Maradona dipuja-puja dan dikultuskan laiknya seorang ”Tuhan”. Jutaan pengikutnya pun melepas kepergiannya dengan lautan air mata. Padahal, di balik kehebatannya, Maradona sejatinya manusia biasa, penuh kekhilafan.
Oleh
KELVIN HIANUSA / DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
Lautan air mata menggenangi area luar Stadion La Bombonera, markas Boca Juniors, yang pernah menjadi saksi bisu keajaiban dari sepasang kaki Diego Armando Maradona, Kamis (26/11/2020) waktu Indonesia. Ribuan orang berkumpul dengan sesak di dada, mengiringi kepergian ”Si Tangan Tuhan”.
Pemandangan di stadion kota Buenos Aires, Argentina, itu mewakili duka seisi negara. Saking besarnya sosok Maradona, Presiden Argentina Alfredo Fernandez sampai menetapkan hari berkabung nasional selama tiga hari. Jutaan orang di sejumlah tempat sebagian membawa spanduk bertuliskan ”D10S” alias dios atau Tuhan mengiringi kepergiannya ke keabadian.
Kesedihan merupakan reaksi spontan dari alam bawah sadar para pengagum pesepak bola bertubuh gempal itu. Bagi warga Argentina, sosok Maradona lebih dari sekadar atlet. Di negara berkultur sepak bola kental itu, dia dihargai dan disembah laiknya ”Tuhan”.
”Sepak bola adalah agama kami. Semua agama punya sosok Tuhan, termasuk kami (dengan Maradona). Kami tidak akan lupa ’mukjizat’ yang pernah diberikannya. Semangatnya ada dalam diri kami,” kata Alejandro Veron, pendiri ”agama” The Iglesia Maradoniana, yang menyembah Maradona, dikutip The Guardian.
”Mukjizat” terbesar Maradona bagi warga Argentina adalah momen Piala Dunia 1986 di Meksiko. Pemain yang juga berjuluk ”Si Anak Emas” itu menghadirkan trofi juara dunia terakhir bagi negaranya.
Seperti halnya Tuhan, ia juga punya mahakarya. Di Meksiko, dia membuat dua gol ”ajaib” saat Argentina mengalahkan Inggris, 2-1, di perempat final atas Inggris, 2-1. Gol pertama menggunakan tangannya yang membuatnya dijuluki ”Si Tangan Tuhan”.
Terbaik di abad ke -20
Adapun gol kedua dihasilkan lewat aksi solo dribel dari wilayah pertahanan Argentina. Dia melewati separuh skuad Inggris, termasuk kiper Peter Shilton, sebelum menceploskan bola. Keindahan itu digadang-gadang sebagai gol terbaik pada abad ke-20.
Momen ajaib dalam selang waktu empat menit itu membuat komentator asal Uruguay, Victor Hugo Morales, tak sanggup menahan tangisnya. ”Maaf, saya ingin menangis. Ini cukup membuat Anda menangis. Terima kasih Tuhan untuk Maradona, air mata ini. Saya tidak tahu dari mana dia berasal!” teriaknya kala itu.
Penampilan magisnya pun sampai bisa mengubah kebencian lawan, striker Inggris, Gary Lineker, menjadi rasa kagum. Bagi Lineker, mengagumi musuh di lapangan merupakan hal ”haram”. Namun, hatinya tidak bisa menolak memuji Maradona setelah laga itu. ”Untuk pertama kali dalam karier saya, gol itu membuat saya bertepuk tangan untuk tim lawan,” ujarnya.
Mukjizat seperti itu jugalah yang dihadirkan di Kota Napoli, Italia. Dia menghadirkan dua gelar juara Liga Italia Serie A untuk Napoli, tim yang sebelumnya hanyalah medioker di kompetisi sepak bola Italia.
Tak heran, kecintaan terhadap Maradona tidak hanya datang dari Argentina. Warga dari belahan dunia lainnya pun mengidolakannya. ”Sebelum Piala Duna 1986, kebanyakan dari kami merupakan pendukung Brasil. Namun, setelah Piala Dunia itu, Maradona telah membelah (kota) Kolkata menjadi dua,” kata salah satu penggemar Maradona di India, Samudra Bose.
Bagi pnecinta sepak bola pada umumnya, pemain dengan ciri khas nomor 10 itu lebih dianggap seperti seniman sejati. Bila almarhum Freddie Mercury, vokalis Queen, membuat kaus kutang terlihat begitu modis saat bernyanyi, Maradona mengubah sepak bola laiknya pertunjukan opera. Pertarungan fisik di lapangan kotor bisa disulap menjadi tontonan yang anggun nan mahal.
Ketika bola berada di kaki pria kelahiran 1960 itu, waktu dan gravitasi seakan berhenti. Semua mata tertuju padanya, memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Hiburan kelas atas itu yang membuat pendukung Napoli selalu duduk manis sejak tim mereka sedang pemanasan. Mereka terpaku hanya dengan aksi sang legenda yang menimang-nimang bola dengan sepasang kaki pendeknya.
Mantan Pelatih Argentina Cesar Luiz Menotti menggambarkan keindahan Maradona seperti gesekan biola. Saat memegang bola, dia seakan memulai irama yang membuat permainan tim menjadi lebih indah.
”Apa yang Maradona sudah lakukan untuk sepak bola membuat kita jatuh cinta kepada permainan yang indah ini. Sangatlah unik,” ujar Presiden FIFA Gianni Infantino mengenang Maradona, seperti dilansir laman FIFA.
Tak berlebihan jika dikatakan Maradona adalah pesepak bola terhebat yang pernah lahir di muka Bumi. Imajinasi liarnya menjadikan permainan lebih indah dengan tarian indah di lapangan. Mungkin saja, tidak akan ada Lionel Messi tanpa keajaiban pemain setinggi 1,65 meter tesebut.
”Saya menghormati Messi. Untuk generasi baru, dia adalah salah satu yang terbaik. Namun, Maradona ada di dunia lain. Saya tidak pernah melewati satu pun laganya selama tujuh tahun,” kata mantan kapten timnas Italia, Fabio Cannavaro, kepada Sky Sports.
Kuat sekaligus rapuh
Sosok ”Tuhan”, dewa, pahlawan, hingga seniman kelas atas itu seakan menjauhkan Maradona dari kodrat sebagai manusia biasa. Namun, terlepas dari itu semua, dia adalah sosok yang menunjukkan wujud asli seorang manusia yang kuat sekaligus rapuh. Kehebatannya yang tak tersentuh selalu bertimbal balik dengan segala kontroversi.
”Pesepak bola yang luar biasa, tetapi rapuh,” bunyi ulasan Vatican News, Kamis, yang menyebut Maradona sebagai seorang ”pujangga” sepak bola.
Dia dilahirkan dari keluarga miskin, anak dari tukang perahu di Villa Fiorito, Buenos Aires. Dalam waktu singkat, talenta bermain bola menjadikannya pemain muda sepok bola terbaik dunia. Pada usia 19 tahun, dia sudah mencetak 100 gol.
Sepak bola pun menjadi surga sekaligus neraka baginya. Kerapuhan justru bermula saat masa jayanya. Perubahan drastis kekayaan pribadi membuatnya tidak bisa mengontrol diri, mulai dari kecanduan doping, seks, hingga narkotika.
Keburukan Maradona setidaknya terlihat jelas di mata Shilton. Ia masih kesal dengan Maradona yang tidak mau meminta maaf atas kejadian gol ”Tangan Tuhan” itu. ”Tidak pernah sekalipun ia mengaku telah berbuat curang dan meminta maaf. Ada kehebatan dalam dirinya. Akan tetapi, sedihnya, ia tidak memiliki sportivitas,” ujar Shilton mengenai sisi gelap Maradona.
Di dalam lapangan, kejayaan instan memang telah membuatnya sombong. Bukan hanya berbohong, dia sering membolos latihan. Paling parahnya, mantan pemain Barcelona ini juga pernah diduga menerima suap untuk mengubah hasil pertandingan. Segala kontroversi itu menjadikan masa emasnya singkat.
Berbagai kejadian kontroversial itu pun semakin menunjukkan dua wajah Maradona, baik sebagai ”dewa” sepak bola maupun manusia biasa. Sama seperti manusia lainnya, selalu ada sisi baik dan buruk dari dirinya. Sebagai manusia, ia jauh dari sempurna meski memiliki ”Tangan Tuhan”.
Kini, pemilik gol ”Tangan Tuhan” itu telah berada di tangan Sang Pencipta sejati. Selamat jalan, Diego.... (AP/Reuters)