Pemain Inti Meniti Proses Sedari Dini
Pemain muda sepak bola perlu mendapatkan atmosfer berkembang sesuai dengan usianya. Tahap demi tahap sebaiknya dilalui secara telaten demi membentuk seorang pemain profesional di jenjang inti.
Bagi segelintir pelatih, memandu pemain ke Liga 3 lebih masuk akal dibandingkan dengan memacu masuk klub demi bermain di Elite Pro Academy Liga 1. Bukannya menghindar dari kompetisi yang ketat, tetapi dukungan dana dan kesempatan bertanding lebih masuk akal untuk Liga 3.
Pilihan itu diambil oleh Tomi Haryanto, Pelatih Sekolah Sepak Bola Kabomania, Bogor, Jawa Barat. Menurut dia, meski hanya di Liga 3, para pemain di bawah asuhannya memiliki kesempatan lebih besar untuk bertanding karena kompetisi Liga 3 didanai pemerintah daerah.
SSB Kabomania, ia memberikan contoh, memiliki klub Liga 3 dengan nama Kabomania. Klub itu didanai Pemerintah Provinsi Jabar meskipun Tomi juga mengharapkan ada investor untuk klub ini.
”Sekarang, tuh, mendingan main di Liga 3 karena dapat dana dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Memang, sih, uang saku biasanya sekitar Rp 1 juta untuk anak-anak usia segini (pemain sepak bola usia muda). Sementara fasilitas di Elite Pro itu enggak jelas,” tutur mantan pemain PSSI Baretti, Italia ini, Jumat (18/9/2020).
Tomi menilai demikian karena ia memiliki pengalaman tak mengenakan sebagai pelatih Elite Pro Academy U-18 dan U-20 Badak Lampung FC pada 2019. Ia hanya digaji 2 bulan untuk melatih selama 6 bulan. ”Saya gabung sejak Juni 2019, baru gajiannya akhir musim,” ujarnya dengan nada jengkel.
Terhitung 2018, Elite Pro Academy Liga 1 U-16 digelar untuk pertama kali, disusul EPA Liga 1 U-18 pada 2019. Sejak itu, pemain sepak bola usia muda menjadi daya tarik pelatih dan perantara pemain untuk disalurkan ke klub.
Beni (16), bukan nama sebenarnya, pernah direkrut Persija untuk EPA U-16. Setelah 6 bulan berlatih di klub pada 2019, ia memutuskan mengundurkan diri karena tak dikontrak dan tak diberikan pula haknya atas beasiswa. Padahal, dalam Regulasi EPA Liga 1 U-16, klub harus mengontrak pemain dan memberikan beasiswa.
Bahkan, menurut Tomi, kuatnya daya tarik EPA Liga 1 ini dimanfaatkan segelintir orang untuk melancarkan penipuan. Ia mengungkapkan, belum lama ini SSB Kabomania dititipi dua pemain muda asal Kediri, Jawa Timur, oleh kenalannya sesama pelatih.
Kedua anak itu dijanjikan oleh seorang agen, bakal bermain di PS Tira Persikabo, Bogor, untuk EPA U-20. Kedua anak itu, menurut Tomi, masing-masing telah membayar Rp 15 juta kepada agen pemain tersebut agar bisa main di klub. Setibanya di Bogor, keduanya seperti kehilangan kontak dengan agen pemain hingga akhirnya dititipkan di SSB Kabomania.
Namun, diakui Tomi, ia tak begitu akrab dengan pelatih yang menitipkan kedua anak itu. ”Dia ini teman, cuma saya enggak begitu akrab. Tahu-tahu dia pergi (setelah mengantarkan kedua anak tersebut). Saya tanya, (dia) diam saja. Kasihan anaknya,” ujarnya.
Karena tak ada kepastian, kedua pemain muda itu pulang ke Kediri. ”Selanjutnya, (nasib kedua pemain muda itu) saya tidak tahu. Mereka pulang,” ucap Tomi.
Sistem terintegrasi
Sebagian kalangan pelatih di SSB berharap pemerintah dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) membangun sistem yang terintegrasi. Sistem bisa menyajikan hubungan timbal balik yang menguntungkan saat perekrutan, baik untuk SSB maupun klub. Dengan demikian, kualitas SSB meningkat dan dapat menelurkan talenta muda sepak bola yang mumpuni.
Pelatih SSB Buperta Jumhari Saleh mengatakan, fondasi awal pemain terletak pada awal pembinaannya, yakni di SSB. ”Kalau PSSI mau timnas (tim nasional) yang bagus, ya, mulai dibenahi dari pangkalnya. Akar rumputnya. Jangan hanya mulai dilihat dari (pemain) usia 16 dan 19 tahun,” katanya.
Menurut analis pemain sepak bola dari Lembaga Analis Sepakbola Tim 11, Asep Padian, selama ini pembinaan di SSB dan klub berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergitas. Idealnya, klub menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan SSB.
Asep berpendapat, klub hanya mau terima praktisnya, yakni mengambil pemain yang bagus dan potensial dari SSB. Tidak memberikan imbal balik bagi SSB yang sudah membina pemain sejak nol.
”Kan, yang ngajarin posisi kaki menendang yang benar, kan, di SSB, klub hanya meneruskan,” ujar Asep.
Ia mengatakan, kompensasi dari klub ke SSB bisa berupa pemberian perlengkapan, seperti bola, kaus, rompi, atau sepatu. ”Perlengkapan ini bisa dipakai yunior-yuniornya di SSB. Nanti kalau (ada pemain) bagus, klub bisa komunikasi untuk merekrutnya. Ini, kan, pembinaan bisa berjalan.”
Masa pembentukan
Pemilik sekaligus pelatih SSB Bintang Ragunan Teuku Chairul Wisal mengungkapkan, tujuan utama pembinaan usia muda bukan mengejar juara atau prestasi, melainkan masa untuk melahirkan pemain dengan baik dan benar. Berkaca pada pengalaman Teuku saat menjadi pemain Persija Jakarta di Kompetisi Perserikatan 1982-1985, pembinaan usia muda ia lalui dengan sabar dan terstruktur.
Sebagai pembanding, pada era 1980-an, timnas Indonesia yunior selalu juara atau menempati 3 besar pada kejuaraan regional, Asia Tenggara, dan Asia. Namun, prestasi ini tidak berlanjut ke jenjang senior atau dewasa. ”Sebab, prosesnya tidak diikuti. Mereka (pemain muda Indonesia) sudah diforsir ketika usia muda,” ujar mantan pemain belakang atau bek ini.
Sebaliknya, pemain-pemain yang berproses alami secara bertahap tanpa tekanan besar untuk menjadi pemain elite justru berhasil menembus klub hingga timnas. Ia pun menunjuk dirinya sebagai bagian dari pemain itu. ”Proses itu harus (dijalani). Asal tekun dan displin,” kata Teuku yang pensiun dini karena cedera patah kaki.
Karier Teuku dimulai sebelum usianya menginjak 16 tahun. Ia bergabung dengan klub Indonesia Muda Jakarta Selatan, anggota perserikatan Persija. Awalnya, ia anak gawang atau pengambil bola saat pertandingan. Seiring proses, Teuku dipercaya menjadi pemain inti klub tersebut.
Dari situ, Teuku mengikuti seleksi klub Jayakarta Jakarta Pusat, anggota perserikatan Persija pada usia 16-17 tahun. Dia mulai mengalami latihan lebih keras, seperti berlari dan mengolah bola dengan memakai rompi pasir, pemberat kaki, serta bola berat. Tidak lama, ia berhasil menembus skuad inti Persija dan masuk tim PSSI ”putih” atau timnas Indonesia lapis kedua dari tiga lapisan yang ada.
”(Salah satu kuncinya) orangtua saya tidak ambisius (terhadap karier sepak bola anaknya). Orangtua saya mendukung sewajarnya. Seperti Ibu yang selalu menyiapkan makanan ketika saya akan berangkat berlatih. (Padahal) mereka tidak pernah lihat saya latihan. Ibu baru lihat saya ketika sudah main di Persija (dalam pertandingan). Bapak lihat saya ketika main untuk PSSI putih di Bandung (Jawa Barat),” tutur pria berdarah Aceh tersebut.
Sayangnya, Teuku menuturkan, dari dulu hingga sekarang masih banyak pelatih dan orangtua yang tidak memahami itu. Pelatih justru menjerumuskan pemain muda untuk berlatih dan bertanding melebihi kapasitas usianya. Ini karena tidak semua pelatih usia muda, terutama di SSB, memiliki kapasitas melatih dengan baik atau memiliki sertifikat kepelatihan.
”Enggak mungkin dia (pelatih) dapat sertifikasi kalau dia enggak becus di kursusnya (kursus mendapatkan sertifikat kepelatihan). Kita percaya mereka (pemain) dilatih sama yang ini (pelatih bersertifikat) hasilnya pasti akan the best,” ujar pria yang memiliki sertifikat Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) C atau sertifikat kepelatihan level Asia yang terendah.
Terkadang, tambah Teuku, demi tujuan menjadi pesepak bola profesional, pendidikan pemain terabaikan. Padahal, pendidikan amat penting karena memengaruhi pola pikir pemain di lapangan. Pemain yang cerdas secara akademik pasti akan menjadi atlet yang lebih baik.
Pendidikan juga menjadi modal bagi pemain yang pensiun. Umumnya masa pensiun pada usia 36 tahun. ”Perlu dipahami pula, dari semua anak yang berlatih bola, tidak semuanya menjadi pemain bola (pesepak bola profesional). Ketika di SSB, anak gawang, tetap saja yang menonjol 1-2 orang. Yang lain berguguran dan (harus) memilih menjadi kerja di beberapa kantor (kerja di bidang lain),” tutur Teuku.
Jovani Renaldy (18), pemain muda yang merasakan bermain membela Kooger Football Club (KFC), Belanda, selama 2018-2019, mengungkapkan, tidak selamanya berlatih keras dapat membuat pemain andal dalam mengendalikan bola. Pendapatnya itu berangkat dari pengalamannya berlatih di Indonesia dan di Belanda.
Menurut Jovani, ada perbedaan signifikan antara pemain di Belanda dan pemain di Indonesia. Hal tersebut tampak dari cara berlatih dan bermain ketika pertandingan. Durasi latihan di KFC sekitar 1,5 jam sekali latihan. Di Indonesia, lama latihan bisa sekitar 2,5 jam.
”Ketika di KFC, kalau berlatih hanya 3-4 kali seminggu. Sekali latihan hanya sekitar 1,5 jam, tetapi efektif. Tetapi, pemain di Belanda lebih cepat mengambil keputusan ketika pertandingan, tidak sama seperti ketika saya bermain di SSB ASIOP saat di Indonesia. Jadi, kalau pemain sudah menerima bola, ia segera tahu bola harus dioper ke pemain mana, kemudian harus melakukan tindakan apa,” ucapnya.
Perbaikan
Semua problematika itu harus dibenahi agar tidak terus terjadi dan mendarah daging.
Ketua Program Studi Kepelatihan Fisik Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Dikdik Zafar Sidik mengutarakan, saat usia muda, para pemain harus fokus berlatih untuk meningkatkan dan membuktikan mental dan kualitas permainan di lapangan.
”Sering kali, tahapan belajarnya diabaikan (terutama untuk pembinaan atlet atau pesepak bola usia muda). Pembinaan justru lebih mengedepankan latihan untuk bersaing atau mengejar kemenangan,” ujar Dikdik.
Dikdik berharap pemerintah membuat regulasi yang tegas guna membenahi mekanisme pembinaan atlet dari usia muda sampai dewasa. Pemerintah bisa membuat proyek percontohan (pilot project) pembinaan yang ideal. PSSI bisa mengarahkan salah satu klub nasional untuk menerapkan pembinaan terstruktur layaknya klub-klub dunia, seperti Barcelona atau Real Madrid di Spanyol dan Liverpool di Inggris.
”Yang bagus, ya, kita buatkan roadmap-nya (peta jalan pembinaan olahraga/sepak bola nasional) untuk people perform, (ada kepastian) high perform (atlet/pesepak bola bersangkutan) di mana. Dan, itu harus tertata di kurikulum dan pedomannya (untuk diterapkan di semua SSB ataupun klub),” kata Dikdik.
Hingga Juni 2020, Peta Jalan Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional telah diterbitkan pemerintah. Peta jalan ini terbilang terlambat karena semestinya diterbitkan Juni 2019 atau 6 bulan setelah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang percepatan pembangunan persebakbolaan nasional diterbitkan pada Januari 2019.
Masalahnya, seperti diungkapkan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto, peta jalan belum dapat diimplementasikan dalam waktu dekat. Bahkan, peta jalan kemungkinan besar belum diterapkan pada 2021 karena anggaran tersedot untuk Piala Dunia, Pekan Olahraga Nasional, dan kegiatan lainnya.
Jika percepatan yang didorong Presiden pun belum menemukan keseimbang dalam implementasinya, rasanya para pemain muda masih harus menempuh jalan terjal menuju tangga profesional….