Tahun 2020 adalah "annus horribilis" di bidang olahraga. Banyak kompetisi mati suri, penggemar olahraga pun kehilangan hiburan. Namun, di balik tragedi itu, pandemi mengembalikan jati diri manusia sebagai "Homo Ludens".
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Meminjam istilah yang dipopulerkan kembali oleh Ratu Inggris Elizabeth II, 2020 bisa disebut annus horribilis (tahun yang mengerikan), tidak terkecuali di bidang olahraga. Pandemi Covid-19 melumpuhkan hampir seluruh kompetisi yang menjadi panggung prestasi atlet dan sumber hiburan penonton.
Bahkan sebelum pandemi, dunia olahraga sudah berduka dengan kepergian bintang bola basket Kobe Bryant dan putrinya, Gianna, dalam kecelakan helikopter. Belum sembuh dari luka itu, publik sepak bola global juga kehilangan ikon termasyhurnya, Diego Maradona, akhir November lalu.
Pandemi membuat ungkapan terkenal ”sepak bola lebih dari hidup dan mati” dari legenda klub Liverpool, Bill Shankly (1913-1981), kini terdengar utopis. Tiada yang lebih besar dari urusan hidup-mati, sekalipun atas nama fanatisme olahraga. Pemandangan aneh berupa arena ”hantu” alias tanpa penonton pun menjadi kelaziman baru di olahraga sepanjang 2020.
Tanpa kebijakan larangan penonton, arena olahraga tak ubahnya “bom biologis” di era pandemi. Hal itu ditunjukkan pada laga Atalanta versus Valencia di Milan, Italia, 19 Februari. Para epidemiolog menyebut laga babak 16 besar Liga Champions Eropa itu sebagai ”game zero” atau episentrum awal pandemi Covid-19 di Eropa, khususnya di Italia.
Lebih dari 44.000 pendukung, termasuk sepertiga penduduk Bergamo, hadir di Stadion San Siro menyaksikan laga yang dimenangi Atalanta, 4-1, itu. Warga Bergamo berpelukan dan berciuman merayakan kemenangan bersejarah itu. Inilah kiss of death, istilah yang digunakan Mario Puzo dalam novelnya, The Godfather, tentang kehidupan mafia di Italia.
Ungkapan pelesetan, ”saya berolahraga, maka saya ada”, pun seolah menggantikan paham eksistensialisme, cogito ergo sum, yang dipopulerkan Rene Descartes.
Panggung olahraga memang rawan sebagai sumber penularan virus SARS-CoV-2. Sejumlah atlet tersohor, seperti Cristiano Ronaldo, Neymar Jr, Lewis Hamilton, Novak Djokovic, dan Valentino Rossi, terjangkit Covid-19. Padahal, sehari-hari mereka dibentengi protokol kesehatan yang sangat ketat. Maka, bisa dimaklumi seluruh kompetisi olahraga nasional, seperti Liga 1 Indonesia hingga Liga Basket Nasional (IBL), masih mati suri hingga saat ini.
Pandemi memang telah mengubah wajah olahraga, termasuk menjauhkannya dari elemen yang kerap dianggap “nyawanya”, yaitu penonton. Namun, selalu ada hikmah di balik bencana. Pandemi mendorong banyak orang melihat olahraga dari perspektif berbeda. Mereka tidak lagi sekadar menjadi obyek (penonton), melainkan berbondong-bondong aktif sebagai subyek olahraga.
Beberapa bulan terakhir, linimasa media sosial kita diramaikan foto-foto kolega dan keluarga yang memamerkan aktivitas olahraga pribadi, mulai dari bersepeda, berlari, hingga yoga. Kegiatan yang mendadak populer itu dianggap sebagai ”oase” dari pandemi.Tak heran, jumlah peserta lari virtual Borobudur Marathon 2020 lalu melebihi target, mencapai 9.000 orang.
Ungkapan pelesetan, ”saya berolahraga, maka saya ada”, pun seolah menggantikan paham eksistensialisme, cogito ergo sum, yang dipopulerkan Rene Descartes.
Fenomena baru (tapi lama) inilah yang persis dikemukakan sejarawan dan budayawan asal Belanda, Johan Huizinga. Dalam bukunya, Homo Ludens (1938), Huizinga memandang manusia sebagai mahkluk yang aktif bermain (baca: berolahraga). Insting itu senantiasa mengiringi peradaban manusia dan bertahan melewati masa sulit apa pun, termasuk pandemi pes abad pertengahan dan flu Spanyol pada 1918.
Tidak seperti di era modern ini—saat olahraga dikomersialkan dan lebih dilihat sebagai industri hiburan yang melahirkan pesohor seperti Maradona dan Ronaldo—olahraga pada masa silam dipandang sebagai keseharian, bahkan budaya manusia. Bangsa Yunani kuno misalnya, melihat olahraga sebagai katalis penjaga keseimbangan tubuh dan pikiran. Bahkan, menurut Plato, olahraga adalah kunci edukasi dan memajukan peradaban (Heather L Reid, Athletics and Philosophy in Ancient World, 2011).
Di Jepang, olahraga bela diri melebur dalam keseharian dan dipercaya menjadi pembentuk mental kolektif warga, yaitu kepatuhan sosial, keuletan, keteguhan, dan budaya malu. Karakter yang lahir dari nilai olahraga semacam inilah yang diperlukan setiap insan, tidak terkecuali di Indonesia, untuk bisa bertahan dari cobaan panjang pandemi yang dampaknya agaknya masih terasa hingga akhir tahun depan.
Seiring hal itu, Olimpiade Tokyo 2020, yang tertunda satu tahun dan digelar pada 23 Juli-8 Agustus 2021, akan menjadi mercusuar upaya kebangkitan manusia modern menghadapi pandemi. Sebab, seperti pernah disampaikan atlet ski es peraih medali emas Olimpiade Musim Dingin Turin 2006, Jennifer Heil, olahraga adalah pahlawan tanpa tanda jasa untuk kesehatan mental manusia.