa menjadi jalan pintas untuk meraih prestasi. Meski begitu, program instan ini tidaklah ideal dijadikan fokus utama dalam upaya peningkatan prestasi jangka panjang.
Biaya mahal
Naturalisasi memakan biaya ekstra besar dan hanya berguna dalam periode singkat. Biaya menggunakan jasa pemain NBA tidak berpengalaman saja, misalnya, mencapai 1 juta dollar AS (Rp 14 miliar) hanya untuk satu kompetisi. Uang sebesar itu tentunya akan sangat berguna dan berdampak besar jika dipakai untuk pembinaan pemain lokal.
Indonesia patut berkaca dari realitas puncak persaingan basket di Asia. Tim paling dominan di Asia saat ini, yaitu China dan Iran, justru tidak memakai satu pun pemain naturalisasi. Mereka mengutamakan pembinaan pemain lokal sebagai fondasi prestasi berkesinambungan.
Padahal, dua dekade lalu, Iran kesulitan bersaing di Asia. Namun, di Piala Dunia FIBA 2019, mereka menjadi tim berperingkat tertinggi di Asia, melampaui negara seperti Filipina yang mengandalkan pemain naturalisasi dan keturunan.
Prestasi konsisten itu datang lewat proses ribuan malam. Iran mencari bakat-bakat pebasket muda sampai ke akarnya. Lalu, bakat mereka ditempa dalam kompetisi berjenjang, mulai dari U-16 dan U-18, hingga ke tingkat profesional. Liga domestik mereka memiliki tiga divisi yang diisi banyak pemain dan pelatih internasional.
Proses pembinaan tersebut butuh waktu dan tenaga ekstra. Iran, yang mulai bangkit dengan pemain muda pada awal 2000-an, baru bisa merajai Piala Asia FIBA pada 2007. Namun, kesabaran serta komitmen kuat akan pembinaan pemain membuat prestasi mereka terus stabil hingga saat ini.
Berkaca dari Iran, Indonesia seharusnya tidak melupakan pembinaan. Naturalisasi selalu membawa kekhawatiran terbengkalainya proses pembinaan. Kekhawatiran itu pun mulai nampak nyata di Tanah Air.
Baca juga: Babak Baru Problem Pebasket Naturalisasi
Ketika Perbasi sibuk dengan naturalisasi, alarm penanda krisis pembinaan pemain lokal telah berbunyi. Belakangan ini, regenerasi pebasket nasional jauh melambat dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.
Fictor Roring, mantan pemain dan pelatih timnas basket, menyebut Indonesia kekurangan pemain besar berkualitas. Adapun Ferri Jufry, figur senior basket nasional, menilai pemain point guard dengan level nasional kini kian sulit dicari.
Dengan tuntutan tinggi di Piala Dunia, langkah meniru Iran mungkin nyaris mustahil diterapkan saat ini. Langkah terdekat yang paling tepat adalah mengambil jalan tengah seperti yang dilakukan Jepang. ”Negeri Sakura” itu bisa mengoptimalkan naturalisasi dan pembinaan pemain secara simultan.
Pada Piala Dunia lalu, Jepang menggunakan jasa naturalisasi mantan pebasket NBA berusia 35 tahun, Nick Fazekas. Pemain kelahiran AS itu dihadirkan bukan sebagai ”motor” utama tim, melainkan untuk berbagi pengalaman dan melengkapi skuad muda tim tersebut.
Belajar dari Jepang
Jepang punya Rui Hachimura, pebasket muda yang tengah naik daun di NBA bersama Washington Wizards. Pebasket berdarah Jepang-Benin dengan tubuh tinggi dan atletis itu merupakan buah nyata upaya pencarian bakat dan pembinaan pemain basket di negara tersebut.
Dengan mengombinasikan naturalisasi dan pembinaan, Jepang seakan punya lebih dari satu pemain naturalisasi. Fazekas murni berasal dari naturalisasi, sedangkan Hachimura hasil pembinaan yang memaksimalkan pemain keturunan.
Di saat sama, pembinaan di negara itu juga melahirkan pemain berkualitas yang merupakan asli kelahiran Jepang, seperti Yuta Watanabe. Small forward berusia 26 tahun itu berkarier di NBA dan kini tengah membela Toronto Raptors.
Indonesia bisa meniru cara serupa. Timnas juga punya pemain berdarah campuran Indonesia-Kamerun, Derrick Michael Xzaviero (17), yang memiliki tubuh atletis setinggi 2,01 meter. Perbasi tinggal mengembangkan bakatnya sambil mencari pemain keturunan lainnya untuk dibina.
Timnas beruntung karena ditangani pelatih berpengalaman, Rajko Toroman. Pelatih asal Serbia ini sudah terlibat dalam pengembangan basket di beberapa negara Asia, termasuk Iran, pada akhir 2000-an. Maka, keberadaan Toroman harus dimanfaatkan sebanyak mungkin dalam upaya memaksimalkan pembinaan pemain.
Baca juga : Timnas Elite Muda Hidupkan Asa Regenerasi
Salah satu program Toroman yang perlu dijaga adalah mencari pemain U-23 untuk timnas muda. Jika bisa diberikan jam terbang di dalam dan luar negeri, para pebasket muda bisa menjadi fondasi awal timnas di Piala Dunia mendatang.
Hal terpenting sekaligus tersulit adalah perlunya perubahan radikal dalam kompetisi di Tanah Air, mulai dari level amatir di sekolah hingga ke profesional. Kompetisi lokal jauh dari ideal karena lebih banyak liburnya ketimbang berlaga dalam setahun. Hal itu tidak ideal dalam upaya pemantauan dan pengembangan bakat pemain. Kompetisi berkualitas bisa jadi wadah alami pembinaan.
Banyaknya hal yang perlu diubah pasti menguras tenaga. Namun, jika dimulai dari saat ini, Indonesia setidaknya punya pijakan awal untuk melompat lebih tinggi ke depannya.
Sebaliknya, jika naturalisasi tidaklah diimbangi pembinaan, prestasi di Piala Dunia nantinya hanya akan menjadi euforia semalam. Selanjutnya, basket Tanah Air akan terjatuh keras ke lubang realitas pahit akibat tidak adanya fondasi berupa ekosistem yang mampu menunjang prestasi.