Maraknya kompetisi sepak bola usia muda sebagian berdampak kisah pilu. Sejumlah pemain muda diduga direkrut tanpa dipenuhi hak-haknya.
Oleh
Adrian Fajriansyah/Benediktus Krisna Yogatama/Dhanang David Aritonang
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di balik gemerlap kompetisi sepak bola usia muda Elite Pro Academy (EPA), hak-hak pesepak bola usia muda yang terlibat di dalamnya, diduga kurang terpenuhi optimal. Investigasi Kompas menemukan sejumlah fakta, di antaranya penelantaran oleh klub, ketiadaan kontrak resmi, hingga diabaikannya hak pemain untuk mendapat pendidikan.
Kurang terpenuhinya hak-hak pemain muda ini diduga melibatkan klub, sekolah sepak bola (SSB), pelatih, perantara atau agen pemain, hingga orangtua. Temuan ini ibarat potret karut marut pembinaan sepak bola nasional. Berbagai regulasi hanya dijalankan sejauh ada niat baik dari pelatih atau pembina. Mengingat, andai aturan itu dilanggar, tidak pernah ada penegakan hukum.
Telantar di Samarinda
Tiga tahun lalu, Soni (bukan nama sebenarnya), pemain 18 tahun asal Jawa Barat, direkrut Borneo FC U-15 melalui perantaraan pelatihnya di SSB dan pelatih Borneo FC U-15 saat itu, M Arifin Syafril. Soni bergabung selama Juni-Desember 2017. Setelah itu, dia harus ikut seleksi masuk Borneo U-16 untuk Liga EPA U-16. Namun, saat akan seleksi, dia cedera lutut. Pelatih Borneo U-16 meminta dia tidak memaksakan diri.
Soni pun mulai telantar karena tidak lagi tergabung di tim Borneo FC U-15. Dia dikeluarkan dari mess. Namun, karena ayahnya tetap ingin anaknya berkarier di sepak bola, Soni bertahan di Samarinda untuk ikut seleksi Borneo FC U-16 di putaran kedua EPA U-16.
Selama itu dia tinggal di bedeng kuli bangunan dekat sekolahnya. Untuk makan sehari-hari, dia mengandalkan uang saku kiriman ayahnya Rp 500.000 sebulan. Uang itu juga yang dipakai Soni untuk mengobati cedera. Setelah tak kuat membiayai Soni, orangtuanya meminta dia pulang.
Saat dikonfirmasi, Syafril mengakui, selama melatih tim yunior Borneo FC, ada pemain dari luar Samarinda dan semuanya dikontrak. Pemain U-16 dan U-18 dikontrak pembinaan, tanpa gaji tapi semua kebutuhannya dipenuhi. Sementara pemain U-19 dikontrak kerja sama dan digaji.
Head Media Officer Borneo FC Brilian Sanjaya menyampaikan, perekrutan tim EPA Borneo FC melalui seleksi, bukan lewat perantara pelatih. Pemain pun pasti dikontrak karena itu syarat kompetisi.
Joni (19), juga nama alias, tak diikat kontrak saat bergabung dengan PS Tira Persikabo U-18. Awalnya ia ikut seleksi PS Tira dengan biaya Rp 150.000. ”Lolos seleksi, tidak ada kontrak dari klub,” ucap Joni. Dia harus menanggung biaya tambahan setelah lolos seleksi, seperti kontrakan dan makan.
Honor Rp 1,4 juta yang ia dapat selama bermain enam bulan di klub jauh dari cukup. ”Saya tinggal di kontrakan bersama dua pemain dengan biaya Rp 750.000 per bulan. Untuk biaya hidup, harus dari uang kiriman orangtua,” katanya.
Pelatih PS Tira Persikabo U-18 Achmad Zulkifli mengakui, manajemen kesulitan nemberi honor pemain karena subsidi PSSI tidak cair. Biaya latihan Tim U-16 dan U-18 ditanggung klub. Ia tak menampik ada pungutan biaya seleksi Rp 150.000 per orang pada 2019. ”Sempat bicara dengan manajemen soal ini. Nanti akan diperbaiki,” ujarnya.
Sementara Beni (16), bukan nama sebenarnya, terpaksa merelakan mimpinya menjadi pemain Persija U-16 karena tanpa kepastian kontrak dan beasiswa. Padahal, sesuai regulasi PSSI untuk EPA U-16, setiap klub wajib mendaftarkan pemain dengan bukti kontrak dan memberi beasiswa ke pemain.
Beni kelelahan harus sekolah dan berlatih di Persija. Dari sekolah ke tempat latihan di Sawangan, Depok, ia tempuh 20 km dalam waktu 1 jam, bersepeda motor. ”Saya naik motor sendiri ke Sawangan. Lelah, dan tidak ada honor,” tuturnya.
Direktur Pengembangan Persija Ganesha Putra mengaku semua pemain EPA Persija diberi beasiswa, tetapi ia enggan merinci nilainya. Semestinya, lanjut dia, pemain tidak mengeluh jarak sekolah ke tempat latihan. ”Maaf, jangan diartikan negatif. Dua jam perjalanan saja tak kuat, lupakan cita-cita jadi pemain profesional,” ujarnya.
Di tengah situasi tidak ideal ini, perburuan pemain muda ke sejumlah SSB terus berlangsung. Siswa SSB diambil secara tidak resmi oleh perantara untuk disalurkan ke klub. Praktik ini menghilangkan hak kompensasi latihan dari klub ke SSB, seperti diatur Pasal 20 Regulasi Status dan Transfer Pemain PSSI.
Arta Wijaya Taul, Pelatih SSB Villa 2000, mengungkapkan, perantara biasanya langsung menemui orangtua pemain tanpa melalui SSB. ”Padahal, di usia segitu (di bawah 16 tahun) kami belum sebut mereka pemain. Mana ada usia 16 tahun yang sudah punya gaji,” ujarnya.
Pelatih salah satu SSB di Jabodetabek menyebut ada salah satu perantara yang mengambil pemain muda dari SSB ke klub.. Menurut si pelatih, perantara itu hanya membuai anak karena tak semua pemain muda bisa menjadi pemain profesional. ”Enam pemain kami diambil. Yang jadi masalah, kalau permainannya menurun atau ada yang cedera, bagaimana ke depannya,” ucapnya.
Saat dikonfirmasi, si perantara mengatakan, tidak tepat jika ia disebut sebagai perantara untuk menyalurkan pemain muda ke klub. Kendati demikian, ada sejumlah pemain muda yang disalurkannya ke klub. ”Saya cuma membantu menyalurkan pemain yang sukarela ke saya untuk minta disalurkan (ke klub). Enggak pernah cari pemain. Pekerjaan saya bukan itu (agen pemain),” ujar dia.
Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri mengatakan, jaminan sosial pemain muda bukan sepenuhnya tanggung jawab PSSI, melainkan juga tanggung jawab klub dan pemerintah. ”Kalau anak kurang gizi atau cedera, itu urusan klub,” ucapnya.
Menurut pengamat olahraga Fritz Simanjuntak, perlindungan hak anak sejatinya diatur regulasi PSSI, seperti pemain tetap wajib sekolah. Namun, hal itu sering tidak dilakukan klub dan tidak ditindak PSSI. ”Itu harus didukung aturan pemerintah dan undang-undang, bukan hanya dari peraturan PSSI. Sebab, peraturan PSSI itu tidak menjamin, kalau dilanggar lalu pengurusnya diam saja, ya sudah,” ujar Fritz.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto mengakui, ada saja pemain muda yang diajak perantara pemain masuk ke klub dengan janji honor dan fasilitas. Pada praktiknya, hanya pemain yang kondisi fisiknya baik yang dipertahankan. Sebaliknya, yang cedera malah ditelantarkan.