Keinginan dan Berlatih Tak Cukup Menjadikan Bintang
Semangat dan kerja keras saja tidak cukup bagi bibit muda. Pengendalian emosi dan keangkuhan diri harus ditempa demi menjadi bintang lapangan kelak.
Oleh
Adrian Fajriansyah/Benediktus Krisna Yogatama/Dhanang David Aritonang/Madina Nusrat
·4 menit baca
Doni (15), sebut saja demikian, pemain di salah satu sekolah sepak bola (SSB) di Jawa Barat ini memiliki obsesi yang sangat besar menjadi pemain di Tim Nasional Indonesia. Bahkan ia rela meninggalkan sekolah jika nantinya ditawari masuk klub demi menjadi pemain di EPA Liga 1 U-16.
"Ya, saya rela sih keluar dari sekolah demi masuk klub. Tetapi, hal itu harus dikomunikasikan dulu sama orang tua. Saya ingin mengejar cita-cita jadi pemain sepak bola," kata siswa kelas 1 SMA ini saat ditemui Sabtu, (19/9/2020).
Doni awalnya pernah ditawari oleh seorang agen pemain untuk masuk ke beberapa klub EPA, seperti Persija dan PS Tira Persikabo. Akan tetapi, Doni dilarang oleh pihak SSB untuk bergabung di klub tersebut.
"Saat ditawari untuk masuk klub, SSB saya sedang mengikuti liga. Lalu saya dilarang pelatih untuk bergabung klub EPA karena khawatir SSB akan mendapat sanksi dari tim liga," ucapnya.
Saat pandemi Covid-19 ini, banyak kompetisi sepak bola ditiadakan. Akan tetapi, Doni bertekad meraih kesempatan bergabung ke klub. "Kalau ada tawaran lagi (main di klub), pasti saya ikuti," ujarnya.
Doni adalah satu dari banyak anak yang telah menancapkan cita-cita menjadi pesepak bola profesional. Tak jarang, mereka sulit menerima kenyataan ketika impiannya tak tercapai.
Pengalaman VAN (15) juga mencerminkan hal serupa. Pesepak bola muda asal Tangerang Selatan ini semula terjun ke dunia sepak bola atas dorongan sang ayah, Sulaiman. Jadilah VAN menapaki SSB sejak usia dini.
Sulaiman, mengakui, sejak muda ia sangat tertarik dengan olahraga. Ia pun mencoba menularkan kegemarannya itu kepada ketiga anaknya, termasuk si sulung VAN. ”Jadi tujuannya saya nggak tinggi, yang penting jauhi anak-anak kita dari narkoba, pergaulan bebas, seks bebas. Alihkan fokus mereka ke olahraga,” kata Sulaiman.
Atas dasar itu, Sulaiman mengajak VAN berlatih di SSB sejak masih 8 tahun. Upaya ini tidak sia-sia. Beberapa kali VAN terpilih menjadi pemain inti.
Akan tetapi, semangat VAN surut saat terdepak dari skuad inti untuk kejuaraan sepak bola usia muda tahunan di luar negeri. VAN pun menjadi sempat putus asa, sehingga beralih bermain futsal.
VAN mengaku putus asa karena merasa sudah banyak pengorbanan yang diberikan untuk bermain sepak bola. Ia mengesampingkan sekolah dan les demi jadwal latihan yang padat dari sore hingga menjelang malam. ”Down banget pas udah nggak keluar negeri itu. Udah tinggi banget ngorbanin ini-itu. Pulang ke rumah sampai jam 9 malam (balik dari latihan),” ujarnya.
Setelah dinasihati sang ayah, VAN mulai berusaha bangkit dari kubangan keputusasaannya. Pelan-pelan, dia merajut lagi cita-citanya dan kembali ke lapangan hijau. ”Semenjak dibilangin gitu, jadi pengen main (sepak bola) lagi. Langsung punya tujuan ingin jadi pemain lagi, ingin lanjutin lagi,” katanya.
Pembinaan bertahap
Ketua Program Studi Kepelatihan Fisik Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Dikdik Zafar Sidik mengatakan, untuk menjadi profesional, atlet atau pesepak bola harus melalui pembinaan bertahap. Pembinaan dibagi sesuai kelompok usinya, mulai dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), perguruan tinggi, hingga dewasa.
Secara teori, tahapan pembinaan terdiri dari tiga, yakni learning to train and training to train, learning to compete and training to compete, dan learning to win and training to win.
”Maksudnya, sejak kecil, atlet harus belajar latihan untuk berlatih, belajar untuk bersaing dan latihan untuk bersaing, serta belajar dan berlatih jadi pemenang,” ujarnya.
Sayangnya, lanjut Dikdik, konsep pembinaan di Indonesia seringkali terputus. Tahapan belajar sering kali diabaikan. Pelatih lebih banyak memfokuskan atlet pada tahapan latihan, terutama mengiring atlet agar segera bisa bersaing dan menjadi pemenang, khususnya atlet muda ketika sudah masuk ke klub.
Hakikatnya, tahapan belajar memberikan komponen dasar yang harus dimiliki atlet hingga kapanpun. Salah satunya itu sikap displin dan saling menghargai sportivitas.
"Komponen dasar itu menjadi benteng atlet agar tidak mudah takabur atau jemawa. Kalau sudah takabur atau jemawa, karir atlet tidak akan panjang. Karena orang yang takabur, umumnya sudah berpuas diri sehingga tidak lagi berusaha keras untuk terus meningkatkan kualitas diri, dan penampilan (dalam bermain sepak bola). Padahal, selama berkarir, atlet harus terus mengasah dirinya," jelasnya.
Pada titik ini, semangat dan kerja keras saja tidak cukup. Para bibit muda harus juga belajar mengendalikan emosi dan keangkuhan diri.