Akhir Kisah "Gelembung" NBA
“Gelembung” NBA yang membawa harapan sekaligus rasa frustasi tidak akan ada lagi musim depan. Semua tim akan kembali menggelar laga di arena masing-masing.
Nasib berbeda dijalani tim raksasa Wilayah Timur NBA, Toronto Raptors. Saat tim-tim lain akan kembali berlaga di markas sendiri musim depan, tim asal Kanada ini justru terpaksa meminjam kandang sementara, di tempat yang berjarak sekitar 2.000 kilometer dari Arena Scotiabank, “rumah” asli mereka.
Mereka pindah sementara dari Arena Scotiabank, Toronto, Kanada ke Arena Amalie, Tampa, Florida. Perpindahan yang kira-kira setara dengan jarak tiga kali lipat perjalanan Jakarta-Surabaya, mesti dijajaki demi mengikuti format NBA musim depan.
Pada musim 2020-2021, NBA memastikan tidak akan kembali ke konsep “gelembung” seperti pada paruh kedua musim lalu. Liga ingin perlahan memulai kompetisi normal, dengan membiarkan tim bermain laga kandang dan tandang seperti biasa.
Baca juga : Jadwal Paruh Perdana NBA 2020-2021 Dipastikan
Dengan kondisi ini, Raptors tidak memungkinkan untuk bermain di Arena Scotiabank. Kanada saat ini masih membatasi perjalanan dari luar negeri, sebagai antisipasi pandemi Covid-19. Karena itu, mereka terpaksa mengungsi sementara ke Florida.
Bagi Nick Nurse, pelatih Raptors, perubahan ini sama sekali tidak mudah. Arena Scotiabank memang hanya bangunan mati. Namun, arena itu mampu memberi kenyamanan dan atmosfer “rumah” yang tidak tergantikan. Suasana itulah yang membawa mereka menjuarai NBA, dua musim lalu.
Pastinya lebih baik daripada melihat lapangan dalam gelembung. Ini membuat kami merasa lebih dekat ke kondisi normal. Kami hanya perlu beradaptasi saja.
Meski begitu, sepahit-pahitnya, Nurse jauh lebih memilih format musim ini dibandingkan kembali ke musim lalu. “Pastinya lebih baik daripada melihat lapangan dalam gelembung. Ini membuat kami merasa lebih dekat ke kondisi normal. Kami hanya perlu beradaptasi saja,” katanya.
Kompetisi juga akan terasa lebih normal karena penonton sudah diperbolehkan hadir di beberapa arena. Markas baru Raptors menjadi salah satu yang akan terbuka bagi penonton dengan antisipasi pembatasan jarak dan penerapan protokol kesehatan. Sekitar 3.800 penonton diizinkan mengisi arena berkapasitas 20.000 kursi.
Datangnya kembali penonton membawa berkah tersendiri bagi klub. Penonton menyumbang nyaris setengah dari pendapatan klub. Tanpa mereka, finansial klub menghadapi kemarau panjang. Terbukti, akibat kondisi musim lalu, NBA sampai harus mensubsidi 30 juta dolar AS (Rp 427 miliar) setiap klub, untuk mengatasi krisis.
Proses ini menandakan industri basket “Negeri Paman Sam” yang segera berangsur pulih. Pendapatan dari penonton belum akan sebesar sebelumnya, tetapi cara ini bisa menjadi titik awal sampai menunggu arena terisi penuh lagi.
Bagi para pemain, kembalinya penonton memberi secercah harapan. Sebagai ruh permainan, para pendukung menyajikan sesuatu yang tidak ada di dalam “gelembung”. Antusias dalam gim akan kembali seperti sediakala.
Jurnalis ESPN Marc J. Spears, sudah menyaksikan beberapa kali pertandingan pramusim dengan ratusan penonton. Menurut dia, atmosfer pertandingan jauh lebih bisa dinikmati dibandingkan hanya dengan pendukung virtual. Penonton dan pemain sama-sama menikmati kondisi baru ini.
Ketakutan baru
Musim depan, jumlah laga musim reguler juga berubah, berkurang dari 82 kali menjadi hanya 72 kali. Pengurangan ini merupakan adaptasi dari penundaan kompetisi musim lalu dan kehadiran ajang Olimpiade Tokyo pada Juli 2021. Dua kondisi itu membuat waktu penyelenggaraan sedikit dipangkas.
Berkurangnya jumlah laga akan berdampak terhadap peningkatan intensitas di setiap laga. Setiap kemenangan akan lebih berarti daripada musim reguler sebelumnya, untuk menentukan perebutan tiket playoff.
Intensitas kompetisi bisa terbang melampaui ekspektasi. Sebab, musim depan liga akan lebih komplit. Banyak megabintang yang tidak tampil karena cedera, sudah bisa kembali meramaikan persaingan.
Di Wilayah Timur, duo megabintang Kevin Durant dan Kyrie Irving untuk pertama kali, setelah kedatangan musim lalu, akan bersama membela Brooklyn Nets. Sementara itu, di Wilayah Barat, raja tembakan tiga angka Stephen Curry sudah pulih total untuk mengantar Golden State Warriors kembali ke jalur juara.
Mereka akan menantang dinasti juara Los Angeles Lakers yang berbenah banyak di pramusim. Selain memperpanjang kontrak LeBron James dan Anthony Davis, Lakers juga mendatangkan pemain pelengkap yang solid seperti Marc Gasol, Dennis Schroder, dan Montrezl Harrel.
Bagaikan dua sisi mata uang, potensi peningkatan intensitas kompetisi ini tidak hanya membawa antusias, tetapi juga ketakutan. Potensi itu tidak diimbangi dengan waktu persiapan pramusim yang cukup. Pandemi memaksa jeda antarmusim NBA menjadi yang paling singkat sepanjang sejarah, hanya 71 hari.
Persiapan singkat bisa menjadi petaka bagi para pemain veteran, khususnya pemain yang melaju jauh pada playoff musim lalu. Dengan situasi tersebut, tidak mengejutkan jika banyak pemain berjatuhan cedera di tengah kompetisi.
Penjara “gelembung”
Namun, ketakutan itu tampaknya sepadan dengan harapan baru yang dijanjikan format baru liga. Apalagi, pemain dan klub berkesempatan meninggalkan beribu pengalaman pahit di “gelembung” Orlando.
“Gelembung” memang membawa harapan dimulainya kembali kompetisi di tengah kemelut pandemi. Namun, seiring perjalanannya, karantina dalam skala besar itu tak ubahnya seperti penjara bagi mayoritas pemain.
Psikologis pebasket terganggu karena dikurung berbulan-bulan di dalam “gelembung”. Mereka berkorban banyak dengan jauh dari kerabat dan keluarga, serta rumah di tengah ancaman pandemi. Pada saat bersamaan, tuntutan besar selalu datang untuk tampil semaksimal mungkin.
Hasilnya, banyak drama yang terjadi. Salah satunya, aksi massal pemboikotan liga akibat terpicu ketidakadilan rasial yang terjadi di luar “gelembung”. Ketidakadilan rasial sudah sering terjadi, tetapi aksi pemain tidak pernah sebesar ini. Kemarahan tersebut memang berawal dari masalah rasial, tetapi ledakan emosi tidak lepas dari rasa frustrasi mereka.
Tak heran, “Sang Raja” James, menyebut gelar juara musim lalu adalah yang tersulit sepanjang kariernya. Kemenangan tim diraih bukan hanya berdasarkan kemampuan teknis, tetapi juga ketenangan mengatasi gangguan psikologis.
“Gelembung” memang menyulitkan. Meski begitu, penyelenggaraan darurat itu menjadi batu loncatan bagi liga mencapai tahap selanjutnya. Proses itu yang membuat NBA tidak vakum musim lalu dan bisa mengembangkan format musim depan.
Di balik akhir kisah “gelembung” maupun awal cerita format baru, NBA membuktikan satu hal. Ada beribu cara yang bisa dilakukan untuk menggeliatkan lagi industri di tengah kepungan pandemi. Kuncinya, usaha dan kreativitas. (AP/REUTERS)