Lanskap sepak bola Eropa berubah drastis akibat pandemi. Jadwal yang lebih padat membuat klub-klub besar kewalahan dan memicu persaingan yang lebih terbuka.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tahun ini memunculkan fenonema baru di peta persaingan kompetisi domestik Eropa. Klub-klub yang pada musim-musim sebelumnya tampil dominan kini mulai terbiasa kehilangan poin, sedangkan mereka yang selama ini tenggelam mulai bermunculan di papan atas klasemen sementara.
Persaingan yang lebih terbuka pada musim ini lalu menimbulkan pertanyaan besar: apakah dominasi yang dipertontonkan klub seperti Juventus, Bayern Muenchen, dan Paris Saint-Germain di liga domestik akan berakhir? Tanpa terputus, Juventus mendominasi Liga Italia sejak 2011-2012, Bayern menguasai Liga Jerman sejak 2012-2013, dan PSG menjuarai Liga Perancis sejak 2017-2018.
Musim 2020-2021 belum sampai separuh jalan dan pertanyaan tersebut masih sulit dijawab. Namun, tanda-tanda untuk menuju ke arah sana mulai terlihat. Di Liga Italia, AC Milan bangkit setelah hampir satu dekade kesulitan menembus papan atas klasemen Serie A, bahkan untuk sekadar mendapatkan tiket ke Liga Champions, atau menembus peringkat empat besar.
Tim ”Rossoneri” sukses melewati 12 laga pertama musim ini tanpa kekalahan sehingga memiliki pijakan kokoh di puncak klasemen Serie A. Mereka ditempel ketat tim tetangga, Inter Milan, yang kini bisa lebih fokus mengincar scudetto setelah tersingkir dari ajang Liga Champions. Dua klub Milan yang beberapa musim lalu terpuruk sudah mulai berani dan siap membidik target yang lebih besar musim ini.
Bahkan, klub seperti Sassuolo sempat menduduki peringkat kedua klasemen selama empat pekan sebelum akhirnya sedikit kelelahan dan melorot keluar peringkat empat besar setelah menjalani 10 laga. Baru menelan satu kekalahan dari 11 laga tetap membuat Sassuolo tetap perlu diwaspadai tim-tim yang lebih besar.
Sementara itu, Juventus tidak bisa lagi menguasai puncak klasemen sejak awal musim. Di luar faktor pandemi, ”Si Nyonya Besar” merasakan dampak dari pergantian pelatih yang begitu cepat. Ketika belum benar-benar menyatu dengan gaya permainan pelatih Maurizio Sarri, para pemain kini harus beradaptasi lagi dengan pelatih baru dan eks playmaker Juventus, Andrea Pirlo.
Meski demikian, Si Nyonya Besar masih punya potensi untuk meraih gelar juara Serie A beruntun yang ke-10 musim ini. Mereka belum terkalahkan hingga pekan ke-11, tetapi tidak juga maksimal meraup poin karena kerap mendapat hasil imbang. ”Kami terlalu sering mendapat hasil imbang. Kami adalah Juventus, yang seharusnya bermain untuk menang,” gerutu kiper Juventus, Wojciech Szczesny, seperti dikutip Football-Italia.
Bayern mengalami hal yang sama pada musim ini setelah kehilangan banyak poin dari laga-laga yang berakhir imbang. Mereka mendapat tiga hasil imbang hingga pekan ke-12, sedangkan sepanjang musim lalu mereka hanya bermain imbang empat kali. Bayern pun harus merelakan puncak klasemen Liga Jerman untuk sementara ini dihuni Bayer Leverkusen yang belum terkalahkan hingga pekan ke-12.
Borussia Dortmund yang musim lalu menjadi runner-up, kini juga kehilangan kekuatannya dan masih kesulitan untuk menembus peringkat tiga besar. Bahkan, manajemen klub sampai harus memecat Pelatih Lucien Favre.
Di Liga Perancis, PSG sudah menelan empat kekalahan hingga pekan ke-15 dan berjuang keras merebut posisi puncak yang dikuasai Lille. Musim ini terasa jauh lebih sulit bagi ”Les Parisiens” dibandingkan dengan musim lalu ketika mereka bisa menguasai puncak klasemen setelah menjalani empat laga pertama.
Kami terlalu sering mendapat hasil imbang. Kami adalah Juventus, yang seharusnya bermain untuk menang.
PSG mulai merasakan adanya ”kompetisi” di Liga Perancis, tidak seperti yang pernah dikatakan eks pemain PSG yang kini bermain untuk AS Roma, Javier Pastore. ”PSG selalu menjadi tim superior di Liga Perancis selama bertahun-tahun. Dalam beberapa laga, PSG sudah bisa memenangi laga pada babak pertama,” kata Pastore seperti dikutip Libero.
Kisah yang sama juga terjadi di Liga Inggris dan Liga Spanyol. Sang juara bertahan Liverpool baru bisa merebut kembali puncak klasemen Liga Inggris pada laga ke-13 dari tangan Tottenham Hotspur, yang belum pernah meraih trofi sejak 2008. Sementara itu, di Liga Spanyol, Real Madrid dan Barcelona masih kesulitan untuk menguasai puncak klasemen yang dihuni oleh Real Sociedad dan Atletico Madrid.
Asal bisa tuntas
Awal dari munculnya fenomena ini bisa dirunut kembali ke pertengahan Maret 2020 ketika kompetisi-kompetisi mulai terhenti akibat pandemi Covid-19. Para pemain harus berdiam diri di dalam rumah, sedangkan manajemen klub bersama pengelola liga sibuk memikirkan bagaimana kompetisi bisa berlanjut lagi dan mendapatkan penghasilan.
Penuntasan kompetisi musim 2019-2020 menjadi target utama karena sebagian besar liga tinggal menyisakan 10-12 laga. Selain itu, peringkat akhir di liga dibutuhkan untuk menentukan tim-tim yang berhak lolos ke kompetisi Liga Champions dan Liga Europa. Para pengelola liga, kecuali pengelola Liga Belanda dan Liga Perancis, lalu berusaha melakukan berbagai cara asal kompetisi bisa tuntas.
Cara terbaik adalah dengan memadatkan jadwal kompetisi agar bisa tuntas sesuai target dan jadwal musim kompetisi 2020-2021 tidak terganggu. Klub bisa menjalani hingga tiga laga dalam sepekan karena masih ada kompetisi domestik lain yang harus dituntaskan. Laga-laga itu pun digelar tanpa penonton sehingga atmosfer sebuah pertandingan tidak terasa.
Akibatnya, lanskap sepak bola Eropa berubah drastis dan para pemain memasuki babak baru ketika sepak bola menjadi sebuah kompetisi yang brutal. Fisik para pemain terkuras habis. Padahal, pemain lebih rentan cedera ketika sedang kelelahan. Klub pun menatap tiga risiko sekaligus, yaitu kehilangan pemain karena kelelahan, cedera, atau tertular Covid-19.
Semakin besar klub, semakin besar pula risiko yang mereka hadapi. Klub-klub besar otomatis dihuni para pemain kelas dunia yang supersibuk. Selain membela klub di kompetisi domestik dan level Eropa, mereka masih harus membela tim nasional masing-masing. Klub besar harus siap kehilangan para pemain bintangnya setiap saat dan itu sudah terjadi.
Pandemi praktis menuntut klub untuk cepat beradaptasi dan tim seperti Leverkusen merupakan salah satu yang telah berhasil melakukannya. Mereka bisa menjadi pesaing Bayern di papan atas Liga Jerman berkat kecerdikan klub mengubah pola latihan dan taktik dasar tim.
”Kami banyak merotasi pemain, bermain lebih intens tetapi terkendali, dan menguasai bola selama mungkin. Intensitas latihan juga dikurangi. Semua itu dilakukan untuk mencegah risiko cedera,” kata Direktur olahraga Bayer Leverkusen Simon Rolfes.
Pada pengujung 2020, belum ada satu pun yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Kemampuan beradaptasi seperti yang dimiliki Leverkusen masih menjadi senjata paling ampuh untuk menghadapi tahun 2021. (AP/REUTERS)