Joan Mir mampu bertahan dan bangkit dari awal buruk MotoGP di musim pandemi ini. Pebalap tim Suzuki Ecstar itu mengacak-acak semua prediksi hingga menjadi juara dunia MotoGP dengan satu balapan tersisa.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
VALENCIA, MINGGU — Joan Mir mewujudkan misinya untuk memberikan musim yang indah bagi Suzuki dengan meraih gelar juara MotoGP musim 2020. Pebalap berusia 23 tahun itu tidak pernah masuk prediksi juara karena performanya musim lalu kurang bersinar. Awal musim ini juga tidak berjalan mulus dengan dua kali gagal finis pada tiga seri awal. Namun Mir mampu mengatasi tekanan, dan bangkit untuk meraih gelar juara.
Mir mengawali balapan MotoGP di musim pandemi ini dengan kegagalan finis pada seri Spanyol di Sirkuit Jerez. Pada balapan berikutnya, masih di Jerez, Mir finis di posisi lima. Namun, pada seri ketiga di Ceko, dia kembali gagal finis. Dua hasil buruk itu membuat Mir jauh dari papan atas yang didominasi oleh para pebalap Yamaha, Fabio Quartararo dan Maverick Vinales.
Namun, Mir mampu mengatasi tekanan, dan perlahan namun pasti bangkit sejak seri keempat di Austria. Dia bisa memenangi balapan di Red Bull Ring itu jika tidak ada bendera merah yang membuat balapan dihentikan dan dilakukan start ulang. Mir finis kedua pada seri Austria itu. Podium pertamanya di ajang MotoGP itu menjadi titik balik bagi Mir.
Dia bak penyintas dari situasi buruk, dan terus meraih podium di saat para pebalap papan atas kehilangan konsistensi. Dalam sembilan seri kemudian, dia meraih enam kali podium, termasuk kemenangan pertamanya di MotoGP pada seri Eropa di Sirkuit Ricardo Tormo, Valencia, pada 8 November. Konsistensi meraih podium itulah yang mengantar Mir memuncaki klasemen, menggusur favorit juara, pebalap Petronas SRT Yamaha Fabio Quartararo.
Mir mengunci gelar juara dengan finis ketujuh pada seri Valencia, juga di Sirkuit Ricardo Tormo, Minggu (15/11/2020). Dia mengumpulkan 171 poin, unggul 29 poin dari pesaing terdekatnya, pebalap Petronas SRT Yamaha, Franco Morbidelli, yang finis terdepan. Dengan sisa satu balapan di Portimao, Portugal, pekan depan, Mir mengunci gelar juara ketujuh bagi Suzuki di kelas elite. Ini gelar juara pertama Suzuki di era MotoGP. Enam gelar lainnya diraih pada era GP500 melalui Barry Sheene (1976,1977), Marco Lucchinelli (1981), Franco Uncini (1982), Kevin Schwantz (1993), dan Kenny Roberts Jr (2000).
”Luar biasa, luar biasa. Saya tidak memiliki kata-kata untuk mengungkapkan perasaan ini, karena ini seperti sesuatu yang saya perjuangkan sepanjang hidup saya, dan akhirnya bisa meraih itu,” ujar Mir kepada MotoGP.
”Saat ini saya tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis, karena emosi berkecamuk. Saya sangat bahagia, Anda bisa percaya itu saat Anda mengikuti mimpi Anda dan akhirnya meraihnya,” lanjut Mir, yang meraih gelar juara MotoGP di musim keduanya.
”Saat ini saya tidak percaya pada apa yang terjadi. Saya perlu beberapa saat untuk bersantai, duduk sebentar di sana untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, karena ini sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan,” ujar Mir.
Mengatasi tekanan
Mir meraih gelar juara berkat kemampuannya mengatasi tekanan, juga dukungan anggota timnya yang mampu menyiapkan motor GSX-RR menjadi kompetitif. Motor Suzuki yang dikembangkan sejak mereka ikut MotoGP pada 2005, memiliki keunggulan pada kestabilan di saat ban sudah aus. Keunggulan ini membuat Mir dan rekan setimnya Alex Rins mampu melesat lebih cepat mulai pertengahan hingga akhir balapan.
Saat ini saya tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis, karena emosi berkecamuk. Saya sangat bahagia, Anda bisa percaya itu saat Anda mengikuti mimpi Anda dan akhirnya meraihnya.
Dalam perburuan juara ini, Mir juga menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat saat di luar balapan. Dia tidak bertemu dengan orang lain, dan menerapkan isolasi di rumahnya di Andorra untuk mencegah terpapar virus korona tipe baru penyebab Covid-19. Virus korona tipe baru itu menjadi lawan yang paling ditakuti oleh Mir, karena jika terpapar, pebalap harus menjalani isolasi 10 hari. Saat balapan berlangsung beruntun, pebalap akan kehilangan dua seri, dan itu cukup untuk merusak peluang juara.
Berbagai faktor itulah yang membuat Mir bisa berada di posisinya saat ini. Sejak memimpin klasemen pebalap seusai seri Aragon, Mir tetap konsisten meraih podium. Dia tidak terusik dengan persaingan ketat memburu gelar juara. Kondisi ini berkebalikan dengan Fabio Quartararo yang sempat memimpin klasemen berkat dua kemenangan di Jerez.
Namun, pebalap Petronas SRT Yamaha itu kemudian paceklik podium dalam lima seri berikutnya karena performa motor M1 yang tidak stabil. Itu juga dirasakan oleh para pebalap tim pabrikan Yamaha, Maverick Vinales dan Valentino Rossi, yang sama-sama menggunakan motor spesifikasi 2020.
Adapun Franco Morbidelli, yang menggunakan mesin 2019, penampilannya masih sporadis, meskipun musim ini mampu meraih tiga kali kemenangan pada seri San Marino, Teruel, dan Valencia. Kemenangan ketiganya itu diraih melalui persaingan ketat dengan pebalap Pramac Ducati Jack Miller yang akhirnya finis kedua. Posisi ketiga ditempati oleh pebalap KTM Pol Espargaro, yang musim depan akan satu tim dengan Marc Marquez di Repsol Honda.
”Saya tahu Jack akan mendekat, dan pada lap terakhir itu terjadi, tetapi saya katakana, oke saya akan berusaha sekuat mungkin untuk menang. Kami beberapa kali saling mendahului, saya tidak ingat berapa kali, tetapi akhirnya saya bisa menang,” ujar Morbidelli yang mendedikasikan kemenangannya itu untuk sahabatnya, Manolo, yang berulang tahun.