Gema Kemanusiaan dari Lintasan F1
Pandemi Covid-19 mengubah banyak aspek F1, kecuali dominasi Mercedes dan Lewis Hamilton. Namun, di tengah musim temaram ini, F1 justru mampu menembus batas-batas olahraga, seiring suara Hamilton menggemakan kemanusiaan.
Suara sumbang mengiringi rombongan ”sirkus” Formula 1 menuju Melbourne, Australia, menjelang seri pembuka musim 2020 pada pekan kedua Maret lalu. Kritik semakin keras menyusul keputusan Organisasi Kesehatan Dunia menjadikan wabah Covid-19 menjadi pandemi pada 11 Maret. Sehari setelah itu, dalam konferensi pers pebalap, Lewis Hamilton menyatakan terkejut ”Sirkus Formula 1” bisa berada di Melbourne untuk balapan.
Pebalap tim Mercedes itu heran karena ajang olahraga besar lain, seperti NBA, telah memutuskan menunda musim kompetisi 2020. Nilai bisnis yang sangat besar ditengarai menjadi pertimbangan kuat tetap menggelar F1 di awal pandemi itu. Formula 1 memiliki tiga komponen utama pendapatan, yaitu biaya menjadi tuan rumah (hosting fee), hak siar, dan sponsor. Pada musim 2019, hak siar memberikan pendapatan terbesar dengan 762,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 11 triliun, sedangkan tuan rumah mendapatkan 602,1 juta dollar AS (sekitar 9 triliun) menjadi sumber pendapatan kedua terbesar.
”Uang adalah raja,” sindir Hamilton saat itu.
Suara Hamilton itu seperti katalis yang menguatkan tekanan pada pengelola Formula 1 untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan, yaitu kesehatan publik. Situasi semakin sulit ketika McLaren memutuskan mundur dari balapan seri pembuka itu karena ada anggota stafnya yang positif Covid-19. F1 pun membatalkan seri Australia dan menunda seri-seri berikutnya.
Balapan perdana F1 musim 2020 akhirnya bergulir di Red Bull Ring, Austria, pada 5 Juli. Ini buah kerja keras untuk negosiasi dengan pemerintah, pengelola sirkuit, serta sistem internal untuk mencegah penyebaran Covid-19. Balapan awalnya hanya delapan seri di Eropa, tetapi kemudian berkembang menjadi 17 seri, termasuk tiga balapan akhir di Asia, yaitu dua seri di Bahrain dan seri penutup di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Namun, makna lebih besar dari F1 sebagai entitas olahraga justru terjadi sebelum musim 2020 bergulir. Momen itu datang seiring ketidakadilan rasial yang menewaskan warga Minneapolis, Amerika Serikat, akibat tindakan miskin nurani dari oknum polisi setempat. Protes antirasisme meledak hingga menggema ke dalam keluarga Formula 1.
Keresahan Hamilton
Hamilton menangkap momen itu untuk menyuarakan lebih lantang keresahannya pada isu kemanusiaan dan kesetaraan rasial itu. Dia sudah lama menyuarakan pentingnya F1 menjadi lebih terbuka pada semua orang dari beragam latar belakang untuk terlibat. ”Ketika pertama kali di Formula 1, saya berusaha mengabaikan fakta bahwa saya adalah orang berkulit hitam pertama yang pernah membalap di olahraga ini,” ungkap Hamilton di laman personalnya.
Baca juga: Hamilton Katalisator Anti-rasisme di F1
”Namun, seiring bertambah usia, saya mulai benar-benar menyadari dampaknya. Ini perasaan yang sangat menyenangkan menjadi orang yang merobohkan tembok penghalang, seperti yang dilakukan Williams bersaudara dalam tenis atau Tiger Woods dalam golf,” lanjut pebalap asal Inggris itu.
”Sekarang saya mendapati anak-anak dari berbagai budaya dan kebangsaan mendatangi saya, semua ingin menjadi pebalap F1. Mereka merasa olahraga ini terbuka bagi semua orang,” tegas Hamilton.
Hamilton yang meniti karier Formula 1 berkat perjuangan keras mengasah talenta—bukan karena orangtuanya berlimpah harta—memiliki mimpi baru menjadikan F1 ”lebih warna-warni”. Dia merasa, selama bertahun-tahun kesetaraan kesempatan terlibat dalam keluarga F1 masih sangat kecil. ”Saya pernah melihat foto-foto seluruh tim, mereka melakukan foto tim di depan garasi atau trek, dan mereka mengirim seluruh foto itu dan saya merasa seperti tidak ada orang kulit berwarna di salah satu tim-tim itu,” ungkap Hamilton di akhir musim 2019.
Dia kembali menyuarakan isu kesetaraan itu seriring gerakan ”Black Lives Matter”, dan menginspirasi pebalap lain yang semula diam untuk bersuara. Bahkan, timnya, Mercedes, mengubah desain livery mobil dari semula berwarna perak menjadi hitam. Musim 2020, mobil W11 pun dijuluk ”Panah Hitam” menggantikan julukan semula ”Panah Perak”. Formula 1 juga memasukkan sesi mengheningkan cipta di awal balapan untuk mendukung gerakan kesetaraan ras.
Gema dari suara lantang Hamilton pun membuat Formula 1 dan FIA menyiapkan yayasan untuk mendanai program magang dan beasiswa guna meningkatkan keragaman dalam olahraga balap itu. F1 dan FIA akan mengawali dengan rencana mempromosikan pebalap dari berbagai latar belakang, seperti dalam pernyataan mereka, ”mengidentifikasi dan secara sistematis menghilangkan penghalang untuk masuk dari level akar rumput gokar ke Formula 1.”
Agen perubahan
Menjadi agen perubahan dan meninggalkan warisan keberagaman itulah yang kini lebih memotivasi Hamilton dibandingkan dengan mengejar rekor-rekor F1. Musim ini dia telah membuktikan dirinya sebagai salah satu pebalap terbaik F1 sepanjang masa. Dia telah mengantar Mercedes meraih rekor tujuh gelar juara konstruktor beruntun.
Dia juga menyamai rekor kemenangan terbanyak milik Michael Schumacher, 91 balapan, dan kemudian melampauinya dengan rekor baru, 95 kemenangan. Pebalap berusia 35 tahun itu juga menyamai rekor juara terbanyak milik Schumacher dengan meraih gelar ketujuh saat finis terdepan dalam balapan epik di Istanbul Park, Turki. Sesaat setelah melintasi garis finis, yang diucapkan oleh Hamilton justru berdimensi universal jauh melampaui olahraga. ”Itu untuk seluruh anak-anak yang percaya pada kemustahilan. Kita bisa melakukan itu,” tegas Hamilton.
Ketika saya masih anak-anak, saya menyaksikan Grand Prix dan memimpikan ini. Ini sangat penting bagi anak-anak di luar sana untuk melihat ini dan mengetahui bahwa jangan dengarkan orang yang mengatakan bahwa kalian tidak bisa meraih sesuatu. Mimpikan sesuatu yang mustahil.
”Ketika saya masih anak-anak, saya menyaksikan Grand Prix dan memimpikan ini. Ini sangat penting bagi anak-anak di luar sana untuk melihat ini dan mengetahui bahwa jangan dengarkan orang yang mengatakan bahwa kalian tidak bisa meraih sesuatu. Mimpikan sesuatu yang mustahil. Tunjukan bahwa itu ada. Kalian perlu berusaha untuk meraih itu, kalian jangan pernah menyerah, jangan pernah meragukan diri sendiri,” tegas Hamilton yang meniti kariernya dengan banyak pengorbanan dan kerja ekstra keras.
Balapan seri Turki itu juga menegaskan bahwa Hamilton mendominasi F1 bukan hanya karena memacu mobil terkuat pada era mesin turbo hibrida. Dia memiliki faktor lain di luar mesin Mercedes yang cepat dan andal. Teknik mengemudinya jelas di atas para pebalap saingannya, kecerdasannya memudahkan dirinya menemukan klik adaptasi dengan perubahan sirkuit, cuaca, serta aspek teknis, seperti ban.
Namun, semua potensi alaminya itu juga membutuhkan dukungan fisik yang sangat kuat. Pada akhir musim 2019, dia menyatakan harus bersiap menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih muda. Bagi pebalap senior seperti dirinya, faktor yang bisa melemahkan adalah fisik dan rasa puas diri. Dua faktor itu masih bisa dijaga oleh Hamilton, bahkan saat jeda balapan empat bulan akibat pandemi, dia mengisinya dengan melatih otot-otot halus yang selama ini jarang diolah.
Kebugaran fisik menyempurnakan bakat alami dalam dirinya untuk terus mendominasi F1. Saat dirinya tidak bugar, seperti setelah pulih dari Covid-19 pada seri pamungkas di Abu Dhabi, dia kalah dari pebalap muda Red Bull, Max Verstappen, yang finis terdepan. Tantangan di lintasan balap akan terus meningkat, tetapi sebenarnya bukan itu tantangan sejati Hamilton karena misinya saat ini adalah meninggalkan warisan berdimensi kemanusiaan.
”Berkompetisi dan memenangi kejuaraan adalah sesuatu yang sangat penting, tetapi apa sebenarnya makna dari itu? Itu tidak bermakna apa-apa kecuali Anda bisa membantu mendorong perubahan. Saya tidak bisa tetap diam selama ini. Saya memutuskan bahwa saya harus menggunakan panggung ini. Ada sangat banyak orang di luar sana yang kesulitan dan begitu banyak orang yang mengalami apa yang pernah saya alami, bahkan lebih buruk,” ujar Hamilton mengacu pada rasisme yang dia alami saat masih muda dan ketika menjadi pebalap profesional seperti dikutip The Guardian.
Hamilton kini menjadi referensi bagi gerakan perubahan itu, sekaligus menjadi sosok untuk dikalahkan di lintasan balap. Dia terus menaikkan standar pebalap Formula 1 yang menjadi tantangan besar bagi para pebalap muda pada masa depan. Keberadaan Hamilton di lintasan F1 menyisakan ruang tipis bagi pebalap lain untuk finis terdepan.
Musim ini dirinya telah memenangi 11 dari 17 balapan. Pada enam seri lainnya, Hamilton empat kali gagal finis terdepan karena dijatuhi penalti di Austria, Italia, dan Rusia, serta kesalahan strategi pemilihan ban pada seri ulang tahun ke-70 F1 di Silverstone, Inggris. Satu balapan dia tidak start karena menjalani karantina mandiri Covid-19 pada seri Sakhir, dan kendala fisik yang belum bugar pada seri penutup di Abu Dhabi.
Persaingan menarik
Di tengah musim pandemi yang muram ini, Hamilton tetap bersinar dan menempatkan para pesaingnya dalam bayang-bayang dirinya. Rekan setimnya, Valtteri Bottas, belum bisa menghentikan dominasinya, demikian juga pebalap muda Red Bull, Max Verstappen. Selama Hamilton masih bersama Mercedes, gelar juara musim 2021 tidak akan jauh dari mereka.
Pebalap McLaren, Carlos Sainz Junior, pun mengakui bahwa Hamilton akan tetap sulit dikalahkan meskipun pebalap yang berkompetisi di Formula 1 saat ini juga memacu Mercedes W11. ”Sembilan puluh persen (pembalap saat ini) tidak akan bisa mengalahkan Hamilton di Mercedes,” ujar pebalap Spanyol yang musim depan membela Ferrari itu.
”Tetapi, jika Anda mengeluarkan Hamilton dari barisan, setiap pebalap di F1 musim ini akan menang dengan Mercedes,” tegas Sainz seusai seri Turki.
Sainz merupakan salah satu pebalap muda berpotensi bisa mengembalikan kejayaan Ferrari, paling tidak mulai musim 2022 saat F1 menerapkan aturan baru. Sainz, yang musim ini tampil meyakinkan bersama McLaren hingga mengantar tim Inggris itu ke posisi tiga konstruktor, akan berjuang keras di Ferrari musim depan. Tim ”Kuda Jingkrak” itu masih akan kesulitan bersaing dengan Mercedes dan Red Bull, mengingat mobil musim 2020 mereka SF1000 tertinggal satu langkah dari W11 dan RB16.
SF1000 sangat tidak kompetitif dan itu dikeluhkan oleh Charles Leclerc dan Sebastian Vettel. Leclerc masih akan memacu versi perbaikan SF1000 yang dinamai SF21 pada musim depan, sedangkan Vettel pindah ke Alfa Romeo (musim 2020 bernama Racing Point). Meskipun Ferrari mengalami musim yang kelam, kedua pebalapnya hanya tiga kali naik podium, dan mereka finis keenam di klasemen konstruktor, Leclerc mengaku ini musim terbaiknya.
”Saya pikir ada dua sisi dari musim ini. Bagi diri saya, saya pikir ini musim terbaik saya secara pribadi di F1. Apa yang saya tunjukan di lintasan, saya sangat senang dengan musim saya. Saya mengambil risiko, yang sebagian besar berlangsung positif dan membuat kami meraih banyak poin. Pada beberapa kesempatan itu tidak berjalan seperti yang saya inginkan dan kami kehilangan beberapa poin,” ujar Leclerc.
Kemampuan Leclerc membalap memang tersamar oleh performa SF1000 yang anjlok dibandingkan dengan SF90. Namun, dua kali podium dan persaingannya di papan tengah menunjukkan dirinya bukan pebalap sembarangan. Saat dia mendapat mobil yang kompetitif, performanya akan jauh berbeda daripada musim 2020.
Hal yang sama berlaku pada George Russell yang jarang terekspose karena sulit bersaing dengan mobil paling tidak kompetitif Williams FW43. Namun, saat mendapat kesempatan memacu Mercedes W11 saat menggantikan Hamilton di seri Sakhir, Russell menjadi pebalap yang sangat dominan. Dia memimpin sebagian besar balapan, dan nyaris meraih kemenangan, jika tidak terjadi kekacauan pit stop dan pecah ban.
Para pebalap muda F1 seperti Leclerc dan Russell terus berdatangan. Musim depan akan ada dua pebalap muda yang menjalani musim debut, yaitu Mick Schumacher dan Nikita Mazepin di tim Haas, serta Yuki Tzunoda di AlphaTauri. Mereka akan ikut bersaing bersama pebalap veteran Fernando Alonso yang kembali membela Renault.
Sejumlah pebalap lama juga berpindah tim, seperti Vettel ke Alfa Romeo, Sainz ke Ferrari, Ricciardo ke McLaren, dan Sergio Perez ke Red Bull. Perubahan formasi pebalap ini akan membuat persaingan lebih menarik karena tekanan ke Mercedes berpotensi lebih besar. Kehadiran Perez sebagai rekan setim Verstappen berpotensi membuat perebutan podium lebih ketat.
Tingkat persaingan itu juga akan dipengaruhi oleh pembekuan pengembangan komponen utama mobil, serta perubahan lantai bagian belakang mobil. Area perubahan lantai mobil itu membuat ruang penyetelan aliran udara untuk meningkatkan downforce menjadi sangat terbatas. Kondisi ini bisa memangkas selisih performa antartim, terutama dengan Mercedes. Bahkan, Kepala Tim Mercedes Toto Wolff menegaskan, akan sulit mendapatkan mobil yang lebih kencang musim depan dengan adanya pemangkasan area lantai mobil itu.
Musim depan balapan direncanakan berlangsung 23 seri di Eropa, Amerika, dan Asia. Ini jadwal yang dinilai sangat optimistis mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir. Bahkan, di sejumlah negara ada ancaman gelombang kedua pandemi. Namun, F1 bisa optimistis karena mereka mampu menerapkan sistem pencegahan penyebaran virus SARS-CoV-19 dengan efektif pada musim 2020.
Protokol kesehatan masih akan menjadi fokus pada musim depan dan semua pebalap akan lebih waspada. Kasus positif Covid-19 yang dialami oleh Perez dan Hamilton menjadi alarm karena pebalap harus absen dari seri balapan untuk menjalani karantina mandiri. Absen dari balapan akan meredupkan peluang juara.