Mental Juara Hendra dan Ahsan Ditempa dari Tekanan
Mental bertanding yang tertempa dari pengalaman panjang sebagai pemain menjadi faktor kunci bagi Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan untuk bertahan dalam persaingan papan atas ganda putra bulu tangkis dunia.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Tak sedikit atlet yang masih aktif bersaing setelah melampaui usia emas mereka. Namun, tak banyak yang bisa konsisten berada dalam jajaran level elite dunia seperti Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan. Mental juara pebulu tangkis ganda putra itu terbentuk berkat kemampuan mereka mengatasi tempaan tekanan yang selalu dibawa pada setiap penampilan.
Dalam usia 36 tahun dan 33 tahun, pasangan peringkat kedua dunia itu menjadi ganda putra tertua dalam posisi 10 besar dunia. Hanya pemain Denmark, Mathias Boe (40), yang berusia lebih tua dari mereka dari jajaran 20 besar dunia ganda putra.
Selain kematangan dalam teknik dan menerapkan pola permainan, kekuatan mental disebut sebagai faktor utama yang membawa ganda berjulukan ”The Daddies” itu pada posisi seperti saat ini.
”Kekuatan mental adalah yang utama. Atlet bulu tangkis harus punya itu. Mental kami bertambah kuat berkat pengalaman karena setiap bertanding, kami pasti berada dalam tekanan,” tutur Ahsan pada acara bincang virtual media bertema ”Perjuangan Klub dalam Melahirkan Pahlawan Bulu Tangkis Indonesia”, Kamis (12/11/2020).
Atlet binaan PB Djarum itu memberi contoh ketika beban di pundaknya menumpuk saat tampil pada Asian Games Incheon 2014. Hendra/Ahsan diberi target mendapat medali emas.
Target tersebut terasa amat berat karena sebelum bertanding di Incheon, September, Ahsan mengalami cedera pinggang. Akibat cedera tersebut, Hendra/Ahsan harus melepas gelar juara dunia karena absen dalam Kejuaraan Dunia di Denmark yang berlangsung sebulan sebelum Asian Games. Batal berangkat ke Denmark pada saat terakhir membuat mentalnya jatuh.
Di lapangan, rival terberat ketika itu, Lee Yong-dae/Yoo Yeon-seong, tampil di hadapan pendukung sendiri. ”Hal lain yang ketika itu saya dengar adalah pelatih akan diganti jika kami kalah. Jadi bebannya bertambah banyak,” kata Ahsan.
Ia tak memungkiri merasakan beban yang teramat berat. Namun, ketika memasuki lapangan pada setiap laga, hanya satu hal yang menjadi fokusnya, yaitu pertandingan. ”Memang tak mudah, tetapi itu harus dilakukan. Ada kalanya berhasil, kadang juga gagal,” kata Ahsan.
Upayanya untuk bangkit, secara fisik dan mental, akhirnya membuahkan medali emas di Incheon. Maka, Ahsan pun menyebut momen tersebut sebagai kemenangan yang paling berkesan dalam kariernya.
Adapun Hendra memilih kemenangan dalam All England 2019 sebagai momen ketika kekuatan mental mampu mengatasi kendala. Saat itu, Hendra mengalami cedera betis kanan sejak semifinal. Gerakannya terbatas, bahkan termasuk untuk berjalan.
Namun, tekadnya untuk menyelesaikan pertandingan sangat besar. Didukung Ahsan yang bisa menutupi ”lubang” karena keterbatasan gerakan Hendra, mereka memenangi semifinal, bahkan menjadi juara. Ini menjadi titik balik kebangkitan Hendra/Ahsan yang sempat diragukan bisa bersaing di papan atas dengan pasangan-pasangan muda.
”Setiap kali bertanding, kami membawa nama Indonesia. Memang berat. Untuk itu, saya selalu berusaha fokus hanya pada pertandingan untuk menghilangkan beban,” kata Hendra, atlet binaan PB Jaya Raya.
Faktor penting
Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wigoeno mengatakan, salah satu faktor yang dinilai oleh pelatih ketika memilih atlet untuk dibina di klubnya adalah mental. ”Faktor pertama yang bisa dilihat tentu postur, lalu penguasaan teknik bermain. Namun, ketangguhan mental juga biasanya bisa terlihat sejak awal. Mental sangat penting karena atlet tak akan bisa bersaing meski fisik dan teknik bagus. Banyak pemain yang seperti ini, bagus di latihan, tetapi selalu kalah pada pertandingan,” tutur Imelda.
Maka tak heran, lanjut juara ganda putri (bersama Verawaty) dan campuran (Christian Hadinata) All England 1979 ini, dari sekian banyak atlet yang dibina oleh klub, hanya sedikit yang bisa mencapai prestasi tingkat dunia. ”Bisa dapat satu dari delapan orang saja sudah bagus,” katanya.
Direktur Program Bakti Olahraga Yayasan Djarum Yoppy Rosimin bercerita betapa banyaknya tantangan yang dihadapi untuk melahirkan atlet level elite dunia. Dimulai dari perekrutan, melalui audisi umum dan khusus yang dilakukan PB Djarum, atlet ditempa dalam latihan berat di klub. Saat ada kesempatan, barulah mereka bergabung di pelatnas.
”Dalam membina atlet, klub harus benar-benar menjaga mereka karena kami ini ibaratnya pengganti orangtua mereka di rumah. Proses membina butuh waktu panjang. Kevin, misalnya, butuh waktu 10-11 tahun sejak bergabung di Djarum, lalu masuk level elite dunia,” ujar Yoppy, merujuk pada Kevin Sanjaya Sukamuljo yang bergabung dengan PB Djarum melalui audisi pada 2007.
Berpasangan dengan Marcus Fernaldi Gideon sebagai ganda putra nomor satu dunia, Kevin menjadi penerus dari Hendra/Ahsan, pasangan senior yang selalu disegani setiap lawan berkat ketangguhan mental mereka.