Turnamen tenis Final ATP adalah turnamen dengan kesetaraan peluang juara bagi semua pesertanya. Perpindahan gelar juara Final ATP yang terjadi dalam empat tahun terakhir dapat berlanjut.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Dari semua kejuaraan, termasuk Grand Slam, turnamen tenis Final ATP menjadi panggung dengan kesetaraan peluang juara bagi semua pesertanya. Inilah panggung di mana “Big Three” selalu mendapat perlawanan paling ketat dari kontestan lain.
Bukti kesetaraan itu terlihat dari daftar para juara dalam tiga tahun terakhir yang bisa dikategorikan sebagai kejutan. Grigor Dimitrov (juara 2017), Alexander Zverev (2018), dan Stefanos Tsitsipas (2019) menembus dominasi Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic yang selalu mendominasi gelar juara ajang besar.
Dimitrov, Zverev, dan Tsitsipas tak hanya menembus kekuatan “Big Three” di Final ATP, mereka muncul sebagai juara meski tak begitu dominan pada turnamen lain sepanjang tahun. Tsitsipas, bahkan, menjadi juara dalam debut di turnamen pengujung musim tersebut. Berusia 21 tahun, petenis Yunani itu menjadi peserta termuda pada Final ATP 2019.
Final ATP, yang akan digelar di The O2 Arena, London, 15-22 November, adalah turnamen penutup pada setiap musim kompetisi yang menghadirkan delapan petenis putra terbaik di tunggal dan ganda. Poin mereka dihitung dari penampilan selama selama setahun pada musim yang bersangkutan. Ini berbeda dengan poin peringkat dunia yang dihitung dari turnamen 52 pekan ke belakang.
Dalam penyelenggaraan tahun ini, memprediksi pemenang bukan hal yang muda dilakukan, bahkan sejak babak penyisihan grup. Berbeda dengan turnamen lain yang menggunakan sistem gugur, Final ATP berlangsung dalam format round robin pada penyisihan dalam dua grup. Dua peringkat teratas dari setiap grup berhak tampil pada semifinal.
Format ini membuka kesempatan setiap petenis bertahan hingga pertandingan terakhir, meski mengalami kekalahan di penyisihan grup. Dalam dua tahun terakhir misalnya, Zverev dan Tsitsipas juara meski satu kali kalah dalam persaingan grup.
Sistem best of three sets menjadi faktor lain yang melahirkan peluang setara di antara peserta. Berbeda dengan persaingan Grand Slam, yang menuntut penampilan konsisten dalam best of five sets selama tiga jam atau lebih pada setiap laga, pertandingan dalam final ATP berlangsung lebih cepat.
Ditambah dengan penggunaan jenis lapangan keras dalam ruangan, yang memunculkan pantulan bola dengan teramat cepat dan rendah, tak butuh kemampuan khusus untuk memenangi pertandingan seperti halnya yang dibutuhkan di lapangan tanah liat yang lambat.
Kombinasi ketiga faktor itulah yang membuat setiap peserta memiliki kesempatan sama untuk juara, termasuk para debutan.
Tantangan Nadal dan Djokovic
Berdasarkan undian yang dilakukan Kamis (12/11/2020) tengah malam waktu Indonesia, petenis nomor satu dunia, Djokovic, akan bersaing dengan dua jagoan lapangan keras, Daniil Medvedev dan Alexander Zverev, serta Diego Schwartzman pada Grup Tokyo 1970. Nama grup ini diambil dari penyelenggaraan pertama Final ATP di Tokyo, Jepang, pada 1970.
Schwartzman adalah salah satu debutan, selain Andrey Rublev, dalam turnamen yang memasuki tahun terakhirnya di London, sebelum pindah ke Turin, Italia, pada 2021-2025. Itu dicapai berkat penampilan gemilang yang dicapai pada tahun ini.
Schwartzman, mencapai final ATP Masters 1000 untuk pertama kalinya, di Roma, lalu semifinal Grand Slam Perancis Terbuka. Sementara, terhentinya turnamen pada Maret-Agustus karena pandemi Covid-19, tak menghalangi Rublev untuk meraih lima gelar juara, terbanyak di antara petenis lainnya.
Rublev akan menjadi pesaing berat Nadal, yang berburu gelar pertama dari Final ATP, pada Grup London 2020. Petenis lainnya adalah juara Grand Slam Amerika Serikat Terbuka, Dominic Thiem, dan juara bertahan, Tsitsipas.
“Penampilan Rublev begitu luar biasa pada tahun ini. Tsitsipas adalah juara bertahan, sementara Thiem baru meraih gelar pertamanya dari Grand Slam. Rafa akan mendapat tantangan sangat berat,” komentar Stan Smith, juara Final ATP 1970, dalam laman ATP.
“Medvedev dan Zverev, yang tampil pada final Paris Masters, pekan lalu, akan mendorong Novak untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya,” lanjut Smith, petenis AS yang aktif pada 1964-1985.
Kerasnya persaingan di Final ATP, bahkan, membuat Nadal tak pernah menjuarainya, meski berdasarkan peringkat selalu lolos sejak 2005. “Tentu saja, saya ingin menjadi juara, tetapi itu selalu sulit untuk dilakukan,” kata Nadal, finalis 2010 dan 2013.
Djokovic menjadi salah satu petenis tersukses dengan lima gelar, hanya tertinggal satu gelar dari Federer. Namun, gelar terakhirnya di turnamen dengan hadiah total 5,7 juta dollar AS (sekitar Rp 80,8 miliar) ini didapat pada 2015. Setelah itu, petenis-petenis muda selalu menjadi penghalang, salah satunya ketika Zverev mengalahkannya pada final 2018.
Persaingan tahun ini menjadi semakin terbuka dan sulit diprediksi karena kompetisi tak berjalan secara penuh. Perpindahan gelar juara, yang terjadi dalam empat tahun terakhir pun, dimungkinkan berlanjut. (REUTERS/AFP)