Petenis putri belia, Iga Swiatek, masih ”shock” menjalani hidup baru sebagai juara Grand Slam. Tantangan lebih berat akan dihadapinya ke depan, yaitu membuktikan dirinya bukan sekadar fenomena atau petenis ”hit and run”.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Iga Swiatek (19) baru saja meraih status yang diidamkan semua petenis, yaitu menjadi juara Grand Slam. Datang dalam waktu yang cukup cepat, Swiatek pun masih shock dengan status barunya itu. Beban besar akan ditanggung juara yang masih belia itu.
Petenis Polandia tersebut meraih gelar Grand Slam pertamanya dari Perancis Terbuka, 27 September-11 Oktober, yang merupakan puncak persaingan di lapangan tanah liat. Dengan gelar itu, Swiatek tak hanya menambah koceknya dengan hadiah 1,6 juta euro (sekitar Rp 27,5 miliar). Posisinya di dalam daftar peringkat dunia pun melesat dari urutan ke-54 menjadi ke-17.
”Pada dasarnya, saya shock untuk tiga hari setelah juara. Saya tak dapat menjelaskan emosi yang dirasakan karena saya pun tak mengerti apa yang terjadi,” ujar Swiatek kepada BBC, Kamis (15/10/2020).
Dia pun mengakui tengah menjalani kehidupan berbeda setelah menjadi juara di Roland Garros. ”Suasana ketika meninggalkan dan kembali ke Polandia sangat berbeda. Sekarang, rasanya saya semakin dikenal,” lanjutnya.
Trofi Suzanne Lenglen didapat setelah Swiatek mengalahkan juara Australia Terbuka, Sofia Kenin, pada final di Roland Garros. Kemenangan lain, yaitu pada babak keempat, didapat dari Simona Halep, pemegang dua gelar juara Grand Slam sekaligus favorit juara Perancis Terbuka.
Suasana ketika meninggalkan dan kembali ke Polandia sangat berbeda. Sekarang, rasanya saya semakin dikenal. (Iga Swiatek)
Gelar itu makin lengkap karena Swiatek memperolehnya tanpa kehilangan satu set pun. Pada persaingan tunggal putri Perancis Terbuka, hal itu terakhir kali dilakukan oleh Justine Henin ketika menjadi juara pada 2007.
Salah satu yang termuda
Dengan usia 19 tahun 132 hari saat menjadi juara, petenis yang berteman dengan Naomi Osaka itu menjadi salah satu petenis yang meraih gelar pertama Grand Slam dalam usia kurang dari 20 hari. Di tunggal putri, ada 13 petenis lain dengan prestasi serupa pada era Terbuka (sejak 1968).
Status juara tunggal putri termuda ada pada Martina Hingis yang berusia 16 tahun 117 hari ketika menjuarai Australia Terbuka 1997. Adapun di putra, Michael Chang menjadi juara termuda saat membawa pulang trofi dari Perancis Terbuka 1989. Chang berusia 17 tahun 110 hari.
Perjalanan di Roland Garros dilakukan setelah Swiatek lulus dari SMA, pada Mei, serta sebelum dia mendaftar ke universitas untuk melanjutkan studi. Semula, petenis yang lahir dari keluarga atlet tersebut berencana meneruskan studi jika kariernya sebagai petenis profesional tak berjalan mulus.
”Sebelum Perancis Terbuka, saya ingin melihat dulu perkembangan karier di tenis sekitar dua tahun. Setelah itu, baru memutuskan langkah selanjutnya. Tetapi, saat ini, ketika saya makin dikenal di Polandia, tampaknya saya tak memiliki waktu untuk berpikir. Inilah salah satu tujuan saya menjalani karier di dunia tenis. Saya ingin bisa memberi pengaruh bagi tenis di Polandia,” tutur juara Grand Slam pertama dari negaranya itu.
Setelah memenangi Perancis Terbuka, ia kini memiliki target-target lain, yaitu juara Australia Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka, serta meraih medali Olimpiade. Juara Wimbledon yunior 2018 itu harus menempuh jalan panjang untuk mewujudkannya.
Syarat mutlak yang harus dimiliki Swiatek demi target tersebut di antaranya motivasi yang tak pernah hilang serta ketangguhan mental menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan sebagai juara Grand Slam.
Swiatek sedikit beruntung karena tak ada lagi ajang besar pada 2020 untuk menguji mentalnya sebagai juara Grand Slam. Rangkaian turnamen di Asia yang seharusnya berlangsung Oktober-Desember dibatalkan karena pandemi Covid-19.
Tantangan sebagai juara
Datang sebagai juara Grand Slam pada turnamen lain, terutama pada ajang besar, menjadi tantangan yang tak bisa dilalui semua petenis. Petenis AS, Sloane Stephens, misalnya, kalah dalam delapan pertandingan beruntun setelah menjuarai AS Terbuka 2017. Di arena Grand Slam, Stephens empat kali tersingkir pada babak pertama dari 11 turnamen setelah itu, salah satunya pada Australia Terbuka 2020.
Juara Perancis Terbuka 2017, Jelena Ostapenko, hanya sekali melewati perempat final pada 12 Grand Slam setelah itu. Petenis Latvia tersebut kini hanya menempati peringkat ke-44 dunia.
Pengalaman Stephens dan Ostapenko menjadi contoh ketika status juara Grand Slam menjadi beban teramat berat. Stephens kesulitan dengan ”kewajiban” tampil baik setiap kali datang ke turnamen. Dia pun tak terbiasa dengan makin gencarnya sorotan publik dan media.
”Setelah menjadi juara Grand Slam, apa pun ditanyakan kepada saya meski tak berhubungan dengan tenis. Padahal, saya tak suka menjawabnya,” bunyi salah satu pengakuan Stephens ketika prestasinya merosot seusai AS Terbuka 2017.
Pelatih Serena Williams, Patrick Mouratoglou, memiliki pengalaman lain ketika mendampingi Marcos Baghdatis pada 1999-2006. Seperti diceritakan dalam dokumenter Patrick Mouratoglou: A Coach’s Rules for Life, komitmen Baghdatis untuk berlatih keras hilang setelah dia mencapai final Australia Terbuka 2006. Tanpa motivasi dan komitmen, Baghdatis pun tak pernah mencapai prestasi yang lebih baik dari itu.
Swiatek akan menghadapi tantangan serupa seperti 10 debutan juara tunggal putri lainnya dari 19 Grand Slam terakhir. Tanpa motivasi, komitmen, dan ketangguhan mental, Swiatek hanya akan menjadi petenis ”hit and run” yang tiba-tiba muncul dan menghilang dengan cepat.