NBA sedang mencari wajah baru liga untuk dekade ini. Dengan LeBron James yang mendekati pensiun, NBA mulai mengorbitkan bintang muda asal Slovenia yang bermain di Dallas Mavericks, Luka Doncic.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
NBA selalu punya pemain yang menjadi wajah liga dalam setiap dekade. Mulai dari rivalitas Larry Bird dan Magic Johnson pada 1980-an, Michael Jordan pada 1990-an, mendiang Kobe Byrant pada dekade 2000-an, serta LeBron James pada 2010-an. Kini, NBA mulai bergerak mengorbitkan wajah baru karena James sudah dekat pengujung karier.
Usaha liga mengorbitkan wajah baru terlihat jelas dalam penentuan jadwal di pekan pembuka. Di antara nama-nama tim raksasa, terdapat tim medioker Dallas Mavericks. Mereka mendapatkan dua slot istimewa untuk tayang di televisi pada pekan pertama, laga pembuka (23 Desember 2020) dan edisi Natal (25 Desember 2020).
Perlakuan spesial itu pun menghadirkan spekulasi. Banyak yang menilai NBA ingin mengorbitkan bintang muda Mavericks, Luka Doncic.
”Mavericks terlibat dalam dua tayangan televisi nasional di pekan pertama adalah bukti, status Doncic sedang dikembangkan menjadi wajah liga selanjutnya,” kata jurnalis ESPN, Tim MacMahon.
Istimewanya lagi, Mavericks akan menghadapi juara bertahan Los Angeles Lakers pada malam Natal. Dalam malam dengan penonton terbanyak musim reguler itu, Doncic akan bertemu langsung dengan James, yang menjadi wajah NBA saat ini.
Duel ini seakan menyiratkan pemberian tongkat estafet dari James ke Doncic. Momen tersebut sangat tepat, James sudah mendekati pensiun dengan usia yang genap 36 tahun pada 30 Desember 2020. Sementara itu, Doncic yang baru berusia 21 tahun sangat potensial menjadi muka terdepan liga, setidaknya satu dekade ke depan.
Pemilihan Doncic bukan asal-asalan. Rookie of The Year musim 2018-2019 asal Slovenia itu memang sosok paling tepat. Meski baru menjalani dua musim di NBA, dia sudah menunjukkan kriteria dari wajah liga terdahulu, mulai dari dominasi permainan, kemampuan menghibur, hingga aura kebintangan.
Pengakuan datang langsung dari James. ”Sang Raja”, julukannya, bahkan menyamakan dirinya dengan Doncic yang serba bisa. Menurut James, Doncic sama dengannya yang punya kemampuan individu, tetapi tidak egois. Mereka punya visi bermain yang membuat rekan setim lebih hebat.
”Saya sangat senang jika bisa bermain bersamanya,” kata James dalam acara Road Trippin’.
Doncic menerima status ”bocah ajaib” setelah debut di playoff musim lalu. Dia memecahkan berbagai rekor individu yang membawanya melampaui legenda seperti Kareem Abdul-Jabbar dan Jordan.
Mavericks terlibat dalam dua tayangan televisi nasional di pekan pertama adalah bukti, status Doncic sedang dikembangkan menjadi wajah liga selanjutnya.
Rekor musim regulernya pun sangat cemerlang. Mantan pemain Real Madrid yang pernah menjadi Most Valuable Player 2017-2018 di Liga Eropa itu mencatat rata-rata 28,8 poin, 8,8 asis, dan 9,4 rebound. Dia mengimbangi James yang hampir mengoleksi triple double dengan 25,3 poin, 10,3 asis, dan 7,8 rebound.
Angka statistik melengkapi gaya bermainnya yang indah. Ketika bersama bola, dia bagaikan sedang menari di lapangan. Doncic tidak punya tubuh atletis dan kecepatan seperti mayoritas pemain kulit hitam NBA, tetapi memiliki teknik dan visi menakjubkan. Dia bisa melempar tiga angka, penetrasi ke keranjang, hingga mengatur serangan sama baiknya.
Hal yang terpenting, sosok pemuda berambut pirang ini disukai oleh penggemar NBA. Meski belum berprestasi bersama klub, dia sudah menjadi salah satu pemain favorit. Selain terpilih dalam All-Star musim lalu, jersei Doncic menjadi produk terlaris nomor dua setelah milik James.
Ikon dalam setiap dekade sangat penting bagi NBA. Di setiap masa, wajah liga tersebut akan menjadi magnet besar penarik penggemar. Dalam kasus saat ini, NBA tidak mau mengulangi kesalahannya karena terlambat mengorbitkan bintang baru. Liga pernah kehilangan momentum ketika terlambat mencari pengganti Jordan yang pensiun pada akhir 1990-an. Dampaknya, sorotan dunia sempat meredup.
Wajah Eropa
Pengorbitan Doncic merupakan sebuah anomali bagi NBA. Setelah sekian lama sejak didirikan pada pertengahan abad ke-20, akan ada pebasket Eropa yang mewakili liga bola bakset termasyhur asal Amerika Serikat tersebut.
Namun, anomali ini bukanlah sebuah kebetulan. NBA memang mulai banyak menyambut pemain dari luar AS, terutama Eropa. Pada musim lalu, ada 108 pemain internasional di liga. Jumlah itu lebih dari empat kali lipat jumlah pemain asing pada 1994-1995, yang sebanyak 24 pemain. Musim ini akan bertambah lagi dengan kehadiran 13 pemain yang terpilih dalam malam draft.
Liga semakin terbuka bagi pebasket dari negara lain karena transformasi permainan yang terjadi. Kini, klub-klub mencari pemain dengan kemampuan teknik yang lebih lengkap. Kekuatan fisik untuk mendominasi area dekat keranjang bukan lagi jalan utama untuk menang.
Perubahan ini setidaknya sudah terjadi lima musim terakhir. Pemicunya adalah Golden State Warriors bersama ”splash brothers”, Stephen Curry dan Klay Thompson. Mereka membuat permainan didominasi lemparan tiga angka.
Transformasi drastis itu tecermin dalam statistik. Musim lalu, New York Knicks merupakan tim dengan rata-rata paling sedikit memasukkan tiga poin (9,6 kali). Jumlah itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan awal dekade, musim 2010-2011, ketika Knicks dengan angka yang lebih sedikit, 9,3 kali, adalah tim pencetak tiga poin terbanyak di liga.
Menurut Direktur Personel Mavericks Tony Ronzone, pergeseran pusat permainan ini yang menjadi keuntungan bagi pemain Eropa. Mereka bisa mengoptimalisasi keunggulan teknik di tengah kekalahan dalam segi fisik.
Teknik pemain Eropa jelas lebih unggul. Mereka dilatih bermain di setiap posisi. Misalnya, Doncic bisa bermain di empat posisi, kecuali center. Sementara itu, pemain besar Denver Nuggets, Nikola Jokic, bisa bermain di lima posisi sekaligus. ”Mereka mencari cara dan sukses bersaing dengan kami (pemain AS),” kata Ronzone kepada Sports Illustrated.
Legenda hidup Mavericks asal Jerman, Dirk Nowitzki, menyebutkan, pemain Eropa punya keuntungan. Sebab, mereka sudah terlebih dulu bermain dengan mengutamakan teknik dan visi bermain. Sementara itu, banyak dari pemain AS yang masih beradaptasi.
”Ketika saya pertama kali datang, banyak posisi keempat (power forward) dan posisi kelima (center) tidak bisa memegang bola. Sekarang, posisi kelima sudah mulai bisa dribel dan menembak tiga angka. Semua lebih mengandalkan teknik. Ini menjadi lebih menyenangkan,” kata Nowitzki.
Kenyataan ini memang agak kontradiktif. Kompetisi di AS yang merupakan kiblat bola basket dunia itu justru harus mengorbitkan pebasket Eropa sebagai wajah masa depan. Meski begitu, hal ini justru bisa menjadi momentum NBA melebarkan sayapnya. Citra mereka sebagai wadah bakat pebasket terbaik di bumi akan semakin universal. (AP/REUTERS)