Schwartzman, ”David” di Antara Para ”Goliath” Tenis
Dengan tinggi badan 170 sentimeter, Diego Schwartzman nyaris mengubur impiannya. Tinggi badan yang relatif pendek dibandingkan rata-rata petenis profesional, membuat Schwartzman seperti ”David” yang melawan ”Goliath”.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Sejak berusia 13 tahun, Diego Schwartzman tahu bahwa tinggi badannya tak akan lebih dari 170 sentimeter. Informasi dari dokter itu menjadi berita buruk bagi Schwartzman yang sejak kecil bercita-cita menjadi petenis profesional. Petenis Argentina itu akhirnya mewujudkan mimpi berkat kepercayaan diri yang ditanamkan orangtuanya.
Kerja keras dan kepercayaan diri Schwartzman dan keluarganya membuahkan hasil ketika dia menembus semifinal Grand Slam untuk pertama kalinya. Schwartzman berhadapan dengan Rafael Nadal pada semifinal Perancis Terbuka di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Jumat (9/10/2020).
Schwartzman yakin punya peluang mengalahkan Nadal di Roland Garros meski tahu itu menjadi tantangan terbesar di arena tenis. Itu berbeda dengan sikapnya 15 tahun lalu saat tahu bahwa tinggi badannya akan terbatas.
”Saya tak akan bermain tenis lagi.” Schwartzman, yang dikenal sebagai anak periang, mengatakan itu kepada orangtuanya dengan nada sedih setelah mendengar pernyataan dokternya. Apalagi, dia menjadi yang terpendek dibandingkan ketiga kakaknya, Andres, Natali, dan Matias.
Pernyataan itu semakin mengubur semangatnya ketika teringat komentar dari pelatih dan teman-temannya: ”Andai saja kamu lebih tinggi 7-10 cm”. Dengan tinggi 170 cm, saat ini, Schwartzman menjadi tunggal putra terpendek. Petenis lain, rata-rata, memiliki tinggi 180-an cm.
Silvana, kemudian, menumbuhkan kepercayaan diri putra bungsunya itu. ”Dia mengatakan, tidak akan bisa melakukan apa pun dengan baik jika perkataan dokternya itu benar. Saya bilang, tinggi badan seharusnya tak memengaruhi hidup dan mimpinya karena sejak dia lahir, saya tahu bahwa dia akan menjadi orang spesial. Saya memotivasinya untuk terus mewujudkan cita-citanya,” tutur Silvana, seperti dituturkan dalam laman resmi ATP.
Harapan dan doa Silvana terwujud. Schwartzman menjalani karier sebagai petenis profesional sejak 2010. Dia pun menjadi salah satu atlet terkenal Argentina, seperti legenda sepak bola, Diego Maradona, yang menjadi inspirasi Silvana untuk menamai putranya. Kebetulan, postur Maradona, juga, termasuk pendek, hanya 165 cm.
Bintang sepak bola yang mengantarkan Argentina menjadi juara Piala Dunia 1986 itu turut memberikan ucapan selamat untuk pencapaian Schwartzman di Roland Garros, juga, ketika dia menembus final Roma Masters, yang digelar sepekan sebelum Perancis Terbuka. Itu menjadi final pertamanya pada turnamen ATP Masters 1000, level tertinggi dalam struktur turnamen petenis putra.
Silvana dan suaminya, Ricardo, harus menjalani perjuangan hidup yang berat demi keempat anak mereka, juga, agar Schwartzman bisa menjadi petenis. Silvana, mantan petenis amatir, coba menaruh harap pada Schwartzman setelah tiga anak yang lain memilih jalur berbeda.
Schwartzman pun pernah bercerita tentang perjalanan hidup keluarganya. Sebelum Schwartzman lahir, keluarganya hidup berkecukupan dengan mengelola bisnis perhiasan dan pakaian. Selain di Buenos Aires dan kota lain di Argentina, mereka memiliki rumah di Uruguay yang dijadikan tujuan berlibur setiap akhir hingga awal tahun.
Kondisi berubah ketika Argentina memberlakukan larangan impor pada 1990-an. Padahal, mendatangkan produk dari negara lain, seperti pakaian dari China, menjadi cara mereka mengelola bisnis.
”Keuangan keluarga makin memburuk dan terus memburuk. Karena tak ada uang, sulit bagi saya untuk mulai bermain tenis atau olahraga lain dengan serius. Saya pun hanya latihan sebisanya,” ujar Schwartzman yang bermain tenis dan sepak bola pada masa kecilnya.
Demi bisa berhemat untuk kepentingan anak-anak mereka, Silvana dan Ricardo sering melewatkan makan siang. Itu, salah satunya, dilakukan demi bisa mengikutkan Schwartzman dalam latihan olahraga di klub. Dia pernah berlatih sepak bola di Club Social Parque.
”Saat saya kecil, nenek membelikan saya seragam tim sepak bola Real Madrid dan Barcelona. Saya bisa menciptakan banyak gol pada satu pertandingan. Setelah itu, saya latihan di klub tenis, mengenakan seragam Real Madrid atau Barcelona yang dipakai untuk bermain sepak bola. Kalau lapangan penuh, saya bermain tenis di lorong bersama ayah,” cerita Schwartzman yang selalu menggunakan raket besar sejak kecil.
Dia akhirnya memilih untuk menekuni tenis karena merasa bisa memainkannya lebih baik dibandingkan sepak bola. Sebagai cabang individu, semua proses yang terjadi tergantung pada diri sendiri, bukan pada orang lain.
Berjualan gelang
Schwartzman pun mulai mengikuti turnamen di sejumlah kota di Argentina ditemani ibunya. Ayahnya bertugas mengurus perjalanan dan akomodasi.
”Ayah selalu menjanjikan hotel dengan fasilitas TV, komputer, internet, dan semua yang kami butuhkan, tetapi nyatanya dia selalu berbohong. Kami bahkan sering dipesankan kamar dengan satu tempat tidur kecil dan pernah dipilihkan hotel tertentu hanya karena memiliki harga 2 peso per malam. Kami tak punya pilihan karena hanya itu yang bisa dilakukan,” cerita Schwartzman.
Untuk mengumpulkan uang agar bisa mengikuti turnamen, Schwartzman dan ibunya berjualan gelang, aksesori yang masih disimpan setelah bisnis perhiasan bangkrut. Pada gelang karet itu ditambahkan kata-kata motivasi untuk mendukung pengidap kanker dan AIDS.
Mengikuti tren, Ricardo membuatkan gelang dengan logo dan nama klub sepak bola terkenal. Setiap mengikuti turnamen, Silvana dan Schwartzman membawa satu tas gelang untuk dijual. Mereka juga meminta bantuan petenis lain untuk menjualkan gelang. Setiap orang yang bisa menjual 10 gelang akan mendapat hadiah satu gelang.
”Uangnya dikumpulkan untuk mengikuti turnamen, maksimal 20 peso untuk hotel. Apa pun kondisinya, kami selalu bersyukur karena tanpa pengorbanan dari kami, Diego tak akan bisa menjadi seperti sekarang,” ujar Silvana.
Turnamen di luar Argentina, seperti Kolombia, Venezuela, dan Ekuador, diikuti ketika Schwartzman berusia 13 tahun. Dia melakukan perjalanan seorang diri hingga sering kali kesepian dan menangis ketika berada di pesawat. Pada saat momen inilah, Schwartzman terpukul dengan kabar tak akan memiliki tinggi badan lebih dari 170 cm.
Berkat motivasi orangtua, dia tetap merintis mimpinya menjadi petenis profesional. Beruntung, pada usia 15-16 tahun, banyak orang di sekitar yang membantunya, seperti menjadi pelatih, pelatih fisik, juga, membantu memberi uang agar tetap bisa mengikuti turnamen. Schwartzman dan keluarganya mulai keluar dari kesulitan.
Perjalanan karier di arena profesional dijalani dengan tak mudah. Pada masa yunior, dia hanya mengikuti AS Terbuka 2010 dengan hasil kalah pada babak pertama kualifikasi.
”Dari New York, saya menghubungi orangtua karena tak tahu mengapa harus berada di sana, tetapi itu bukan karena saya menghadapi banyak kesulitan. Saya hanya berdiskusi dan ingin mendengar pendapat mereka. Sekarang, ketika telah berada dalam persaingan profesional, saya tak pernah meragukan diri sendiri, termasuk bahwa saya ’aneh’ karena lebih pendek dari yang lain,” katanya.