Faathir dan Rizki menatap tantangan besar setelah berprestasi di Kejuaraan Dunia Angkat Besi Remaja. Mereka harus bersiap dalam empat tahun ke depan untuk menggantikan para senior di Olimpiade Paris 2024.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prestasi cemerlang di Kejuaraan Dunia Angkat Besi Remaja Daring 2020 menjadi modal berharga dan titik awal perjuangan lifter Muhammad Faathir dan Rizki Juniansyah. Ujian terberat dua lifter lifter berusia 17 tahun itu baru muncul dalam empat tahun ke depan. Mereka harus bertahan melewati persaingan lebih ketat dan berbagai problem nonteknis di tingkat yunior, untuk naik level menjadi lifter andalan Indonesia.
Rizki sukses menyapu bersih tiga emas sekaligus memecahkan tiga rekor dunia remaja saat tampil di kelas 73 kilogram, Minggu (15/11/2020) WIB. Dia mencatat angkatan total 325 kg, dari angkatan snatch 145 kg dan clean and jerk 180 kg. Prestasi ini menyusul Faathir yang menyabet 2 emas dan 1 perak di kelas 61 kg, Jumat.
Lifter yang akan masuk tingkat yunior tahun 2021 ini sama-sama menutup prestasi fenomenal di tingkat remaja. Rizki memegang tiga rekor dunia di kelasnya, sedangkan Faathir di dua kategori, yaitu angkatan total dan clean and jerk.
Harapan pun muncul pada keduanya untuk bisa melapis dua lifter veteran yang mendekati usia pensiun. Rizki diharapkan meneruskan Triyatno di kelas 73 kg, sedangkan Faathir ditargetkan sebagai penerus Eko Yuli Irawan di 61 kg.
Empat tahun ke depan menjadi sangat vital bagi mereka. Menurut Sekretaris Jenderal PB PABSI Sonny Kasiran, keduanya harus berkembang signifikan untuk menjadi andalan Indonesia di Olimpiade Paris 2024, menggantikan Eko dan Triyatno yang kemungkinan besar sudah pensiun.
”Di 2024, mereka seharusnya jadi andalan. Faathir dan Rizki sudah bisa jadi tulang punggung. Karena atlet remaja sudah jadi lapis pertama sekarang, siapa lagi kalau bukan mereka? Faathir bisa dibilang tepat di belakang Eko, sedangkan Rizki salah satu lifter papan atas di kelasnya,” ucap Sonny.
Pada 2024, mereka akan berusia 21 tahun. Usia itu pas bagi lifter untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan pengalaman di Olimpiade. Jika bisa meraih prestasi, itu akan jadi pijakan besar dalam karier mereka.
Contoh terbaik adalah Eko dan Triyatno. Keduanya tampil di Olimpiade Beijing 2008 pada usia sangat muda, Eko 19 tahun dan Triyatno 20 tahun, dan membawa pulang medali. Di Olimpiade berikutnya, prestasi datang sendiri kepada mereka. Tidak ada lagi lifter putra yang pernah meraih medali Olimpiade selain kedua veteran itu.
Problematika remaja
Sebelum mencapai Olimpiade, Faathir dan Rizki akan melewati ujian jauh lebih sulit di tingkat yunior, 18-20 tahun. Selain persaingan lebih ketat, mereka juga akan menghadapi problem nonteknis yang berurusan dengan jiwa muda. Di titik ini, komitmen akan menjadi faktor penentu keberhasilan mereka.
”Seperti remaja pada umumnya, pasti mulai melirik lawan jenis. Nanti kalau putus cinta bisa jadi demotivasi latihan. Juga pasti ingin nongkrong di kafe sampai malam. Di sini yang penting komitmen mereka, disiplinnya. Bagaimanapun kami mengarahkan, semua harus dari diri sendiri,” kata Sonny.
Masalah nonteknis tidak bisa disepelekan. Hal itu sudah dirasakan Faathir. Dalam wawancara Jumat lalu, dia mengatakan, performanya menurun di Kejuaraan Dunia karena ada yang salah dalam motivasinya.
Meski berprestasi di tingkat dunia, angkatannya menurun cukup drastis dibandingkan dengan hasil Kejuaraan Asia, Februari. ”Saya harus cari cara memulihkan diri sendiri, harus cari feel dan mood dulu. Cari jati diri lagi seperti sebelumnya,” kata atlet Kalimantan Timur itu.
Sisi psikologis lifter muda ini jadi tantangan besar tim pelatih. Menurut pelatih kepala pelatnas angkat besi Dirdja Wihardja, menangani psikologis atlet remaja tak mudah, apalagi di masa pandemi.
Selama pandemi, semua atlet tidak boleh keluar dari karantina pelatnas. Mereka terkurung dalam kebosanan karena tidak bisa bertemu keluarga dan tanpa kompetisi sejak awal tahun.
Problem itu coba ditangani dengan berbagai pendekatan. Mulai dari berbagi cerita dengan sesama atlet secara rutin, diperbolehkan memelihara ikan di mes, hingga simulasi lomba yang sudah empat kali dilakukan. Namun, cara ini berbeda-beda dampaknya untuk memulihkan psikologis lifter.
Faathir bisa dibilang tepat di belakang Eko, sedangkan Rizki salah satu lifter papan atas di kelasnya.
Di sisi lain, pengembangan faktor teknis juga jadi hal yang penting setelah melewati fase remaja. ”Kami akan buat fondasi mereka lebih sempurna lagi. Teknik akan diperbaiki, juga penguatan otot-otot. Dengan demikian, fondasi itu bisa jadi modal kuat saat naik kelas dari yunior ke senior,” sebut Dirdja.
Eko, peraih medali Olimpiade dalam tiga gelaran terakhir, mengungkapkan, persoalan nonteknis seharusnya bisa ditangani dengan baik oleh para lifter muda. Menurut dia, para yuniornya punya kedisiplinan dan komitmen tinggi untuk berprestasi.
”Yang pasti cara penanganan program, teknik, nutrisi, dan kondisi atlet harus lebih teliti saja. Kalau mentalitas dan motivasi pasti sudah bagus, yang penting tetap selalu diasah,” kata lifter berusia 31 tahun tersebut.