Latar belakang calon ketua umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia bukan masalah selama sosok tersebut menguasai seluk-beluk bulu tangkis dan berkomitmen memajukan cabang paling berprestasi ini.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Jabatan ketua umum Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia atau PP PBSI akan berpindah dari tangan Wiranto, yang memimpin periode 2016-2020, pada salah satu dari dua calon yang terdaftar di Tim Penjaringan Bakal Calon Ketua Umum PP PBSI 2020-2024. Mereka adalah Ketua Badan Pemerika Keuangan Agung Firman Sampurna dan Ketua Pengurus Provinsi PBSI Banten Ari Wibowo.
Hingga Senin (2/11/2020), tim penjaringan masih memverifikasi syarat administratif Agung dan Ari. Mereka yang lolos akan diundang memaparkan visi dan misi pada Musyawarah Nasional PBSI di Tangerang, 5-6 November.
Pengecekan dilakukan atas surat pernyataan kesiapan menaati Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PBSI serta tidak sedang menjadi pengurus cabang olahraga lain dan pengurus KONI di semua tingkat. Calon ketua umum juga harus menyerahkan minimal 10 surat dukungan Pengurus Provinsi (Pengprov) PBSI yang sah.
Dengan klaim dukungan 26 dari 32 pengprov pemilik suara, Agung tampaknya tinggal menunggu waktu disahkan sebagai pengganti Wiranto. Hasil aklamasi pun akan memperpanjang ”tradisi” pemilihan ketua umum PBSI yang selalu sepi pendaftar, tidak seperti PSSI, induk cabang olahraga terpopuler di Indonesia.
Agung mendapat sorotan lebih daripada Ari karena merupakan petinggi dari panggung birokrat. Namanya dimunculkan Wakil Ketua I PBSI Alex Tirta, yang menjagokan Wiranto pada Munas 2016, sejak pekan ketiga September. Padahal, PBSI masih membicarakan kemungkinan mundurnya munas akibat pandemi Covid-19.
Setelah nama Agung dimunculkan, suara pengprov yang menjagokannya pun bermunculan meskipun visi dan misi Agung untuk bulu tangkis Indonesia belum terdengar.
Agung, Ketua BPK periode 2019-2024, berlatar belakang birokrat tulen. Ayahnya adalah Kahar Muzakir, tokoh senior Golkar di DPR. Karier Agung dimulai di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, lalu berlanjut ke tingkat provinsi, hingga pusat. Tak pernah sekali pun dia memimpin organisasi olahraga.
Sementara itu, Ari, yang dikatakan mendapat dukungan 11 pengprov di awal, adalah pembina klub bulu tangkis di Banten. Dia menjabat Ketua Pengprov PBSI Banten periode 2016-2020. Kisruh terjadi ketika Ari, yang masa kepemimpinannya berakhir Desember, diganti melalui Musyawarah Provinsi yang diselenggarakan pada Minggu (1/11/20).
Kejanggalan juga terjadi dengan adanya jumlah dukungan pada kedua bakal calon yang melebihi pemilik suara resmi. Ini menjadi indikasi dukungan ganda pengprov tertentu yang diluruskan lewat verifikasi.
Jika Ari akhirnya dinyatakan lolos, persaingan dua calon akan terjadi di munas. Hasil aklamasi masih bisa terjadi, sedangkan skenario lain adalah pemungutan suara yang belum pernah terjadi di Munas PBSI.
Tunjukkan komitmen
Atlet, pelatih, dan pengurus klub sebenarnya tak terlalu berharap pada lahirnya pemimpin ideal versi mereka, yaitu sosok yang lahir dari dunia bulu tangkis. Seperti ketika Dick Sudirman memimpin PBSI pada (1952-1963, 1967-1981), serta Ferry Souneville (1981-1985). Atau Zhang Jun, mantan atlet China yang saat ini memimpin Asosiasi Bulu Tangkis China, atau Poul-Erick Hoyer yang menjadi Presiden Bulu Tangkis Dunia (BWF).
Richard Mainaky (pelatih ganda campuran pelatnas), Herry Iman Pierngadi (pelatih ganda putra), dan Hendra Setiawan (pemain ganda putra) mengharapkan ketua umum yang bisa mengayomi mereka.
”Harus punya waktu untuk bertemu atlet dan pelatih, terutama atlet. Selama 25 tahun melatih di pelatnas, saya melihat kedekatan dan komunikasi ketua umum dan atlet sangat penting. Atlet adalah ujung tombak prestasi Indonesia,” ujar Richard.
Hendra tak berharap ketua umum bisa menjumpai atlet setiap hari, atau setiap pekan. ”Sekali hingga dua kali sebulan sudah cukup asalkan mau meluangkan waktu dan mendengarkan kami,” kata atlet yang telah menjadi anggota pelatnas sejak 2002 itu.
Mantan atlet bulu tangkis, Imelda Wigoeno, memberi contoh latar belakang ketua umum bukan masalah besar bagi warga bulu tangkis asalkan punya komitmen untuk cabang yang dipimpinnya. ”Pak Try Soetrisno sibuk sebagai tentara, tetapi dia selalu meluangkan waktu untuk atlet. Komitmennya diperlihatkan dengan meminta pengusaha turut membantu mengembangkan bulu tangkis, hingga lahirlah pusdiklat bulu tangkis di daerah,” ujar Imelda tentang Ketua Umum PBSI 1985-1993 itu.
Berbicara sebagai Ketua Harian PB Jaya Raya, Imelda berharap ketua umum bisa membangun hubungan baik dengan klub. ”PP PBSI dan pengprov ibarat orangtua bagi klub. Klub yang melahirkan atlet untuk tim nasional, jadi klub harus diperhatikan. Apalagi, pada masa pandemi Covid-19 seperti ini, banyak klub kesulitan menggelar latihan karena kekurangan dana. Perhatian dari PBSI lebih dibutuhkan lagi,” lanjut Imelda, yang meraih dua gelar All England 1979 dari ganda campuran (bersama Christian Hadinata) dan ganda putri (Verawaty).
Ketua umum lain yang bisa menjalin komunikasi dengan atlet adalah Soerjadi. Sosok berlatar belakang tentara ini meneruskan kepemimpinan Try, pada 1993-1997.
Mantan atlet Rexy Mainaky bahkan menyebut Soerjadi sebagai sosok ayah bagi pemain. Empat tahun lalu, ketika Soerjadi meninggal dunia, Rexy bercerita momen ketika Soerjadi memimpin tim Piala Thomas dan Uber Indonesia menjadi juara pada 1994 dan 1996.
”Soerjadi bisa membuat tim menjadi kompak. Saya ingat, saat Indonesia juara Piala Thomas-Uber 1994, Pak Soerjadi lompat ke kolam renang hotel bersama tim. Padahal, beliau mengenakan seragam TNI,” kenang Rexy.
Maka, tak ada yang salah dengan apa pun latar belakang ketua umum asalkan punya niat tulus untuk satu-satunya cabang yang telah memberikan medali emas Olimpiade bagi ”Merah Putih” ini.
Tak kalah penting, jangan membawa agenda di luar bulu tangkis, terutama politik, yang bisa menyita perhatian karena tanggung jawab sebagai ketua umum PBSI tak sebatas lingkungan pelatnas Cipayung. Meski menjadikan organisasi olahraga sebagai batu loncatan untuk posisi lain menjadi hal yang lumrah di negara ini, fenomena itu tak seharusnya terjadi.
Tugas keseharian bisa dilimpahkan kepada pengurus, tetapi kepemimpinan ketua umum tetaplah penting. Tanpa komitmen, ketua umum PBSI hanya akan menjadi tambahan dalam daftar riwayat hidup Agung atau Ari, tetapi tanpa prestasi.