Mengikuti Borobudur Marathon 2020 membuat para pelari banyak mengevaluasi diri. Selama masa pandemi Covid-19, mereka tidak berlatih optimal sehingga catatan waktu merosot dratis.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH, ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Mengikuti Borobudur Marathon 2020 membuat para pelari banyak mengevaluasi diri. Selama masa pandemi Covid-19, mereka tidak berlatih optimal sehingga catatan waktu merosot dratis dalam perlombaan kali ini. Bahkan, beberapa pelari justru bertumbangan dan gagal finis. Pasca-Borobudur Marathon 2020, mereka bertekad untuk kembali berlatih normal guna menatap potensi kejuaraan-kejuaraan lain.
”Kami memang tidak berlatih optimal seperti biasanya selama pandemi. Apalagi tidak ada kejuaraan yang bisa memicu diri untuk displin berlatih. Maka itu, fisik tidak berada di kondisi normal sehingga sulit untuk mempertahankan ataupun mempertajam personal best di Borobudur Marathon 2020 ini,” ujar Hamdan Syafril Sayuti, pemenang ketiga maraton putra, ditemui seusai lomba di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (15/11/2020).
Setelah hampir sepanjang tahun tidak pernah ikut kejuaraan, terutama sejak awal masa pandemi Covid-19 pada Maret hingga Oktober, 17 pelari putra dan 9 pelari putri yang berpartisipasi dalam Borobudur Marathon 2020 akhirnya berlomba lagi di sekitar Candi Borobudur. Ternyata, lama terkurung oleh pandemi, banyak memberikan dampak negatif terhadap performa atlet.
Kecuali juara maraton putri Pretty Sihite yang baru kali ini turun di nomor lari berjarak 42,195 kilometer itu, hampir semua peserta Borobudur Marathon 2020 mengalami penurunan performa. Terbukti tiga besar pelari putra gagal mempertajam catatan waktu terbaiknya, bahkan gagal mencapai target yang dipatok sebelum kejuaraan kali ini.
Juara maraton putra Betmen Manurung hanya mencatat waktu 2 jam 42 menit 25 detik pada kejuaraan kali ini. Itu di bawah personal best-nya 2 jam 41 menit 3 detik yang dicatat di Bintan Marathon 2019 dan target waktu finis kali ini 2 jam 40 menit.
Pemenang kedua Suwandi mencatat waktu 2 jam 43 menit 43 detik. Itu jauh melorot dari personal best-nya 2 jam 39 menit 36 detik di Jakarta Marathon 2019 dan target waktu finis kali ini 2 jam 38 menit. Demikian pemenang ketiga Hamdan. Dia mencatat waktu 2 jam 45 menit 15 detik yang terjun bebas dari personal best-nya 2 jam 38 menit di Jakarta Marathon 2019 dan target waktu finis kali ini 2 jam 35 menit.
Dalam lomba kali ini, kesabaran menjadi kunci utama pelari yang bisa finis dan merebut tiga besar. Kalau tidak sabar atau terpancing untuk memacu diri sejak awal lomba, badan bisa rontok karena sudah lama tidak mempersiapkan diri untuk perlombaan.
”Dalam lomba kali ini, kesabaran menjadi kunci utama pelari yang bisa finis dan merebut tiga besar. Kalau tidak sabar atau terpancing untuk memacu diri sejak awal lomba, badan bisa rontok karena sudah lama tidak mempersiapkan diri untuk perlombaan,” kata Hamdan, pelari asli Sijunjung, Sumatera Barat.
Adapun di putri, pemenang kedua Irma Handayani hanya mencatat waktu 3 jam 11 menit 51 detik yang di bawah personal best-nya 3 jam 8 menit 5 detik di Borobudur Marathon 2019, tetapi lebih baik dibandingkan dengan target waktu finis kali ini 3 jam15 menit. Pemenang ketiga Oliva Sadi mencatat waktu 3 jam 31 menit yang merosot dari personal best-nya 3 jam 15 menit di Borobudur Marathon 2019 dan target finis kali ini 3 jam 30 menit.
”Saya beruntung bisa memenangkan lomba kali ini, mungkin karena saya masih menjaga latihan dengan intensitas sedang ke tinggi sejak awal tahun sampai sekarang. Ini membuat fisik saya tetap terjaga sehingga bisa melewati para pelari senior yang sudah lama berpengalaman di lomba maraton, seperti Kak Irma dan Oliva,” kata Pretty yang sejatinya pelari spesialisasi 1.500 meter, 5.000 meter, 10.000 meter, dan halang rintang 3.000 meter.
Bahkan, tak sedikit pelari yang akhirnya gagal finis karena bertumbangan oleh cedera. Salah satunya pelari putri asal Padang Panjang, Sumatera Barat, Juni Ramayani. Pelari berusia 28 tahun itu sempat langsung tancap gas di awal lomba. Dia pun sempat memimpin hingga pertengahan lomba dari 12 putaran (1 putaran memiliki panjang lintasan sekitar 3,5 kilometer).
Namun, mendekati akhir lomba, kecepatan Juni terus menurun. Bahkan, dua putaran sebelum finis, bagian kiri kakinya terlihat pincang. Langkahnya semakin gontai hingga akhirnya terjatuh dan pingsan beberapa meter sebelum gerbang akhir perlombaan. ”Tadi, saya terlalu memaksa diri. Mungkin, itu karena antusias lama tak ikut lomba. Tapi, ternyata, fisik saya tidak siap, Mungkin karena latihan saya tidak optimal selama pandemi,” tutur Juni.
Ingin segera bangkit
Setelah mengetahui performa turun drastis dari hasil Borobudur Marathon 2020, para pelari termotivasi untuk segera bangkit. Mereka berkomitmen untuk kembali displin berlatih dengan intensitas sewajarnya atlet. Bahkan, beberapa di antaranya berencana ke Pangalengan, Jawa Barat, pusat pelatihan pelari jarak jauh nasional.
Pelari asal Belitung, Bangka-Belitung, Robi Sianturi mengatakan, ketika muncul pandemi sekitar Maret, pelari berusia 22 tahun itu dikembalikan dari pelatnas di Pangalengan ke daerah masing-masing. Selama di Belitung, dia mengakui tidak berlatih optimal. Latihannya lebih banyak di rumah untuk menjaga otot agar tidak kendur.
Robi praktis baru memulai lagi latihan di luar ruangan ketika masa normal baru sekitar Juni/Juli. Tak lama kemudian, dia mendapatkan undangan mengikuti Borobudur Marathon 2020. Untuk ikut kejuaraan itu, dirinya hanya ada waktu dua bulan guna mempersiapkan diri. Hasilnya, dia justru cedera dan gagal masuk delapan besar.
Hasil itu membuatnya tersentak untuk berlatih kembali dengan optimal. Kalau tidak, dirinya bakal kewalahan menghadapi potensi kejuaraan-kejuaraan lain, terutama PON Papua yang direncanakan berlangsung Oktober 2021. ”Saya berencana untuk kembali ke Pangalengan secepatnya agar bisa fokus lagi berlatih,” ujarnya.
Rencana serupa dicanangkan Hamdan. Selama pandemi, dia lebih banyak berada di kampung halaman. Hal itu membuat konsentrasinya terpecah antara berlatih dan membantu mengurus usaha kelontongan, toko material, dan jasa pelaminan. Maka itu, kebugarannya tak seprima seperti tahun-tahun sebelumnya yang lebih banyak di Pangalengan untuk berlatih.
”Paling lambat awal tahun depan saya akan kembali ke Pangalengan. Di sana saya bisa konsentrasi hanya untuk berlatih. Apalagi suasana Pangalengan sangat mendukung untuk meningkatkan kebugaran. Lebih-lebih, banyak rekan sesama pelari jarak jauh di sana yang bisa menjadi rekan berlatih,” kata mantan pelari pelatnas PB PASI tersebut.
Sekretaris Jenderal PB PASI Tigor M Tanjung menuturkan, dirinya tak memungkiri ada penurunan grafik penampilan para atlet dalam Borobudur Marathon 2020. Itu kemungkinan disebabkan dua faktor, yakni lintasan yang berulang sehingga membuat pelari jenuh. Kemungkinan lain memang karena latihan atau persiapan atlet kurang optimal. ”Tapi, saya lebih condong itu karena latihan atlet yang tidak semaksimal sebelum pandemi,” tuturnya.
Selepas Borobudur Marathon 2020, Tigor berharap para atlet mengevaluasi diri. Agar performa kembali meningkat, mereka patut berlatih lagi dengan normal sewajarnya atlet. Apalagi PB PASI ataupun World Athletics telah merancang rapi jadwal kejuaraan untuk tahun depan. ”Jangan sampai para atlet tetap tidak siap untuk mengikuti kejuaraan-kejuaraan yang sudah dirancang tersebut,” pungkasnya.