Kredibilitas Indonesia sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional diuji. Hal itu tidak terlepas dari masalah belum tuntasnya pembayaran honorarium 200 panitia di balik kesuksesan Asian Games Indonesia 2018 silam.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Persoalan honorarium 200 panitia Asian Games 2018, yang belum lunas sejak 2016, bisa menjadi preseden buruk bagi Indonesia sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional. Masalah ini perlu segera diselesaikan dan menjadi pembelajaran untuk ajang-ajang besar selanjutnya.
Asian Games Indonesia 2018 lalu berakhir dengan kesuksesan, baik secara prestasi maupun penyelenggaraan. Namun, kesuksesan itu ”dinodai” dengan masalah pembayaran honorarium. Upah sebanyak 200 panitia penyelenggara belum dibayarkan selama delapan bulan, yaitu terhitung sejak Januari hingga Agustus 2016.
”Kami mendesak pemerintah secepatnya membayar tunggakan delapan bulan kepanitiaan, plus insentif bonus dua bulan. Ini tanggung jawab pemerintah. Jangan sampai panitia terlunta-lunta, tidak terbayar lagi (honor), setelah menunggu sampai lima tahun,” kata Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Syaiful Huda saat dihubungi Senin (5/10/2020) dari Jakarta.
Syaiful mengatakan, persoalan akuntabilitas di balik penyelenggaraan Asian Games 2018 ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak, mulai dari panitia penyelenggara, Kementerian Pemuda dan Olahraga, hingga Kementerian Keuangan. Kredibilitas Indonesia sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional bisa tercemar.
Ke depannya, perlu koordinasi yang efektif dan tuntas agar tidak terjadi lagi seperti ini (masalah tunggakan honorarium panitia).(Syaiful Huda)
Padahal, pada tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga internasional, seperti balap motor MotoGP Mandalika dan turnamen sepak bola Piala Dunia U-20. Kedua acara itu termasuk ajang olahraga berskala dunia.
”Pasti ada kepanitian yang sama seperti kemarin (Asian Games 2018). Maka itu, ke depannya, perlu koordinasi yang efektif dan tuntas agar tidak terjadi lagi seperti ini (masalah tunggakan honorarium panitia),” tambah Syaiful.
Honor delapan bulan
Total 200 orang yang honornya tertunggak itu merupakan Panitia Penyelenggara Asian Games (INASGOC) yang masuk dalam Surat Keputusan pada 2016. Honor mereka pada delapan bulan awal di tahun itu belum terbayar karena masalah kekurangan dana di INASGOC.
Mereka baru mendapat bayaran terkait pekerjaan mereka di INASGOC mulai 2017 lalu. Bayaran itu termasuk untuk menutupi tunggakan upah bulan September hingga Desember 2016. Namun, upah sepanjang Januari hingga Agustus 2016 tertinggal begitu saja.
Setelah penyelenggaraan selesai, pada Desember 2018, INASGOC baru mengurus lagi masalah honorarium yang tertunda tersebut. Mereka memohon persetujuan pembayaran honorarium kepada Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI dengan besaran dana Rp 12, 3 miliar.
Setahun kemudian, permohonan itu berujung telaah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Telaah pada November 2019 silam itu menjelaskan bahwa anggaran yang bisa disetujui hanya Rp 5,9 miliar atau selisih Rp 6,4 miliar dari nilai pengajuan awal. Menurut BPKP, dokumen bukti kinerja anggota tidaklah lengkap.
Selisih anggaran itulah yang lalu menjadi masalah. Kemenpora bisa saja mengeluarkan anggaran yang sudah tersedia di Lembaga Pengelola Dana dan Usaha Keolahragaan (LPDUK) tesebut. Namun, Kemenpora masih menahan dana karena ingin menghindari polemik terkait penggunaan dana itu.
Telaah BPKP
Menurut Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto, mereka hanya bisa mencairkan anggaran sesuai telaah BPKP. Sementara, INASGOC menginginkan dana segera dicairkan sesuai dengan permohonan mereka.
”Saya tahu, itu hak mereka. Ada hak saya juga karena pernah menjadi bagian (kepanitiaan) INASGOC. Tetapi, kalau kami cairkan sepenuhnya, nanti bisa jadi temuan BPKP. Kami bisa dianggap tidak patuh. Kalau dikeluarkan setengah, siapa yang menjamin nanti tidak ada gugatan hukum?” ungkap Gatot menjelaskan situasi sulit terkait tunggakan honorarium itu.
Gatot menambahkan, BPKP sudah memberikan kesempatan pada penghubung INASGOC untuk menyerahkan kelengkapan bukti dokumen hingga September 2019. Namun, dengan dokumen seadanya, hanya jumlah tersebut, yaitu Rp 5,9 miliar, yang disetujui BPKP.
Sementara itu, mantan Direktur Arena dan Perkampungan Atlet Syahrir Nawier berharap upahnya dan rekan-rekan lainnya di INASGOC bisa dibayarkan seutuhnya. Sebab, itu adalah hak mereka. Semua panitia, menurutnya, telah bekerja keras dari pagi hingga malam hari untuk menyukseskan Asian Games 2018 silam.
Dengan jumlah dana dari hasil telaah BPKP, ungkapnya kemudian, banyak panitia yang tidak mendapatkan hak sepatutnya. Ia mencontohkan dirinya yang hanya akan menerima pelunasan honorarium selama lima bulan. Padahal, tunggakan honorarium itu berlangsung selama delapan bulan.
”Kami kan minta Rp 12 miliar hanya untuk SK Panitia Penyelenggara. Ternyata, dari BPKP, jumlah (disetujui) Rp 5,9 miliar itu sudah termasuk panitia berdasarkan Keputusan Presiden juga. Di situ, ada bayaran untuk Presiden dan petinggi lain. Jadi, kira-kira, kami hanya mendapatkan sekitar Rp 3 miliar dari (nilai) permintaan awal,” ucap Syahrir.
Kesulitan finansial
Menurut Syahrir, banyak panitia yang membutuhkan uang tunggakan honorarium tersebut untuk meringankan masalah kesulitan finansial akibat pandemi Covid-19 saat ini. ”Kami tidak meminta bantuan sosial. Kami hanya minta hak dari kerja keras kami (pada Asian Games 2018 dibayarkan,” pungkasnya kemudian.
Terkait persoalan itu, Komisi X DPR rencananya akan mempertemukan pihak-pihak terkait mulai dari Kemenpora, INASGOC, hingga BPKP, Rabu (7/10). Namun, rapat dengar pendapat (RDP) itu akan ditunda hingga bulan depan karena DPR akan segera memasuki masa reses.
Masalah tunggakan honor itu muncul pertama kali ke publik ketika Komisi X DPR mengundang perwakilan Ikatan Keluarga Panitia Pelaksana (IKAPAN) Asian Games 2018 dalam RDP pada Juli lalu.