Konsep gelembung menyiasati pandemi Covid-19 menjadi tantangan tambahan para pelari Elite Race Borobudur Marathon 2020 Powered by Bank Jateng. Masuk karantina sebelum lomba, keselarasan fokus dan kebugaran menjadi kunci.
Oleh
Adrian Fajriansyah/Aditya Putra Perdana
·5 menit baca
Konsep gelembung menyiasati pandemi Covid-19 menjadi tantangan tambahan bagi para pelari Elite Race Borobudur Marathon 2020 Powered by Bank Jateng. Menjalani karantina sebelum lomba, keselarasan fokus dan kebugaran mesti dijaga demi meraih performa terapik.
Eldak Kafolamau (32) berjalan tenang menyusuri anak tangga di salah satu area Hotel Puri Asri, Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (13/11/2020). Dengan masker terpasang di separuh wajah, pria asal Nusa Tenggara Timur itu menembus keheningan di sekitar rimbunan pohon.
”Suasana di sini tenang. Di dalam kamar pun bisa santai. Hal-hal seperti ini yang sebenarnya dibutuhkan pelari beberapa hari jelang lomba maraton. Kami bisa lebih fokus,” tutur Eldak.
Eldak merupakan satu dari 26 peserta Elite Race Borobudur Marathon 2020 kategori Men’s Marathon. Dalam situasi pandemi, pelaksanaan ajang itu menerapkan protokol kesehatan ketat. Sejak tiba di hotel, Kamis (12/11/2020), semua peserta dites usap dan dipastikan negatif Covid-19.
Sejak itu, mereka berada dalam gelembung atau bubble, yakni sebuah konsep penyelenggaraan acara olahraga yang memastikan para atlet, panitia, dan semua pihak yang terlibat negatif Covid-19 serta beraktivitas dalam satu area. Hal itu guna menekan potensi penularan virus SARS-CoV-2 dari kontak luar.
Selama beraktivitas di luar kamar, atlet diminta selalu menggunakan masker, menjaga kebersihan, dan menjaga jarak dengan siapa pun. Mereka dilarang keluar kompleks hotel. Jika butuh segala keperluan dari luar hotel, mereka bisa minta dibelikan atau disediakan perantara atau pendamping.
”Karena memang sedang pandemi Covid-19, kami tak masalah dengan konsep seperti ini. Justru bagus karena bisa menenangkan diri sebelum lomba,” kata pelari putri senior asal Nusa Tenggara Timur, Oliva Sadi.
Pretty Sihite (23), pelari putri lain, mengatakan, sistem gelembung cukup menjenuhkan karena mereka tidak bisa melakukan aktivitas lain. ”Biasanya, kalau datang ke Borobudur Marathon, saya bisa sekalian berwisata dan belanja. Tapi, saya maklum, kondisi ini karena demi kepentingan dan kesehatan bersama,” ujarnya.
Kendati ruang gerak terbatas, hal itu tidak menghalangi para atlet tetap menjaga tubuh. Mereka sangat mengoptimalkan jadwal latihan sekaligus pengenalan lintasan pada Jumat pagi. Sekitar pukul 04.30, dengan menggunakan bus, mereka menuju lokasi latihan yang persis berdampingan dengan Candi Borobudur.
Mulai pukul 05.00, para atlet yang dibagi dalam tiga kelompok langsung ke lapangan. Delapan pelari putra awal melakukan tes memutari lintasan sekitar pukul 05.30. Sekitar 15 menit kemudian, sembilan pelari putra lain melukan tes serupa dan dilanjutkan sembilan pelari putri sekitar 15 menit selanjutnya.
Setelah satu jam, para atlet menyudahi latihan. Dengan keringat bercucuran, wajah mereka tetap semringah. Mereka senang menyambut peluang berlomba lagi setelah sempat lama vakum karena tidak ada lomba sejak pandemi melanda Maret silam.
”Saya pernah mengikuti Borobudur Marathon 2017 dan 2018, tetapi hanya di nomor 10K. Selama ini, rute lomba selalu di luar Borobudur. Jadi, penting sekali untuk kami mengenal rute yang baru ini,” kata Pretty yang baru kali ini terjun di nomor maraton penuh.
Selepas berlatih, para atlet kembali ke hotel untuk sarapan. Sekitar pukul 09.00, sejumlah atlet melakukan senam peregangan otot di teras kamar masing-masing. Setelah itu, beberapa minta fasilitas fisioterapi. Secara bergiliran, satu per satu atlet memasuki ruang fisioterapi untuk merelaksasi otot setelah berlatih.
Menurut Pretty, ada plus dan minus penerapan gelembung. Positifnya, para atlet bisa lebih konsentrasi menjaga kebugaran sebelum berlomba. Apalagi, segala keperluan mereka difasilitasi oleh panitia melalui pendamping.
”Biasanya, kami harus mencari sendiri jika ada keperluan. Kadang tergoda untuk jalan-jalan. Itu pastinya mengurangi waktu istirahat,” ucap pelari spesialis 3.000 meter halang rintang dan 5.000 meter di pelatnas Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) tersebut.
Minusnya, lanjut Pretty, para atlet tidak bisa ke mana-mana. Tak dimungkiri, hal itu membuat mereka bosan. Untuk mencegah kebosanan, para atlet mengisi waktu dengan melakukan sejumlah hobi. Atlet asal Kupang, NTT, Isak Cerlintho Aleut (21), misalnya, menghibur diri dengan berselancar mencari film-film baru dan musik-musik favorit dari Youtube.
Sementara pelari asli Magelang, Nugroho (25), menyenangkan diri dengan mengedit dan mengunduh video-video untuk konten Youtube pribadinya, Nugroho Channel. ”Selain itu, saya main gim daring lewat ponsel,” ujarnya.
Kesiapan diri menjelang perlombaan sangat penting. Apalagi, mereka akan menjalani perlombaan maraton dengan sistem yang tak biasa. Jika biasanya rute Borobudur Marathon di jalan umum yang memungkinkan mendapat semangat dari warga, kini mereka berlari dalam kesunyian. Mereka akan melintasi 12 lap mengitari kompleks Candi Borobudur.
Race Director Borobudur Marathon 2020 Andreas Kansil menuturkan, 14 hari sebelum perlombaan, atlet sudah dimonitor, antara lain dengan mengisi formulir harian guna mengetahui perkembangan kondisi, fisik, ataupun psikologis. ”Tes swab (usap) juga dilakukan tiga kali. Penapisan awal tujuh hari sebelum berangkat, sebelum karantina, dan terakhir sebelum pulang,” kata Andreas.
Direktur Medis Borobudur Marathon 2020 Andi Kurniawan menjelaskan, sistem gelembung bertujuan melindungi atlet dari penularan ataupun menularkan Covid-19. Kalau diberi kesempatan keluar lokasi karantina, mereka dikhawatirkan tertular virus dan berpotensi menyebar di lokasi isolasi sehingga menjadi kluster penyebaran baru.
Di sisi lain, dengan metode gelembung itu, atlet memiliki banyak waktu menyiapkan fisik dengan optimal sebelum berlomba. Tim medis, terdiri dari empat dokter dan empat fisioterapi, pun bisa terus mengontrol kondisi atlet agar benar-benar bugar saat berlomba.
Hal ini penting karena para atlet sudah lama tidak berlomba di kala pandemi Covid-19. Meski rutin latihan, intensitasnya diturunkan 30-50 persen dibandingkan pada masa normal. Ketika harus ikut lomba kembali, mereka tidak dianjurkan meningkatkan intensitas performa secara drastis.
Sistem gelembung bertujuan melindungi atlet dari penularan ataupun menularkan Covid-19. Kalau diberi kesempatan keluar lokasi karantina, mereka dikhawatirkan tertular virus dan berpotensi menyebar di lokasi isolasi sehingga menjadi kluster penyebaran baru.
”Kami mengedukasi agar kurva grafik para atlet naik melandai, bukan menukik, dari program latihan ke lomba. Kalau terlalu dipaksakan, itu berpotensi menimbulkan cedera lutut, sendi, dan otot. Kami tidak ingin itu terjadi karena mereka aset bangsa,” kata Andi.
Pada masa yang tak normal seperti saat ini, para atlet Borobudur Marathon 2020 dituntut menyiapkan diri secara luar biasa. Sistem gelembung memungkinkan mereka lebih fokus sembari tetap mencegah potensi penularan Covid-19.