Dalam catur, komputer manjadi salah satu alat bantu untuk menganalisis hasil pertandingan. Namun, terlalu bergantung pada teknologi atau komputer akan menjadi bumerang bagi perkembangan pecatur.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di era modern, bantuan teknologi tidak bisa dihindari. Dalam catur, komputer menjadi salah satu alat bantu menganalisis hasil pertandingan. Namun, terlalu bergantung pada teknologi bisa menjadi bumerang bagi perkembangan pecatur.
”Terlalu bergantung pada komputer membuat pecatur tidak paham pola permainan. Komputer hanya mampu menganalisis varian dengan cepat, tetapi sulit mendapatkan pola,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia Grandmaster Utut Adianto dalam webinar Tips Berlatih Catur Efektif yang digelar Sekolah Catur Utut Adianto, akhir pekan lalu.
Utut mengatakan, pecatur harus memahami, catur adalah olahraga proses dan pemahaman. Mereka harus tahu peran komputer yang sejatinya hanya alat bantu. Adapun saat ini banyak pecatur bergantung pada komputer sebagai alat pembelajaran. Bahkan, tak sedikit orangtua menyodorkan komputer lengkap dengan berbagai mesin pengolah data permainan catur untuk anaknya yang sedang belajar catur.
”Ini namanya salah makan obat. Hal itu tidak mengobati penyakit atau masalah. Justru membuat penyakit atau masalah bertambah parah,” katanya.
Menurut Utut, pecatur harus belajar secara bertahap. Tahapnya, antara lain, dimulai dari menyenangi/mengemari, menjadikan hobi, mempelajari/memahami, hingga menjiwai. Ini adalah resep pecatur yang ingin berprestasi di olahraga tersebut.
Proses belajar dan memahami adalah rangkaian terpenting menuju tahapan lebih tinggi. Pecatur harus punya dasar memahami posisi, fungsi, dan aktivitas buah catur. ”Dari pemahaman yang baik, kualitas permainan akan lebih baik,” tuturnya.
Untuk memahami catur, pecatur harus memperluas wawasan. Salah satu hal yang mulai diabaikan adalah membaca buku-buku mengenai catur, seperti Modern Chess Opening, Basic Chess Ending, dan Chess Informant. ”Ini harus mulai disebarkan/digalakkan lagi sebagai bekal dasar,” pesannya.
Pecatur pun harus rajin berlatih mengevaluasi sejumlah permainan dirinya ataupun pecatur-pecatur top. ”Manusia tidak mampu merekam semua yang dipelajarinya. Maka itu, latihan tidak boleh berhenti (untuk memunculkan otomatisasi),” ujar Utut.
Dukungan lingkungan
Dalam tahap pembelajaran, Utut menuturkan, pecatur harus mendapatkan dukungan lingkungan karena lingkungan juga sangat memengaruhi perkembangan kualitas. Orangtua harus paham batasan dalam mendukung anak yang belajar catur. ”Terkadang, orangtua masuk terlalu jauh dalam proses belajar anaknya sehingga membuat anak itu tidak berkembang dengan seharusnya,” katanya.
Untuk pelatih, ujar Utut, anak didik harus belajar bertahap dari dasar, menengah, hingga maju. Lalu, pelatih patut menghindari kebiasaan mencetak anak didiknya sebagai fotokopi dirinya. ”Pelatih harus menyesuaikan diri dengan kejiwaan anak didik,” tuturnya.
Terlepas dari itu, pecatur harus punya motivasi dan fokus kuat jika memang ingin berprestasi. ”Apalagi jatuh bangun catur lebih banyak ke soal keilmuan. Di sisi lain, sekarang banyak gangguan dari luar, seperti keberadaan gawai,” ujar Utut.
GM Susanto Megaranto mengisahkan, untuk menjadi pecatur dunia atau bergelar GM butuh proses yang panjang. Dia, misalnya, butuh waktu sekitar 10 tahun meraih gelar GM, mulai belajar pada usia tujuh tahun dan baru dapat gelar GM pada usia 17 tahun.
”Butuh motivasi dan fokus yang kuat melalui semua proses tersebut. Apalagi, setiap jenjang usia punya tantangan sendiri, mulai dari masa anak-anak, remaja, hingga dewasa. Terutama ketika sudah berkeluarga, motivasi dan fokus sangat dituntut karena waktu mulai terbagi untuk catur dan keluarga,” kata pecatur berusia 33 tahun tersebut.
Dewan Pembina PB Percasi Eka Putra Wirya mengutarakan, berkaca dari pengalamannya menjadi Ketua Kontingen Indonesia pada Olimpiade Catur 1992 di Manila, Filipina, untuk menjadi pecatur kuat memang harus melalui proses panjang dan persiapan matang. Bahkan, persiapan pertandingan jauh lebih berat daripada pertandingannya.
Dari Olimpiade Catur 1992, Eka melihat niat tim kuat dunia sangat besar, mereka mempersiapkan diri dengan membawa komputer jinjing yang menyimpan data berbagai permainan pecatur top dunia. Dari pengalaman itu, dia tersadar bahwa Indonesia harus melakukan pola yang sama jika ingin menembus jajaran elite catur dunia.
Saat itu, Eka mendorong Utut yang menjadi bintang catur nasional untuk fokus di catur. Dengan berbagai pertimbangan, Utut bersedia fokus dengan catur dan meninggalkan pekerjaannya. Hasilnya, Utut berhasil menjadi GM Super pada 1995-1999, dengan elo rating tertinggi mencapai 2.615 pada Januari 1998, prestasi yang belum terulang oleh pecatur Indonesia lain hingga kini.
”Catur itu adalah olahraga riset, bukan sekadar bakat alam hasil main dari lapak ke lapak. Pecatur harus punya keinginan kuat terus belajar jika ingin berprestasi tingkat dunia,” kata Eka.