Menjadi bintang memang menggiurkan. Dorongan ini kerap membuat pemain muda melupakan sesuatu yang seharusnya menjadi perhatiannya, yaitu menempa diri sebelum terjun ke jenjang berikutnya.
Oleh
Adrian Fajriansyah/Benediktus Krisna Yogatama/Dhanang David Aritonang/Madina Nusrat
·4 menit baca
Ketenaran kerap menyilaukan mata pemain muda. Apalagi jika ia dapat tampil memikat di lapangan hijau. Tak hanya klub yang mengincar, pendukung dan penggemar pun mengintai hingga menjadi bintang di media sosial. Konsentrasi menempa diri menjadi pemain profesional pun sering teralihkan.
Sebut saja Ronald (18), pemain timnas Indonesia yang kini tengah berlatih di Eropa. Ia tak hanya menjadi bintang di lapangan, tetapi juga di media sosial, seperti yang ia tunjukkan di akun media sosial. Ia tak hanya menampilkan performanya di lapangan bola, tetapi juga mempromosikan produk-produk tertentu. Ronald pun menjadi satu dari sekian banyak pemain muda yang tampil bak bintang di media sosial.
Sang ayah, sebut saja Zaelani (51), saat ditemui pada Rabu (23/9/2020) mengungkapkan, pencapaian Ronald saat ini tidak hanya karena berlatih keras sejak usia dini, tetapi juga karena didampingi seorang perantara pemain. Lewat si perantara itu, Ronald dipromosikan ke klub-klub di Jabodetabek sejak Ronald usia 15 tahun.
Hingga kini, menurut Zaelani, Ronald masih dalam kendali si perantara. Semua kegiatan Ronald pun harus dibicarakan dengan yang bersangkutan, baik kegiatan sepak bola maupun kegiatan yang muncul akibat popularitas yang kini disandangnya.
Contohnya untuk mengiklankan produk, Ronald mengikuti arahan si perantara. Dari iklan itu, Ronald mendapatkan honor hingga peralatan dari produk bersangkutan, salah satunya produk apparel buatan Indonesia. ”Semuanya diomongkan ke dia. Dia manajernya. Yang mencari sponsor (untuk Andre), kan, dia juga,” ujar Zaelani.
Zaelani mengakui, ia tak tahu persis nilai kontrak Ronald sebagai pemain sepak bola ataupun jasanya mempromosikan produk-produk komersial di media sosial karena semua perjanjian hanya melibatkan perantara dan Ronald. Yang diketahui Zaelani, perantara memperoleh imbalan dari setiap kontrak yang ditandatangani Ronald. ”Saya awam di situ (dunia sepak bola),” kata Zaelani.
Zaelani sadar bahwa pemain muda seperti Ronald berpotensi alami sindrom bintang (star syndrome) jika terlalu aktif di dunia luar sepak bola. ”Kalau saya lihat sih, dia (Ronald) belum sukses. Masih banyak harus dipelajari,” tuturnya.
Saat dikonfirmasi, si perantara menjelaskan, dirinya bekerja dalam konteks konsultasi pemasaran. Menurut dia, anak-anak seusia Ronald tidak mengerti nilai jual mereka. ”Tetapi, keputusan tetap di orangtuanya. Perlu ditekankan di sini, kami tidak cari-cari endorse-an. Klien datang sendiri,” ujarnya.
Ia menjelaskan, semua pendapatan masuk ke rekening orangtua pemain sehingga bisa membantu ekonomi pemain yang umumnya dari keluarga tidak mampu. Mengenai star syndrome, si perantara mengaku, dirinya selalu meminta para pemain untuk memilih produk yang cocok dengan usianya dan jangan terlalu aktif di media sosial. ”Saya melarang mereka membuat akun Youtube,” ujarnya.
Sindrom merasa sebagai bintang terlalu dini ini bukan hal baru di kalangan pemain muda. Rafi Hamdani (17), pemain di PS Barito Putera, mengungkapkan, star syndrome perlu dihindari pemain muda. Sindrom ini merupakan buaian sesaat yang bisa mengancam masa depan pemain. Ia menyayangkan banyaknya pemain muda yang tampil bak bintang di medsos. ”Untuk menghindarinya, saya meminta teman mengingatkan agar tidak jemawa,” tuturnya.
Dalam buku sepak bola usia muda, Youth Football, yang diterbitkan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), pun disinggung bahwa bekal menjadi pemain sepak bola tak terbatas keterampilan fisik, tetapi juga kemampuan memperkuat mental dan menggunakan intuisi untuk mengendalikan bola. Karena itu, dalam berlatih sepak bola, pemain muda tetap harus menjalani pendidikan formal.
Dalam buku panduan itu dijelaskan bahwa tren dalam sepak bola modern menunjukkan bahwa kekuatan mental menjadi kapasitas kunci bagi pemain dan bagian penting dari pelatihan. Tak diragukan lagi, menyiapkan mental untuk kompetisi adalah elemen penting dan akan menjadi hal yang mendasar bagi pengembangan sepak bola papan atas pada tahun-tahun mendatang.
Pendiri sekaligus pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Bintang Ragunan Teuku Chairul Wisal pun memandang, pada zaman digital sekarang, pesepak bola tidak bisa lepas dari potensi menjadi publik figur. Sementara belum semua pesepak bola bertanggung jawab dengan profesinya.
”Belum semua pemain paham dengan batasan-batasan yang ada. Harusnya mereka mengutamakan dulu kualitas diri. Ketika sudah mencapai prestasi tertinggi, barulah mereka layak menjual diri sesuai kemampuannya,” kata mantan pemain Persija tahun 1982-1985 ini.
Teuku mencontohkan, saat Alex Ferguson melatih Manchester United (Inggris), ia melarang pemain belasan tahun, seperti David Beckham, bertemu wartawan. Padahal, Beckham sudah membela tim senior. ”Baru ketika dewasa, Beckham diizinkan bertemu wartawan. Kenapa Ferguson melakukan itu? Agar dia fokus pada sepak bola,” katanya.